Konten dari Pengguna

Mencari Keju: Memilih Adaptif atau Punah Digilas Pandemi COVID-19

Kelik Novidwyanto Wibowo
Sejak kuliah telah menekuni dunia penulisan baik sebagai penulis maupun penyunting. Menyelesaikan studi S-1 di jurusan Ilmu Ekonomi Pembangunan, di Kota Jogja. Tahun 2021, menempuh studi Magister Manajemen di UST, Yogyakarta.
3 Agustus 2021 15:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kelik Novidwyanto Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pandemi COVID-19 mau tidak mau memaksa kita untuk adaptif terhadap perubahan. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Pandemi COVID-19 mau tidak mau memaksa kita untuk adaptif terhadap perubahan. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Tak bisa dipungkiri, hantaman Pandemi COVID-19 sukses meluluhlantakkan perekonomian dunia. Beberapa perusahaan hypermart kelas dunia seperti Carrefour, Walmart, Giant dan Matahari terpaksa menutup ratusan gerainya. Presiden Direktur PT Hero Supermarket Tbk, Patrik Lindvall, yang menaungi Giant, resmi berpamitan dengan masyarakat Indonesia pada awal Agustus 2021 ini.
ADVERTISEMENT
Tak hanya perusahaan skala internasional, ribuan UMKM lokal pelaku sektor riil seperti pedagang pakaian, hotel dan warung makan terpaksa gulung tikar akibat pembatasan mobilitas massa. Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat yang bertransformasi menjadi PPKM Level 3 atau 4 benar-benar menggebuk sektor riil. Pandemi memaksa semuanya berbenah dan berubah.
Siapa Memindah Kejuku
Sejenak marilah kita terbang menuju alam pikiran Spencer Johnson, seorang sarjana Psikologi dari University of Southern California, M.D dari Royal College of Surgeons dan administrasi medis di Harvard Medical School. Beliau mengisahkan cara pandang dalam menyikapi perubahan melalui bukunya: “Who Moved My Cheese?”
Johnson memulai bukunya dengan menceritakan fabel berupa 4 karakter, yaitu 2 ekor tikus bernama “Sniff” dan “Scurry”, serta 2 manusia kurcaci yaitu “Hem” dan “Haw”. Mereka berempat hidup dalam sebuah labirin di mana terdapat sebuah cheese station berisi banyak sekali keju di Stasiun C.
ADVERTISEMENT
Namun suatu hari tiba-tiba keju yang berada di Stasiun C itu habis. Di sinilah drama yang sesungguhnya dimulai. Reaksi dari keempat penghuni labirin ini berbeda-beda, Sniff dan Scurry laiknya hewan, cara berpikirnya sederhana dan spontan: “Kalau tidak ada keju ya kita cari!”.
Sedangkan Hem dan Haw seperti manusia pada umumnya, mereka tidak siap menerima kenyataan. Mereka pun mulai mengeluh: “Siapa yang pindahin kejunya? Kenapa bisa begini? Hidup ini kok tidak adil!” Keduanya mengelilingi Stasiun C yang kosong, mengais-ngais bekas keju, bahkan melubangi tembok labirin dan berharap bakal mendapat keju di tempat itu. Mereka ini terjebak pada masa lalu dan fokus pada masalah, bukan mencari solusi.
Pada suatu titik, Haw akhirnya sadar bahwa dia tak bisa terus-menerus mengeluh. Ia harus berubah. Haw memutuskan untuk melakukan sesuatu, yaitu mencari stasiun keju lainnya. Awalnya Haw mengajak Hem, tapi ditolak. Hem memilih bertahan di Stasiun C dan berharap akan ada keju lagi di tempat itu. “Memang kita bisa apa?” ujarnya. Walau di Stasiun C sudah tak ada keju, Hem enggan mengambil risiko pergi dari tempat itu. ia memilih tinggal dan meratapi zona nyamannya.
ADVERTISEMENT
Akhirnya Haw mencari keju sendirian, ia menyusuri labirin dan berkali-kali menemui kegagalan. Ia sempat menemukan cheese station lain tapi isinya sedikit. Haw mengambil sedikit keju itu untuk diberikannya kepada Hem yang masih bertahan di Stasiun Keju C. Haw mencoba membujuk Hem lagi untuk mencari stasiun keju yang lain, tapi lagi-lagi Hem menolak move on dan memilih mengenang masa-masa indah di masa lalu.
Haw menyerah membujuk Hem dan memutuskan kembali mencari stasiun keju sendirian. Setiap jalan yang ia lewati, Haw menulis petunjuk dan pelajaran hidupnya, berharap suatu hari nanti Hem berubah pikiran dan petunjuk itu dapat memandu Hem untuk menemukan keju.
Di akhir kisah, Haw menemukan Sniff dan Scurry di stasiun keju dengan cadangan keju nan melimpah bernama Stasiun N. Belajar dari kesalahan masa lalu, Haw memutuskan untuk lebih adaptif dan sistematis dalam menyikapi keadaan. Ia rajin mengecek kondisi kejunya agar keju yang ada di Stasiun N dapat bertahan untuk waktu yang lama.
ADVERTISEMENT
Menjadi "SMART"
Rajutan kisah dalam buku “Who Moved My Cheese” sesungguhnya mewakili keadaan kita saat ini. Dua tikus dan dua kurcaci yang menyusuri labirin yang dalam dan berliku-liku untuk mencari “Cheese” (keju), ibarat perjuangan kita dalam mencari makna dan tujuan hidup.
“Dua tikus” dan “dua kurcaci” melambangkan perbedaan cara pandang antara satu individu dengan yang lainnya dalam menyikapi perubahan (disruption).
Kedua tikus cenderung melakukan tindakan yang spontan, sederhana dan praktis. Sedangkan kedua kurcaci cenderung melakukan tindakan secara sistematis, menggunakan nalar dan cara pandang yang rumit.
“Labirin” sendiri melambangkan jalan atau pilihan hidup yang berliku-liku dan mempunyai potensi menyesatkan. Namun segala kesulitan dan tantangan itu sesungguhnya diperlukan untuk menempa diri serta meraih tujuan hidup yang hakiki. Jalan berliku itu dapat berupa ilmu, pengalaman kerja, pekerjaan, dan setiap jerih payah yang kita lakukan.
ADVERTISEMENT
“Keju” melambangkan segala hal yang diinginkan dan didambakan oleh setiap manusia. Di mana keinginan, harapan atau mimpi setiap orang selalu berlainan. Setiap individu mempunyai tujuan hidupnya masing-masing. Tujuan itu bisa berupa materi, kekayaan, keluarga yang harmonis, kekuasaan atau ketenangan batin.
Sadar atau tidak, tujuan hiduplah yang sesungguhnya menjadi cambuk dan menggerakkan daya hidup manusia. Seperti yang dilakukan kurcaci Haw ketika menuliskan langkah-langkahnya menyusuri labirin, suatu tujuan perlu diterjemahkan dalam sebuah konsep perencanaan yang matang. Dalam ilmu manajemen, kita mengenal istilah Planning, Organizing, Actuating, dan Controling (POAC).
Ketika kita hendak membuat planning (perencanaan) setidaknya ada 5 faktor yang perlu diperhatikan atau dipertimbangkan agar lebih terarah. Kelima faktor itu dirangkum dalam metode SMART, yaitu Specific, Measurable, Achievable, Relevant dan Time yang dipopulerkan George T. Doran pada tahun 1981.
ADVERTISEMENT
“Specific”, artinya sebuah perencanaan harus jelas maksud dan tujuannya, sekaligus ketersediaan resource (Sumber Daya) yang diperlukan.
“Measurable” alias terukur, artinya suatu rencana harus bisa diukur keberhasilannya. Sehingga tidak menjadi sesuatu yang mengambang dan tidak jelas.
“Achievable” alias dapat dicapai, artinya sebuah rencana haruslah masuk akal atau memungkinkan untuk diraih. Bukan angan-angan semata yang sifatnya mustahil.
“Relevant” atau sesuai. Saat mulai membuat target kita perlu memilih target yang relevan, artinya jika target itu tercapai otomatis akan memiliki dampak terhadap yang lainnya. Seperti apakah usaha yang kita lakukan dalam mencapai target dapat diaplikasikan pada lingkungan sosial-ekonomi saat ini
Dan yang paling penting adalah “Time” (jangka waktu), artinya suatu rencana harus ada tenggat atau batas waktunya.
ADVERTISEMENT
Berubah atau Punah
Pada era pandemi dan disrupsi seperti saat ini, segala “kemungkinan” selalu ada bagi mereka yang mau berubah dan adaptif terhadap perubahan zaman. Disrupsi adalah proses di mana perusahaan kecil dengan resource (sumber daya) yang lebih sedikit mampu bersaing dengan perusahaan yang lebih mapan.
Kita bisa melihat drama kebangkrutan raksasa telephon genggam Nokia yang ngotot bersetia dengan platform Symbian, padahal produsen lainnya beralih kepada android. Kejumawaan Nokia nampak dari sikap mereka yang terlalu fokus pada peningkatan produk dan layanan kepada pelanggan yang menguntungkan saja, serta cenderung mengabaikan kebutuhan segmen lainnya.
Para pemain baru melihat ceruk kosong yang diabaikan Nokia, mereka menyediakan produk yang sesuai dengan kebutuhan segmen ini dengan harga yang jauh lebih rendah. Pemain baru ini, contohlah Samsung, terus bertumbuh dengan kualitas produk yang semakin baik karena memenuhi adagium paten di dunia bisnis: “Follow your custommers”.
ADVERTISEMENT
Pada kasus Giant, keputusan dramatis untuk menutup seluruh gerai terpaksa diambil demi kepentingan jangka panjang. Menurut Patrik Lindvall, perilaku konsumen telah berubah seiring Pandemi COVID-19. Selama PPKM, masyarakat lebih memilih berbelanja di toko ritel dan dekat rumah. Sedangkan hypermart biasanya berada di tengah kota dan jauh dari rumah penduduk. Kebiasaan berbelanja secara online lewat e-commerce juga mulai tumbuh di masa pandemi ini dan diperkirakan akan terus tumbuh.
Untuk menyikapi segala perubahan yang ada, Hero akan mengubah setidaknya lima gerai Giant menjadi IKEA untuk memperluas pelayanan pelanggan. Hero Group juga tengah mempertimbangkan perubahan sejumlah gerai Giant menjadi gerai Hero Supermarket.
Lindval memandang sistem “omnichannel” yang memadukan toko fisik sebagai showroom dan e-commerce sebagai motornya adalah peluang baru. Karena sistem omnichannel sesuai definisinya adalah sistem yang memungkinkan pembeli menggunakan lebih dari satu channel penjualan. Umumnya channel yang dijadikan satu adalah toko fisik, e-commerce, mobile commerce (m-commerce), serta media sosial.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, tantangan ke depan terhadap kelangsungan usaha sektor riil dan pelaku UMKM adalah kesiapan pelaku usaha untuk berbenah, bertransformasi dari cara-cara manual menjadi cara-cara digital. Artinya, penguasaan teknologi menjadi salah satu faktor penting agar tetap survive.
Selain adaptif terhadap teknologi, penting bagi pelaku usaha untuk selalu mengikuti kebutuhan pasar. Pengusaha harus pintar menangkap kebutuhan konsumen dan menyediakan berbagai layanan yang berorientasi pada konsumen. Seperti memberikan berbagai program loyalty, potongan harga (discount), kemudahan fasilitas pembayaran, serta menyediakan layanan customer service yang solutif dan cekatan.
Dus, menyikapi pasca Pandemi COVID-19 yang entah kapan tibanya, sudah saatnya kita mencari ceruk keju yang lain dan meninggalkan ceruk lama yang memang sudah kosong. Kita perlu adaptif terhadap perubahan dengan cara terus bergerak agar tidak punah.
ADVERTISEMENT