Untung, Buntung, Mumpung

Kelik Novidwyanto Wibowo
Sejak kuliah telah menekuni dunia penulisan baik sebagai penulis maupun penyunting. Menyelesaikan studi S-1 di jurusan Ilmu Ekonomi Pembangunan, di Kota Jogja. Tahun 2021, menempuh studi Magister Manajemen di UST, Yogyakarta.
Konten dari Pengguna
10 Mei 2021 13:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kelik Novidwyanto Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Di Jogja, Mad Bejo memperoleh keberuntungannya. Suatu kebetulan atau sebuah kesempatan?/Dok. Kelik Novidwyanto
zoom-in-whitePerbesar
Di Jogja, Mad Bejo memperoleh keberuntungannya. Suatu kebetulan atau sebuah kesempatan?/Dok. Kelik Novidwyanto
ADVERTISEMENT
Ia biasa dipanggil Mad Bejo. Lelaki paruh baya dengan dandanan ala Elvis Presley. Celana cutbray, kacamata hitam, dan terutama jambul serta cambang khasnya. Di kedua jemari tangannya, terpasang belasan cincin akik dengan motif warna-warni. Entah jenis bacan, safir, kecubung, atau topaz.
ADVERTISEMENT
Pagi itu, aku mendapatinya tengah menggosok-gosok batu akik. Warnanya kemerahan, kelihatan berkilau terpapar sinar mentari.
“Lihat..lihat..indah bukan? Ini ruby namanya, ” pamernya. Sejurus kemudian disodorkannya batu akik itu ke arahku. “Ssstt..dengar ya, ruby ini yang membuat awak mujur…”
Begitulah Mad Bejo mengagitasiku. Menghasut, membujuk, mencuci otakku dengan ihwal untung beruntung. Menurutnya batu akik bukan sekedar simbol estetika, tapi juga spiritual. Lebih tepatnya metafisika. Mistik atau apapun yang bisa mewakili keyakinannya bahwa akik-akik itu mempunyai kontribusi dalam perjalanan hidupnya yang serba mujur.
Ahmad Bejo
Nama aslinya Ahmad Kartono, keturunan Jawa kelahiran Medan. Sosok flamboyan itu kukenal satu dasawarsa lalu. Ia datang ke Jogja tahun 1994 berbekal ijazah SMA. Setelah mencoba peruntungan sebagai calo bus antar kota kemudian banting stir jadi juru parkir, akhirnya labuhan Ahmad muda jatuh kepada dunia perakikan.
ADVERTISEMENT
Alasannya memilih akik adalah karena ‘takdir’. Konon saat pulang dari menjalankan tugas menjaga parkir di salah satu kawasan prestisius di Kota Gudeg, ia bersua seorang lelaki tua di bawah pohon beringin kembar. Lelaki tua itu nampak lusuh dan seperti kurang enak badan.
Dirundung rasa kasihan karena teringat bapaknya di Medan sana, ia memutuskan mencarikan Pak tua itu makanan dan minuman. Ia juga menawarkan mengantarnya ke klinik terdekat untuk berobat. Pak tua itu menerima nasi bungkus dan teh anget yang disodorkan Ahmad, tapi menolak diantar berobat. Selesai menyantap nasi dan menyeruput wedhang anget, Pak tua itu berujar:
“Kamu orang baik, nak. Saya tidak bisa membalasnya dengan uang, tapi cuma punya ini…”
ADVERTISEMENT
Pak tua itu menyodorkan sebongkah batu akik sekepalan orang dewasa. “Simpan batu akik ini dan hidupmu akan selalu beruntung!”
Sekejap setelah Ahmad menerima bongkahan akik itu, tiba-tiba Pak tua di depannya raib. Tentu saja Ahmad muda girab-girab, ketakutan luar biasa lari tunggang langgang pulang ke rumah kontrakannya. Untungnya ia tak membuang batu akik pemberian Pak tua itu dan ajaibnya batu akik itu tidak ikutan lenyap.
Entah disengaja atau tidak, Ahmad mengikuti saran Pak tua tadi untuk merawat batu akik pemberiannya. Ia membuatnya menjadi cincin, bandul kalung, gelang sampai anting. Di luar dugaan, banyak temannya yang tertarik. Ia pun menjualnya beberapa, menyimpannya beberapa lainnya. Dari uang penjualan batu akik, ia bisa membeli peralatan dan menyewa sebuah kios untuk membuat jasa penyepuhan perhiasan.
ADVERTISEMENT
Setiap hari, Ahmad menyikat perhiasan berupa gelang dan cincin emas. Sesekali perhiasan itu dicelupnya ke dalam wadah berisi cairan khusus dari potasium. Kemudian diangkat dan disikat lagi, berulang-ulang. Tak hanya membuka jasa sepuh perhiasan saja, ia juga berjualan cincin bertahtakan batu akik dari berbagai jenis. Lama kelamaan usahanya berkembang pesat, peminatnya tidak hanya dari dalam kota, tapi juga kolektor akik dan perhiasan dari luar Jawa.
Kini, Ahmad Kartono hidup bergelimang harta, usaha jual beli perhiasan dan jasa sepuhannya laris manis. Ia bisa membeli sebidang tanah di pinggiran Kota Jogja dan membangun istananya. Walaupun sudah kaya raya, ia tak pernah lupa untuk membantu sesama yang membutuhkan. Dari kebiasaannya berderma itulah ia dikenal banyak orang. Belakangan namanya lebih akrab dipanggil “Mad Bejo”, Si Ahmad yang selalu beruntung.
ADVERTISEMENT
Untung atawa Buntung
Seperti Mad Bejo, kebanyakan orang menganggap keberuntungan adalah takdir. Wis ginaris, sudah dituliskan di buku takdir di lauhul mahfuz. Manusia sak dermo nglampahi, sekedar menjalani takdir yang sudah dibuat oleh tangan-tangan Maha Pencipta.
Masalahnya, manusia tidak pernah tahu siapa yang diberi garis hidup untung seperti Mad Bejo atau buntung (rugi). Siapa yang ditakdirkan hidup beruntung dan siapa yang ditakdirkan sial. Semuanya misteri. Manusia hanya menduga-duga melalui interpretasi, penyandraan berdasarkan pengalaman atau kejadian yang dialami. Manusia terbiasa menggeneralisir peristiwa yang dialami sebagai sebuah takdir. Misalnya jika sudah beberapakali mencoba berdagang dan terus merugi, ia bisa saja menyimpulkan hidupnya sial. Padahal bisa jadi memang ada yang salah atau keliru secara teknis, kurang tepat manajemennya, atau skillnya memang belum mumpuni.
ADVERTISEMENT
Secara umum, semua penganut agama mempercayai bahwa Tuhan berkuasa dalam menentukan takdir dan berkehendak. Artinya, apakah manusia ditakdirkan beruntung atau sial adalah urusan-Nya. Pertanyaannya: semutlak itukah kekuasaan Tuhan? Apakah manusia sama sekali tidak mempunyai free will (kehendak bebas) alias berusaha?
Sepanjang sejarah kehidupan, manusia memang telah bersibuk ria untuk membedakan atau menyesuaikan Kehendak Allah dengan kemauan manusia. Memang ada orang-orang yang mengingkari adanya kemauan manusia (free will) dan memilih bersikap menyerah pada takdir alias fatalis. Sedangkan yang lainnya menganggap manusia menciptakan perbuatannya sendiri dan mengabaikan kehendak-Nya (takdir).
Dalam ajaran agama Islam, kita mengenal pembacaan ‘takdir’ melalui dua aliran besar. Yaitu aliran tradisional dan aliran Mu'tazilah. Aliran kalam tradisional dengan tokoh sentralnya Asy’ari, menempatkan manusia pada posisi lemah dan banyak bergantung pada kekuasaan dan kehendak-Nya. Artinya, Tuhan memiliki kehendak yang mutlak. Karena itu, Dia dapat berbuat apa saja secara sewenang-wenang pada makhluk-Nya. Bahkan, Dia bebas memberikan hidayah dan menyesatkan hamba-Nya secara paksa, memasukkan orang-orang jahat ke dalam surga.
ADVERTISEMENT
Sementara, aliran mu’tazilah yang masyur dengan mindset rasionalitasnya membatasi kehendak dan kekuasaan Allah menjadi empat hal. Yaitu (a) kebebasan yang telah diberikan-Nya kepada manusia untuk memilih dan melakukan perbuatanya, (b) sunnah-Nya dalam mengatur alam semesta dan makhluk-Nya, (c) norma keadilan, dan (d) kewajiban yang telah ditetapkan-Nya atas diri-Nya terhadap manusia.
Menurut aliran ini, kehendak Tuhan telah serta merta terdistribusikan menjadi kehendak manusia (free will). Kehendak atau kemauan manusia ini tergantung pada pilihan masing-masing. Mu’tazilah menganggap kehendak absolut (mutlak) adalah milik Allah, tetapi tidak menyangkal kehendak manusia.
Seperti termaktub dalam QS. Al-Ṣāffat ayat 96: “Allahlah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat”. Al Quran juga menerangkan perjanjian antara manusia dengan Allah, melalui QS. Al-Baqarah ayat 40: penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu.
ADVERTISEMENT
Ayat dalam Quran yang menjelaskan tentang kehendak manusia secara gamblang termaktub dalam QS. Al-Ra’d ayat 11, “Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri “.
Dalam membaca masalah takdir ini, KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau biasa disapa Gus Baha mempunyai pencandraan yang unik. Ia menganggap walaupun takdir adalah wilayah Tuhan, manusia tetaplah mempunyai kebebasan untuk memilih.
“Terus kalau misalnya ibadah kita tidak diterima Allah lalu kita gak ibadah? Saya ini misalnya dikasih tahu malaikat kalau nanti masuk neraka, apakah saya lalu tidak beribadah? Saya tetap akan beribadah…
Aji Mumpung
“Keberuntungan adalah sesuatu yang terjadi ketika kesempatan bertemu dengan kesiapan,” ujar Thomas Alva Edison.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan Mad Bejo yang menganggap keberuntungannya sebagai takdir yang sudah digariskan secara ajaib, Si penemu lampu pijar menganggap keberuntungan adalah harmonisasi antara kesempatan dengan kesiapan.
Berapa kali Thomas Alva Edison gagal sebelum menemukan bola lampu pijar? Pertanyaan ini kerap kita dengar. Jawabannya pun bermacam-macam. Ada yang mengatakan 999 kali, dan baru pada kali ke-1000 dia berhasil. Artinya, Edison harus benar-benar memantaskan diri sebelum memperoleh kesempatan mematenkan penemuannya.
Kesempatan bisa saja datang, misalnya ketika di media massa kita memperoleh informasi lowongan pekerjaan. Tapi kesempatan itu akan berakhir sia-sia ketika kita tidak mempunyai kesiapan. Kesiapan di sini berarti memantaskan diri. Kita tentu harus menyiapkan diri dengan belajar dan berlatih mengisi soal-soal sebelum bertanding di arena para pencari kerja. Harus belajar menghadapi wawancara ataupun menyiapkan stamina ketika hendak mengikuti medical check.
ADVERTISEMENT
Aji mumpung, ketika ada kesempatan dan kita memang pantas, maka seperti itulah keberuntungan berlaku. Dalam bahasa Jawa, aji mumpung berarti memanfaatkan kesempatan/peluang yang ada. Memang konotasinya cenderung negatif, seolah-olah memanfaatkan segala peluang yang ada untuk memupuk keuntungan. Ujung-ujungnya pelaku aji mumpung dianggap sebagai pribadi serakah. Padahal pelaku aji mumpung adalah orang yang mampu mengharmonisasikan kesempatan dan kesiapan secara massif. Wis lancar dalan rejekine…
Mad Bejo sebenarnya tidak menjadi ‘beruntung’ secara tiba-tiba. Seandainya tidak menolong Pak tua di bawah pohon beringin, ia tak akan mendapat batu akik yang menjadi jalan menuju keberuntungannya. Andai Mad Bejo tidak memantaskan diri dengan rajin bekerja dan memupuk mental dermawan membantu sesama, ia tak akan tergerak membantu Pak tua.
ADVERTISEMENT
Seandainya Mad Bejo tidak aji mumpung membaca peluang jasa penyepuhan emas dan melihat gegap gempita dunia perakikan, ia tidak akan memutuskan membuka jasa sepuh yang mengantarnya menjadi kaya raya.