Konten dari Pengguna

Takbiran, Siklus Mudik, dan Makna Lebaran

Kelik Novidwyanto Wibowo
Sejak kuliah telah menekuni dunia penulisan baik sebagai penulis maupun penyunting. Menyelesaikan studi S-1 di jurusan Ilmu Ekonomi Pembangunan, di Kota Jogja. Tahun 2021, menempuh studi Magister Manajemen di UST, Yogyakarta.
9 April 2024 8:06 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kelik Novidwyanto Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi silaturahmi saat Lebaran. Foto: Odua Images/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi silaturahmi saat Lebaran. Foto: Odua Images/Shutterstock
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Menjelang H-10 lebaran, shaff-shaff jemaah salat Subuh dan Tarawih nampak semakin ‘maju’. Alih-alih mengencangkan ikat pinggang dan memfokuskan pada ibadah, kebanyakan dari kita disibukkan dengan aktivitas belanja menyambut lebaran. Ibu-ibu memadati mal-mal dan supermarket, mencari camilan dan bahan untuk membuat opor. Yang lain berburu diskon baju atau malah sudah memulai mudik ke kampung halaman.
Sebulan Ramadan seolah kita lalui dengan prestasi kekhusyukan yang biasa-biasa saja, tiba-tiba sudah hari terakhir Ramadan. Ritus puasa, tarawih, tadarus dan I’tikaf seperti sangat singkat dan tidak menyisakan apa-apa. Euphoria atmosfer lebaran sudah membuncah di kepala. Rutinitas ini selalu menjadi repetisi setiap akhir Ramadan. Ceramah dari mubaligh di masjid-masjid tentang keutamaan 10 malam terakhir menjelang 1 Syawal sepertinya kandas di telinga semata.
Merayakan lebaran bersama keluarga. Foto: Shutter Stock.
Padahal seperti dikutip dari laman Nahdlatul Ulama, bulan Ramadan sejatinya dibagi menjadi tiga fase. Fase pertama yaitu sepuluh hari pertama merupakan fase rahmat dan kasih sayang Allah SWT. Fase kedua atau sepuluh hari kedua adalah fase maghfirah, yakni ampunan dari Allah SWT. Sedangkan fase ketiga disebut “itqun minan nar”, yaitu pembebasan dari api neraka. Fase terakhir ini sejatinya sangat istimewa karena memiliki keutamaan dibandingkan 20 hari sebelumnya.
ADVERTISEMENT

Takbiran

Begitu bedug Maghrib berbunyi di akhir Ramadan, anak-anak menyerbu masjid-masjid. Penuh keceriaan menikmati keindahan takjil dan bergairah menyiapkan diri untuk takbiran. Ritus yang selalu mewarnai dan menjadi penyempurna setiap akhir Ramadan adalah koor takbir.
Anak-anak bersuka cita mengikuti pawai takbiran. Foto: Shutter Stock.
Suara takbir menggema di corong pengeras masjid, dilantunkan anak-anak dan orang tua. Suaranya ada yang buruk dan asal-asalan, tidak terlatih. Tetapi ada pula yang baik dan terdidik secara estetika mengaji.
ADVERTISEMENT
Mengumandangkan takbir menjadi sunah menjelang akhir Ramadan (begitu hilal 1 Syawal nampak) atau di pagi hari menjelang Salat Idul Fitri. Anak-anak dan remaja biasanya akan menggerombol, berkumpul di masjid menjelang malam 1 Syawal untuk mengikuti pawai takbiran. Mereka menghias diri dan kelompoknya sebaik mungkin. Membawa obor, kembang api atau lampion. Ada pula yang membuat replika ka’bah, masjid, onta, atau kreatifitas lainnya untuk dibawa berkeliling sambal mengumandangkan takbir.

Siklus Perputaran bernama Mudik

Tradisi paling akbar di penghujung Ramadhan adalah mudik. Orang-orang memanfaatkan libur nasional yang lumayan panjang untuk pulang ke kampung halaman. Kendaraan roda empat atau roda dua memadati jalanan, rela bermacet ria dan menempuh jarak ratusan kilo demi bisa berkumpul dengan keluarga. Biasanya akan terjadi eksodus besar-besaran pasca mudik.
ADVERTISEMENT
Menurut tulisan Sulthon Penanggungan berjudul “Mudik Sejati” di laman caknun.com, mudik merupakan kata kerja yang berasal dari kata “udik” yang artinya kampung atau desa. Mudik berasal dari “me-udik” yang diartikan sebagai menuju udik. Atau secara terminologi berarti pulang ke kampung halaman.
Arus mudik. Foto: Shutter Stock.
Tradisi mudik menggambarkan kerinduan para perantau tentang romantisme desa yang otonom. Sejak masa kerajaan, desa memiliki otonomi yang begitu besar. Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun pernah menulis tentang itu dalam “Indonesia Bagian Dari Desa Saya”.
Dalam salah satu tayangan di stasiun televisi, Cak Nun pernah membahas mengenai hakikat dan alasan kenapa seseorang harus mudik. Beliau menyampaikan bahwa setiap orang pasti akan mengalami perputaran atau siklus diri yang disebut dengan ‘kembali’. Siklus itu bisa dijabarkan sebagai: ke depan menuju ‘kembali’, maju untuk ‘kembali’, pergi untuk ‘kembali’, dan seterusnya. Siklus itu terjadi pada semua aspek kehidupan di semesta.
ADVERTISEMENT
Jika boleh dipersamakan, ritus mudik bisa jadi serupa dengan aktivitas safar. Secara etimologis, kata “safar” berasal dari bahasa Arab yang berarti “tampak”. Disebut begitu karena Safar yaitu melakukan perjalanan jauh akan menampakkan wajah asli atau akhlak seseorang. Apakah ia seorang penyabar, empatik, memiliki solidaritas yang baik atau justru seorang yang berpemikiran sempit, temperamental, dan egois.
Mudik demi bisa bertemu handai tolan. Foto: Shutter Stock.
Seperti dinukilkan dalam sebuah kisah ketika ada seorang laki-laki berkata kepada Umar r.a, “Sesungguhnya si Fulan itu orang yang baik.” Lantas Umar bertanya, “Apakah engkau pernah bersafar bersamanya?” Lelaki itu menjawab, “Belum pernah.” Umar bertanya lagi, “Apakah engkau pernah bermuamalah (berbisnis) dengannya?” Lelaki itu menjawab, “Belum pernah.” Umar bertanya, “Apakah engkau pernah memberinya amanah?” Lelaki itu menjawab, “Belum pernah.” Umar berkata, “Kalau begitu engkau tidak memiliki ilmu tentangnya. Barangkali engkau hanya melihat dia shalat di masjid.”
ADVERTISEMENT
Mudik jika dipandang dalam frame aktivitas safar, bisa menjadi sebuah ritus yang bukan hanya memenuhi dahaga kerinduan kita kepada kampung halaman dan handai taulan, tetapi juga menjadi barometer dalam mengukur attitude dan akhlak pasangan atau teman seperjalanan kita.

Makna Lebaran dan Epithumia

Lebaran atau Idul Fitri adalah momentum anugerah tertinggi, kondisi kebahagiaan teragung, menjadi semacam karamah, kemuliaan, yang paling menggiurkan. Setelah sebulan berpuasa, kita dipersilakan untuk melepas dahaga, berkumpul bersama sanak saudara dalam lingkaran takbir mengagungkan asma-Nya.
Nikmat lebaran setelah sebulan berpuasa. Foto: Shutter Stock.
Lebaran memiliki setidaknya lima padanan kata, yaitu lebaran, luberan, laburan, leburan dan liburan. Tapi cukup dengan dua padanan kata saja yaitu lebar dan luber, istilah lebaran dapat kita maknai. Jika lebaran dijabarkan dari kata lebar dan imbuhan an, maka ‘Lebar’ berarti lapang. Artinya di hari raya Idul Fitri kita harus berlapang dada. Sifat lapang dada ini diimplementasikan melalui kesanggupan meminta maaf sekaligus memberi maaf kepada sesama.
ADVERTISEMENT
Jika dilihat dari kata luber dan imbuhan an, berarti meluber alias meluap. Di mana aktivitas lebaran ini memberi dampak berupa melubernya sifat saling memaafkan, melubernya kendaraan di jalanan untuk mudik ke kampung halaman, dan melubernya aktivitas roda perekonomian di masyarakat. Artinya luberan ini memenuhi baik aspek psikologis (batin), sosiologis maupun ekonomi masyarakat.
Dus, apakah lebaran sungguh telah membuat lebar dan luber batin dan spiritual kita? Apakah kita telah memperoleh makna “kebahagiaan” setelah menjalani ritual penempaan diri bernama puasa di bulan Ramadan? Tentu idealnya begitu. Dalam buku berjudul “Filsafat Kebahagiaan”, Dr. Fahruddin Faiz membahas filsafat kebahagiaan menurut Plato. Menurut Plato, kita hanya akan memaknai kebahagiaan jika tahu batas.
Kita akan bahagia ketika mengetahui batas, Plato. Foto: Shutter Stock.
Puasa adalah ritus untuk memaksa kita mengetahui batas. Dalam term filsafat Plato jiwa manusia memiliki 3 unsur, yaitu epithumia, thumos dan logistikon. Kemudian ada 1 unsur pelengkap berupa eros. Menurut murid Socrates itu, epithumia berisi tiga macam nafsu badaniah, yaitu: nafsu makan, nafsu minum dan nafsu sex. Ketiga nafsu ini merupakan nafsu yang tidak bisa ditundukkan oleh rasio. Jika tidak terpenuhi keinginannya maka rasio pun tidak berdaya.
ADVERTISEMENT
Disebutkan Plato bahwa epithumia posisinya terletak di perut (nafsu makan, minum) serta di bawah perut (nafsu sex). Ketiganya jauh dari kepala, karena itu susah dikendalikan. Sifatnya irasional dan mortal. Jangkauannya pendek, jika maunya saat itu maka harus dipenuhi saat itu juga. Tetapi 3 nafsu dalam epithumia ini tidak boleh dibunuh. Jika dibunuh, maka bakal matilah kita sebagai manusia. Dalam buku Gorgias, Plato menggambarkan epithumia sebagai gentong bocor. Diisi berapa pun tidak akan pernah penuh. Ketiga nafsu badaniah itu perlu dipenuhi supaya rasio kita terjaga tetapi tidak untuk diperturutkan hingga melampaui batas.
Maka puasa adalah cara untuk menundukkan insting liar dari ketiga nafsu itu. Melalui batas-batas, jiwa kita akan hidup, batin kita akan bercahaya untuk melihat kesejatian: bahwa kita bukanlah golongan hewan yang hanya memperturutkan kebutuhan badaniah saja. Tetapi memiliki akal dan rasio untuk menentukan dan mengendalikan diri.
ADVERTISEMENT