Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Lebaran, Trah dan Cara Memaknai Kebahagiaan
15 Mei 2021 10:22 WIB
Tulisan dari Kelik Novidwyanto Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Idul Fitri telah tiba, orang-orang menyambutnya penuh suka cita. Walau lebaran tahun 2021 ini masih di masa pandemi COVID-19 dan pemerintah bersikukuh dengan larangan mudiknya, tetap saja tak mempengaruhi kebahagiaan masyarakat untuk merayakannya.
ADVERTISEMENT
Andai tak bisa bersua fisik, teknologi telah memberi solusi melalui silaturahmi virtual. Maka momentum paling romatik di bulan Syawal adalah kegiatan “syawalan” alias halal bihalal. Masing-masing keluarga berkumpul dalam acara-acara semi resmi yang lazim disebut “trah” (bahasa Jawa: sisilah, kekerabatan). Kumpulan keluarga mulai embah, anak, cucu sampai cicit bertemu untuk saling bersalaman.
Ngumpulke balung pisah
Silaturahmi trah ini sebenarnya bertujuan positif ngumpulke balung pisah (menyatukan keluarga yang tercerai-berai) namun pada beberapa kasus malah memunculkan konflik tersendiri. Tak jarang silaturahmi trah malah menjadi ajang bergosip ria dan pamer kekayaan yang memicu kecemburuan sosial, rasa iri serta dengki melihat kesuksesan atau kebahagiaan famili yang lain.
Seorang karib, sebut saja Yun (39), pernah berseloroh kalau dirinya tak bakal ikut kumpulan trah karena malas ditanya-tanya. Wanita karier yang belum menikah di usia nyaris kepala empat itu menganggap kumpulan trah tak lebih dari ajang penghakiman. Pertanyaan-pertanyaan menyerang kerap diterimanya: “Kapan nikah, mba? Sudah hampir kepala empat kok belum nikah? Wanita ga usah tinggi-tinggi jabatannya nanti susah dapat jodoh. Lihat, anak saya malah sudah kuliah.”
ADVERTISEMENT
Gara-gara iseng ikut arisan trah yang niat awalnya mengenal keluarga besar sang ayah, Yun malah menjadi semakin tertutup. Kariernya yang moncer sebagai pejabat di sebuah perusahaan plat merah tak membuatnya bahagia. “Sesuatu yang dulu membuatku bahagia, sekarang nampak biasa saja,” keluhnya.
Ketidakbahagiaan yang dialami Yun, mau tidak mau berawal dari sebuah sistem sosial-kekerabatan yang cenderung culas. Sistem sosial itu menjadi penyebab kendala-kendala psikologis bagi masing-masing orang.
Kiwari, kita terbiasa dipameri dengan aktivitas-aktivitas pribadi di media sosial, entah di Facebook atau instagram. Orang-orang saling berlomba memamerkan kemolekan tubuhnya atau kesuksesan dirinya. Entah dalam karier, rumah tangga, dan kehidupan sosial lainnya. Walaupun palsu, media sosial telah tumbuh menjadi alat eksistensi pribadi yang memunculkan candu.
ADVERTISEMENT
Kebahagiaanmu ditentukan dirimu sendiri
Beberapa ahli, khususnya para psikolog, mendefinisikan kebahagiaan (happiness) melalui kacamata yang paling umum. Hurlock (2004) menyebut kebahagiaan sebagai harmonisasi antara sikap menerima (acceptance), kasih sayang (affection) dan prestasi (achievement).
Martin Seligman (2002) menganggap kebahagiaan sebagai keadaan psikologis yang positif, di mana seseorang memiliki emosi positif (ikhlas, penuh syukur dan suka cita) terhadap kehidupan yang dijalaninya.
Namun berbagai definisi atau quote para ahli tentang kebahagiaan tak selalu membuat kita memahami makna kebahagiaan sejati. Kadang apa yang kita kira sebagai kebahagiaan saat ini, bisa jadi bukan kebahagiaan di masa depan.
Apa yang Yun alami pada ilustrasi di depan, menjadi contoh bagaimana kesuksesan karier yang dikiranya sebagai kebahagiaan ternyata menjadi sebab dirinya telat nikah. Keterlambatannya membina rumah tangga ditambah kebiasaan masyarakat membanding-bandingkan satu orang dengan yang lainnya, membuat Yun kehilangan makna kebahagiaan.
ADVERTISEMENT
Media sosial yang lazim diisi dengan aktivitas pamer, terutama pamer kemesraan bersama pasangan atau keluarga, secara sukses menenggelamkan Yun dalam keputusasaan. “Ah, enak ya jadi Risna. Sudah cantik, punya suami baik, dan anak-anak yang lucu pula. Engga seperti aku yang sendirian,” keluh Yun sembari meratapi layar handphone. Rumput tetangga selalu nampak lebih indah.
Ia sempat datang ke seorang guru pada suatu komunitas keagamaan untuk berharap suntikan spiritual. Namun pergeseran budaya pada beberapa aspek telah menggelincirkan hal-hal spiritual (ruh) menjadi materialistik. Pegiat religi yang ditemuinya membawa kelezatan batiniah ibadah ke wilayah ritual kaku dan dogmatis. Mereka memiliki standar-standar tersendiri untuk mencapai derajat kemuliaan, seperti cara berpakaian, aktivitas-aktivitas kajian dan keterikatan pada komunitas-komunitas. Semua aktivitas itu perlu di-share di media sosial dengan tujuan syiar. Yun tak menemukan kedamaian di dalam komunitas ini, suara hatinya terbungkam, digantikan suara komunitas.
Lalu, bagaimana sesungguhnya cara memaknai kebahagiaan? “Happiness depends on ourselves,” ujar Aristoteles. Filsuf kelahiran Yunani 384 SM itu mengatakan bahwa kebahagiaan kita ditentukan oleh diri kita sendiri. Secara tegas, ia menyarankan agar setiap orang mempunyai standar kebahagiaannya sendiri-sendiri.
ADVERTISEMENT
Kita tak akan pernah menjadi bahagia ketika masih menggunakan standar orang lain atau masyarakat umum dalam menentukan kebahagiaan. Kebiasaan membanding-bandingkan satu orang dengan yang lain adalah penyakit sosial yang menunjukkan bahwa orang-orang itu tak pernah mengenali kebahagiaannya sendiri. Semakin bergantung pada standar kebahagiaan umum atau orang lain, kita bakal terjebak dalam keputusasaan, rasa dengki dan iri.
Sejatinya kita bisa menjadi lebih bahagia ketika bisa lepas dari standar-standar kebahagiaan umum dan menemukan standar kebahagiaan kita sendiri. Caranya, kita bisa mulai menerima dan mencoba mengenali potensi diri sendiri. Mulai bertanya dan berdialog dengan diri sendiri, hal-hal apa sajakah yang membuat kita bahagia? Apakah keluarga, sahabat, uang, karier atau komunitas?
Pada beberapa orang yang terlanjur under estimate dan apatis menilai diri sendiri, mengenali potensi diri adalah hal yang sangat menyusahkan. Orang-orang ini terlanjur terjebak dalam standar umum dan penilaian kebanyakan orang. Sehingga sangat susah untuk melihat sedikit saja kebajikan dirinya. Padahal boleh jadi hal-hal kecil seperti menolong semut yang jatuh ke sungai lebih berharga dibanding ambisi kita mengejar image baik di mata manusia.
ADVERTISEMENT
Seperti dikisahkan Muhammad Nawawi dalam “Nashaih al-Ibad” tentang mimpi Al Ghazali berjumpa Tuhannya. “Apa modalmu datang menghadapku?” tanya Sang Khalik. Maka Ghazali pun menjelentrehkan semua daftar amal baiknya. Namun Allah SWT berkata: “Aku tak menerima satupun deretan amal yang kau sebutkan itu. Aku hanya menerima satu amalmu, yaitu ketika kau biarkan seekor lalat masuk ke dalam tinta penamu untuk meminumnya.”
Artinya, secara alamiah kita diciptakan dengan kelebihan akal budi. Kita bisa memilih untuk fokus di wilayah yang bisa kita kontrol yaitu diri sendiri dan melepaskan hal-hal yang memang tidak bisa kontrol, yaitu perspektif atau penilaian orang lain kepada kita. Di dunia ini, banyak orang yang secara ekonomi sederhana tapi bisa hidup bahagia. Karena jika kekayaan adalah ukuran kebahagiaan, kenapa pula Bill Gates dan istrinya bercerai?
ADVERTISEMENT
Seperti Yun, ia sesungguhnya bisa memilih berdamai dan menerima kenyataan. Mulai memandang kebahagiaan melalui perspektif diri sendiri, bukan standar orang lain. Tak masalah jika belum juga menikah, toh ia memiliki pekerjaan yang menjanjikan dan bisa hidup bermanfaat bagi sesama. Bukankah sebaik-baik orang adalah yang bermanfaat dan tidak merugikan orang lain, pertama-tama bermanfaatlah untuk diri kita sendiri.