Konten dari Pengguna

Susu Beruang, Hoaks, dan Pentingnya Critical Thinking

Kelik Novidwyanto Wibowo
Sejak kuliah telah menekuni dunia penulisan baik sebagai penulis maupun penyunting. Menyelesaikan studi S-1 di jurusan Ilmu Ekonomi Pembangunan, di Kota Jogja. Tahun 2021, menempuh studi Magister Manajemen di UST, Yogyakarta.
9 Juli 2021 14:30 WIB
·
waktu baca 10 menit
clock
Diperbarui 13 Agustus 2021 13:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kelik Novidwyanto Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Salah satu alasan mudah terpengaruh hoaks adalah lemahnya budaya "critical thinking" kita. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu alasan mudah terpengaruh hoaks adalah lemahnya budaya "critical thinking" kita. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Belakangan ini kita dihebohkan aksi borong ‘susu beruang’ menjelang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Aksi ini dipicu oleh klaim susu beruang alias ‘Bear Brand’ yang kabarnya bisa menangkal virus COVID-19. Isu yang bermula dari celotehan akun Facebook Anitaa pada 4 Juli 2021 yang kemudian disebarluaskan di media sosial.
ADVERTISEMENT
Klaim sepihak ini kenyataannya tidak terbukti. Prof Zubairi Djoerban, Ketua Satgas COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menegaskan bahwa 'susu beruang' tidak bisa mengobati COVID-19. Dokter Tan Shot Yen, pakar gizi dan pendiri Remanlay Institute juga menyebut bahwa panic buying pada produk tertentu dikarenakan literasi gizi masyarakat masih minim, sehingga ada kepercayaan-kepercayaan yang dibentuk sebagai opini publik.
"Apa yang mestinya mitos, dijadikan seakan-akan kebenaran. Sebaliknya, fakta ilmiah sama sekali tidak digubris,” jelas Dokter Tan. Kecenderungan masyarakat Indonesia yang tidak mau ribet untuk berpikir dengan nalar inilah yang menjadi alasan kuat kenapa kita gampang termakan hoaks.
Mengapa percaya hoaks?
Istilah hoax atau hoaks (baca: hoks) bisa diartikan sebagai ‘berita bohong’. Mengutip laman Wikipedia.com, hoaks adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar.
ADVERTISEMENT
Tujuan dari berita bohong adalah membuat masyarakat merasa tidak aman, tidak nyaman, dan kebingungan. Dalam kebingungan, masyarakat akan mengambil keputusan yang lemah, tidak meyakinkan, dan bahkan salah.
Berita hoaks sebenarnya tak akan menjadi masalah kalau masyarakat tidak mudah percaya dan menyebarkannya. Sayangnya, banyak pengguna internet terutama medsos yang gampang termakan hoaks. Pertanyaannya, mengapa masyarakat gampang mempercayai informasi hoaks?
Merujuk laman hellosehat.com, reaksi alamiah otak menjadi alasan internal (self) kenapa manusia gampang mempercayai hoaks. Para pakar psikologi dan ilmu saraf menyebut kecenderungan alami manusia untuk memercayai informasi yang lebih mudah dicerna. Hal ini dibuktikan dari hasil analisis aktivitas otak dengan alat pindai Functional Magnetic Resonance Imaging (fMRI), yaitu bentuk khusus MRI yang digunakan untuk memeriksa anatomi fungsional otak.
ADVERTISEMENT
Dari pemindaian itu, diketahui bahwa otak akan melepaskan hormon dopamin setiap kali kita berhasil memahami fakta atau pernyataan tertentu. Dopamin bertanggung jawab untuk membuat kita merasa positif, bahagia, dan nyaman.
Sementara ketika menerima informasi yang njelimet (rumit/kompleks), justru bagian otak yang mengatur rasa sakit dan muak yang lebih aktif. Sehingga tanpa sadar, otak manusia memang lebih menyukai hal-hal yang sederhana dan mudah dipahami, bukan berita-berita yang harus dicerna atau dipikirkan lebih dahulu.
Sejarah hoaks
Reaksi alamiah otak terhadap berita bohong memang menjadi alasan kuat kenapa kita gampang mempercayai isu-isu yang beredar. Hal ini bisa dibuktikan dari sejarah panjang hoaks, setidaknya lewat 2 versi yang dikisahkan melalui laman Wikipedia.com.
Pertama, dicatat pada 1661 mengenai kasus Drummer of Tedworth. Kisah seorang tuan tanah bernama John Mompesson yang dihantui oleh suara-suara drum setiap malam di rumahnya. Teror ini berawal dari kemenangan Mompesson terhadap William Drury, seorang drummer band gipsy dalam suatu perkara di pengadilan. Mompesson menuduh Drury melakukan guna-guna karena dendam akibat kekalahannya di pengadilan.
ADVERTISEMENT
Kisah teror itu sampai ke telinga seorang penulis bernama Glanvill. Ia mendatangi rumah Mompesson lalu mengaku mendengar suara-suara yang sama. Ia kemudian menceritakannya ke dalam tiga buku cerita yang diakuinya berasal dari kisah nyata. Kehebohan dan keseraman local horror story itu berhasil menaikkan penjualan buku Glanvill. Namun, pada buku ketiga Glanvill mengakui bahwa suara-suara tersebut hanyalah trik dan apa yang ceritakan adalah bohong belaka.
Kisah hoaks lainnya menceritakan klaim ‘batu ajaib’ Benjamin Franklin pada 1745 lewat harian Pennsylvania Gazette. Harian ini menceritakan tentang “Batu China” yang kabarnya dapat mengobati rabies, kanker, dan penyakit-penyakit lainnya. Sayangnya, nama Benjamin Franklin saat itu membuat standar verifikasi kedokteran tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Ternyata batu yang dimaksud hanyalah tanduk rusa yang tidak memiliki fungsi medis. Hal ini diketahui oleh salah seorang pembaca harian Pennsylvania Gazette yang membuktikan tulisan Benjamin Franklin itu. Hoaks-hoaks senada masih terus terjadi sampai adanya Badan Makanan dan Obat-obatan Amerika Serikat pada awal abad 20.
ADVERTISEMENT
Meskipun telah terjadi berabad-abad, istilah hoaks sendiri baru digunakan sekitar tahun 1808. Istilah ini datang dari kata ‘hocus’ yang berarti untuk mengelabui. Kata-kata hocus sendiri merupakan penyingkatan dari ‘hocus pocus’, semacam mantra yang kerap digunakan dalam pertunjukan sulap saat akan terjadi sebuah punch line dalam pertunjukan mereka di panggung.
Kedua, catatan historis "Great Moon Hoaks ” tahun 1835, di mana New York Sun menerbitkan serangkaian artikel tentang penemuan kehidupan di bulan. Contoh yang lebih baru adalah pada tahun 2006 “Flemish Secession Hoaks", di mana stasiun televisi publik Belgia melaporkan bahwa Parlemen Flemish telah mendeklarasikan kemerdekaan dari Belgia, sebuah laporan bahwa yang membuat sejumlah besar penonton menjadi salah paham.
Hingga kini, eksistensi hoaks terus meningkat. Dari kabar palsu seperti entitas raksasa seperti Loch Ness, tembok China yang terlihat dari luar angkasa, hingga ribuan hoaks yang bertebaran di pemilihan umum presiden Amerika Serikat pada tahun 2016. Semua hoaks ini mempunyai tujuan masing-masing, dari yang sederhana semacam publisitas diri hingga tujuan yang lebih kompleks seperti politik praktis sebuah negara adidaya.
ADVERTISEMENT
Kemunculan internet semakin memperparah sirkulasi hoaks di seluruh dunia. Serupa dengan meme, keberadaannya mudah menyebar lewat media sosial. Apalagi konten hoaks biasanya menunggangi isu yang tengah ramai diperbincangkan di masyarakat, yang membuatnya sangat mudah memancing orang untuk share (membagikannya) tanpa menelisik kebenarannya terlebih dahulu.
Melawan hoaks
Untuk melawan hoaks, pertama-tama kita perlu mengenali apa saja ciri-ciri berita bohong (hoaks). Setidaknya ada 8 (delapan) ciri-ciri hoaks, yaitu: 1.) manipulatif (misalnya antara foto dan isi berita atau caption berbeda), 2.) tidak sesuai konteks (seolah-olah ilmiah tetapi rekomendasi tidak sesuai konteks), 3.) berita palsu (biasanya bertujuan mendiskreditkan pihak tertentu), 4.) parodi (sindiran tidak langsung kepada pihak tertentu),
Kemudian 5.) konten menyesatkan (antara kenyataan dan komentar tidak sama), 6.) konten tiruan (pemalsuan), 7.) propaganda (melebih-lebihkan seseorang, bisa mengangkat atau menjatuhkan seseorang), serta 8.) tidak adanya kesesuaian antara data dengan fakta.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya pemerintah tidak tinggal diam melawan penyebaran hoaks. Pemerintah membuat pagar hukum melalui Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), memblokir situs-situs yang menyebarkan hoaks, menangkap sindikat penyebar hoaks serta membentuk lembaga siberkreasi yang berfokus dalam menangani hoaks.
Peran masyarakat juga tak kalah penting, masyarakat berusaha menekan peredaran hoaks dengan memberikan klarifikasi terhadap hoaks. Di antaranya melalui Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) yang secara aktif memberikan klarifikasi akan hoaks hingga melakukan literasi media, baik di kalangan masyarakat hingga jurnalis. Lantas muncul pertanyaan, faktor apa saja yang membuat hoaks masih terus ada? Jika merujuk laman Wikipedia.com, ada 6 (enam) faktor yang menyebabkan hoaks terus ada dan berkembang:
1. Jurnalisme yang lemah, jurnalisme yang lemah membuat konten hoaks terus berkembang karena tidak terbiasa dengan proses verifikasi, cek dan recheck. Peran media profesional yang seharusnya memberikan pencerahan dalam sebuah persoalan yang simpang siur di masyarakat semakin lama semakin tergerus.
ADVERTISEMENT
2. Ekonomi, Faktor ekonomi yang lemah membuat peredaran hoaks terus ada. Sialnya, banyak manusia oportunis yang dengan sengaja memproduksi hoaks atau mengarang berita bohong demi mendapat penghasilan.
3. Internet, kemunculan internet semakin memperparah sirkulasi hoaks di dunia. Sama seperti meme, keberadaannya sangat mudah menyebar melalui media sosial. Apalagi biasanya konten hoaks memiliki isu yang tengah ramai di masyarakat dan menghebohkan, yang membuatnya sangat mudah memancing orang membagikannya.
4. Media abal-abal (karbitan), kemunculan media abal-abal sama sekali tak menerapkan standar jurnalisme. Keadaan ini tentu semakin memperburuk kualitas informasi yang tersebar di masyarakat.
5. Literasi media yang rendah, rendahnya literasi media membuat seseorang cenderung mempercayai sebuah informasi yang diterima, didapatkannya tanpa melakukan verifikasi. Rendahnya literasi media membuat seseorang cenderung untuk membagikan setiap informasi yang didapatkannya kepada orang lain tanpa mengetahui kebenaran dari sebuah informasi itu.
ADVERTISEMENT
6. Pendidikan (critical thinking), rendahnya kualitas pendidikan membuat seseorang tidak bisa menyaring informasi yang diterimanya apalagi mencoba untuk bertindak kritis (critical thinking) dengan membandingkan setiap informasi yang diterimannya dengan informasi yang ada di berbagai media mainstream.
Membiasakan berpikir kritis
Salah satu faktor utama penyebab gampangnya peredaran hoaks di sekitar kita adalah lemahnya tradisi berpikir kritis (critical thinking). Filsuf Immanuel Kant pada abad ke-18 mendefiniskan sikap kritis sebagai sikap yang memiliki pencerahan budi, yaitu suatu sikap yang berani berpikir sendiri. Ketika kita mencoba menjawab suatu masalah, kita tidak gampang mencari-cari jawaban dengan menggantungkan pemikiran atau kepercayaan-kepercayaan terdahulu. Tetapi berusaha merumuskannya sendiri.
Menurut Martin Suryajaya, sikap kritis tidak sama dengan sikap mengkritik segala sesuatu atau “kontrarian”. Misal jika ada yang berpendapat A maka otomatis kita berpendapat bukan A, selalu berselisih. Sikap kritis juga bukan asal berpendapat lain atau berbeda. Namun mencoba menimbang segala sesuatu dengan pemikiran tersendiri secara mandiri, apakah manfaat, kekurangan atau kelebihan dari suatu argument dan memutuskan apa yang lebih layak untuk dipercayai.
ADVERTISEMENT
Kadang kita menganggap sikap kritis sebagai sikap asal protes. Mempermasalahkan segala sesuatu berdasar subjektifitasnya. Padahal bukan begitu, sikap kritis bukanlah asal protes tetapi “kemampuan untuk memilah suatu argumen, menyikapinya secara dewasa dengan berbekal suatu tradisi pembacaan atas berbagai pemikiran sebelum kita.”
Untuk bisa bersifat kritis, kita dituntut untuk tidak berpikir secara terkotak-kotak atau tersekat-sekat. Kita harus membiasakan berpikir di luar kotak (outside the box). Dalam mempermasalahkan sesuatu atau memikirkan sesuatu kita tidak boleh dikerangkai dalam satu paradigma. Kita tidak bisa mendekati satu persoalan dengan satu paradigma yang kita anggap benar. Karena ketika paradigma ini tidak bisa menyelesaikan masalah, maka kita otomatis akan menyimpulkan bahwa masalah itu memang tidak bisa diselesaikan. Ini adalah cara berpikir di dalam kotak.
ADVERTISEMENT
Sedangkan ketika berpikir di luar kotak (outside the box), kita berpikir tanpa mengandaikan sekat-sekat, melainkan mendekati suatu persoalan dengan aneka sudut pandang yang berbeda.
Dilatih sejak dini
Sikap kritis idealnya diajarkan kepada anak-anak sejak dini, ketika pola pikir mereka masih belum menetap (fix) dan masih dipenuhi rasa ingin tahu (curiousity). Sayangnya, di Indonesia pelajaran filsafat sebagai instrument utama berpikir kritis baru diajarkan di tingkat perguruan tinggi. Padahal di tingkat perguruan tinggi kita sudah mempunyai cara pandang yang fix (menetap). Agak susah untuk bereksperiementasi menggunakan sudut pandang yang berbeda. Seperti mencoba melihat suatu situasi atau problem dengan sudut pandang yang lain. Di Negara-negara Eropa seperti Jerman, filsafat sebagai instrument utama pemikiran kritis diajarkan sejak di tingkat SMA.
ADVERTISEMENT
Mengapa filsafat menjadi instrument utama berpikir kritis? Jawabannya sederhana: karena filsafat bukan disiplin kajian yang mangandalkan hafalan. Kita tidak perlu manghafalkan teori A B C, kita hanya perlu menalarnya. Kita hanya perlu mendengarnya sekali, menangkapnya, lalu mencoba membedah atau mengubah teori itu, memberinya masukan baru. Dengan cara itulah kita belajar berpikir secara kritis.
Dalam filsafat kita tidak terburu-buru memecahkan masalah. Kita mengapresiasi terlebih dahulu masalah itu. Misalnya tentang masalah hakikat dunia, kita tidak perlu terburu-buru menjawab bahwa hakikat dunia adalah A, B, C dst. Tapi kita perlu mengerti terlebih dulu arti dari hakikat. Apa makna dari kata hakikat. Lalu dari situ kita bertanya: “Apakah syarat yang harus dipenuhi sehingga kita bisa mengakses atau mengetahui hakikat itu. Syarat-syarat pengetahuan apa saja yang harus ada sehingga hakikat itu bisa kita capai rumusannya.”
ADVERTISEMENT
Cara filsafat bekerja mengasah pemikiran kritis adalah dengan menunda anggapan-anggapan kita sehari-hari. Kita sebelumnya sudah mempunyai pra-konsepsi atau pengandaian bahwa hakikat dunia ini adalah seperti yang diajarkan oleh ilmu fisika atau ilmu agama atau oleh orang tua kita. Nah, filsafat mengajak kita untuk mempertanyakan semua itu. Mempertanyakan semua yang sudah diandaikan benar dalam kehidupan kita sehari-hari. Menggali sejauh mana pandangan-pandangan itu benar, di mana batas-batasnya. Ketika ada kondisi yang tidak terpenuhi, maka anggapan itu tidak lagi berlaku atau tidak lagi dianggap benar.
Dengan mempelajari filsafat sejak dini, maka kita dilatih untuk berpikir sendiri, memiliki pikiran sendiri. Dalam dunia pendidikan sehari-hari biasanya kita dilatih berpikir dalam kerangka teori. Kalau menurut teori A jawaban dari permasalahan adalah B. Jadi kita dilatih agar pikiran kita sesuai dengan satu kerangka tertentu, conform dengan kerangka tersebut. Sedangkan filsafat mengajak agar kita merumuskan pikiran sendiri untuk menimbang berbagai pandangan yang ada. Kita tidak buru-buru percaya dan meyakini sesuatu dan menggunakannya dalam argument kita. Kita justru dilatih untuk ragu-ragu, untuk meragukan kesimpulan-kesimpulan yang diambil dengan cepat.
ADVERTISEMENT
Menurut Socrates, seorang yang mempelajari filsafat mempunyai pengetahuan yang khusus, yaitu “dia tahu bahwa dia tidak tahu”, bahwa dia tahu bahwa dia tidak tahu segala sesuatu yang ada di dunia ini. Ini adalah benih berpikir kritis sehingga ia mencoba mencari tahu apa-apa yang dia tidak tahu.
Dus, sikap kritis menjadi salah satu faktor utama untuk melawan gempuran hoaks yang terus mendera jagad informasi kita. Dengan berpikir kritis setidaknya kita mempunyai rem untuk tidak buru-buru tancap gas menyebar informasi yang belum jelas kebenarannya.