Konten dari Pengguna

Cerpen: Saksi Bisu

Yerri Satria Putra
Akademisi di Universitas Andalas, Sumatera Barat
6 November 2023 14:16 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yerri Satria Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar hanyalah ilustrasi yang digunakan untuk mempertegas cerita. Gambar Desain Photoshop Yerri Satria Putra
zoom-in-whitePerbesar
Gambar hanyalah ilustrasi yang digunakan untuk mempertegas cerita. Gambar Desain Photoshop Yerri Satria Putra
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hai, perkenalkan, aku adalah kursi. Oops … maaf kalau hal ini mengejutkan anda. Jujur, tidak ada maksudku untuk mengejutkan anda, apalagi sampai membuat anda hilang kesadaran. Karena memang, aku adalah kursi. Tepatnya aku adalah kursi pimpinan. Aku ada di sebuah ruangan kerja yang cukup mewah, sepertinya ini adalah ruang kerja seorang pimpinan perusahaan besar. Orang yang tiap hari duduk di pangkuanku adalah seorang pengusaha yang sukses, mungkin dia juga seorang politisi, terdengar dari setiap pembicaraan yang terjadi di ruangan ini. Kudengar juga, orang-orang di sini memanggilnya dengan sebutan pak, terkadang boss, terkadang juga dia dipanggil pak Marwoto, bahkan pernah ada juga yang memanggil mas.
ADVERTISEMENT
Marwoto, orang yang sering duduk di pangkuanku, adalah seorang pebisnis yang sukses, cerdas dan professional. Dia orang yang cerdas, dan cermat. Sangking cerdasnya orang-orang menjulukinya pak dukun, karena prediksi-prediksinya selalu tepat, perhitungannya sangat akurat, dia tahu sesuatu akan yang terjadi beberapa hari, bulan atau tahun ke depan, hanya dengan melihat titik-titik merah dan hijau yang terkadang bergerak naik dan turun, yang ada di layar komputer di meja itu. Dan, terkadang ketika titik-titik itu bergerak pada arah tertentu, dia menjadi sangat agresif, entah sedang membuat apa, aku tidak tahu, tapi layar komputer itu selalu dicoretnya, dengan garis lurus ke atas dan ke bawah, juga diagonal, dan kadang-kadang dia membuat garis lengkung. Sampai suatu hari, aku tidak akan pernah lagi dapat melihat suasana itu, karena dia telah mati. Yah, dia mati di ruangan ini. Ditembak oleh seseorang dari kejauahan, tepat mengenai kepalanya.
ADVERTISEMENT
Sebelas bulan yang lalu, Deni sekretaris lamanya meminta berhenti dari perusahaan ini. Temanku yang selalu memangku Deni, memberitahuku kalau Deni semakin berat, kayaknya ia bertambah gemuk, karena perutnya semakin buncit dan pahanya tidak seperti dulu, lingkar pahanya bertambah besar, juga betisnya. Kayaknya Deni bahagia bekerja di sini, tapi kenapa dia berhenti, temanku itu tidak menceritakan semuanya, tapi, ya sudahlah karena memang sejujurnya dia bukan temanku. Ini memang aneh, karena dulu badan Deni tidaklah sebuncit itu. Sebagai seorang sekretaris tentu Deni memiliki kelebihan dibandingkan wanita-wanita lainnya. Ia cantik, berpostur tinggi langsing, putih, lembut dan waow! Luar biasa. Tapi Marwoto telah menodainya. Ia telah memperkosa Deni, di ruangan ini, malam itu setahun yang lalu aku merasakan cairan berwarna merah di kulitku, seperti darah, ya darah mengalir antara kedua paha Deni. Dan setelah kejadian itu, Marwoto selalu meminta Deni melakukannya di sini di ruangan ini, di pangkuanku.
ADVERTISEMENT
Suatu ketika, aku mendengar rebut-ribut, Deni dan Marwoto bertengkar hebat. Aku dengar, Deni meminta Marwoto untuk menikahinya, katanya demi anak, itu yang ku dengar, sambil menitikkan air matanya Deni terus memaksa Marwoto untuk menikahinya. Tetapi permintaan itu selalu ditolak oleh Marwoto. Dia malah meminta Deni untuk membunuh anak itu. Aku bingung, anak siapa yang mereka bicarakan. Terakhir aku sempat mendengar Deni mengatakan kepada Marwoto, suatu saat dia akan menembak kepala Marwoto. Tunggu saja! Katanya. Dan setelah Deni mengatakan itu, dia tidak lagi muncul di ruangan ini. Bahkan di Gedung ini. Rasanya seperti waktu yang berulang, apa yang ucapkan oleh Deni itu, selalu aku dengar dari perempuan-perempuan lainnya, yang juga mantan sekretaris Marwoto, Dewi, Rama, Nova, Rima, Rika, dan Siska. Tetapi tidak pernah terjadi, sampai sekarang Marwoto baik-baik saja.
ADVERTISEMENT
Kemudian muncul Susi. Wanita yang tak kalah menawannya dari Deni. Susi amat anggun, dengan untaian rambutnya yang hitam lebat sebahu. Bibir yang tipis, dan senyuman manis, matanya indah terang dan wajahnya cantik. Kulitnya putih mulus. Usianya baru berkisar 27 tahun-an.
Sudah seminggu Susi bekerja di kantor ini, Semuanya berjalan lancar seperti biasa, tidak ada yang aneh, dan Marwoto pun terlihat biasa saja. Di minggu keduapun demikian, minggu ke empat, dan akhirnya sudah dua bulan Susi bekerja, semuanya berjalan seperti biasa. Esoknya, pagi-pagi sekali Marwoto telah tiba di sini, di ruangan ini dan duduk di atasku dengan gelisah. Sebentar ia duduk sebentar ia berdiri lalu memandangi suasana pagi hari dari jendela ruangan dan berputar-putar mengelilingi ruangan. Kelakuannya seperti seorang yang tengah mencari ide. Ia berhenti di sebelah kanan meja, lalu membuka laci meja dan mengambil sebuah map sangat tebal yang berisikan arsip-arsip yang sangat banyak. Aku ingat map itu. Map berwarna biru tua berisikan tumpukan dokumen, entah dokumen apa yang ada di dalam map itu. Map yang sama ketika ia memberikannya kepada Deni, Siska, Rika, Rima, Nova, Rama dan Dewi dan sekarang untuk siapa map itu? Apakah? Aku melihat Marwoto tersenyum puas, dia mengecek selembar demi selembar dokumen tersebut. Aku tidak percaya jika konsentrasi pikirannya ada pada dokumen-dokumen itu, karena pandangan matanya sangat atau bahkan terlalu tajam, tapi kosong. Aku yakin pikirannya tidak pada lembaran kertas itu. Belum seluruh kertas itu dibacanya, dia lalu menelpon seseorang “Ujang?!” dengan nada suara yang sangat pasti, karena memang biasanya pimpinan selalu bicara dengan bawahan seperti itu. Tidak ada halo, atau salam pembuka,
ADVERTISEMENT
-Suara telpon-
“Sudah kau pikirkan?”
-Suara telpon-
“Bagaimana,
-Suara telpon-
“Ya, oke itu saja, ingat aku tidak mau ada kesalahan malam nanti, Pokoknya kau harus siaga! Aku akan memberimu bonus nanti”.
Dari nada dan gaya bicaranya, aku yakin Marwoto sedang merencanakan sesuatu. Tetapi aku tidak tahu apa yang ingin dia lakukan, sehingga dia harus membicarakannya kepada Pak Ujang, satpam di kantor ini.
Tidak lama kemudian, Marwoto berdiri dari pangkuanku. Berjalan menuju pintu keluar ruangan ini, dan dia pun memanggil, “Susi, kemari sebentar.” Lalu dia kembali menuju arahku, dan duduk di pangkuanku. “Tok-tok-tok” ada yang mengetuk pintu itu. “Masuk” ucapan Marwoto dengan suara yang tegas. Pintu terbuka, dan aku melihat Susi masuk dan datang mendekat ke arah ku. “Ada apa pak?” tanyanya ramah. Lalu Marwoto membuka laci meja, dan mengambil map berwarna biru tua itu. “Susi, besok aku harus ke Jepang dengan membawa dokumen ini. Aku ingin kamu menyelesaikannya segera malam ini.” Map berwarna biru tua yang sangat tebal itupun diserahkan kepada Susi.”Tapi pak, hari ini saya tidak bisa lembur, saya harus pulang tepat waktu, karena di rumah, keluarga saya sedang mengadakan selamatan.” Jawab Susi. Marwoto yang mendengar jawaban seperti itu lalu membalas dengan nada yang agak tinggi. “Susi, dokumen ini sangat penting, dokumen ini harus saya perlihatkan kepada investor kita di Jepang, jika tidak, kita akan kelihangan proyek senilai 30 juta US Dollar. Saya tidak peduli dengan kegiatanmu, saya ingin dokumen ini selesai hari ini, karena besok saya harus berangkat ke Jepang. Jika kamu menolak permintaan ini, kamu boleh meninggalkan kantor ini sekarang juga.” Mendengar perintah dan ancaman itu, Susi sepertinya tidak punya pilihan lain selain menerima pekerjaan tambahan itu. “Baik pak” jawabnya singkat, dan ia lalu mengambil dokumen-dokumen itu dan pergi meninggalkan ruangan ini.
ADVERTISEMENT
Hari sudah menunjukkan jam delapan malam. Suasana kantor pun sudah mulai sunyi, hanya ada Marwoto dan Susi yang masih di kantor ini, sementara karyawan lainnya sudah pulang sejak jam 5 sore tadi. Susi masih bekerja dengan begitu serius, sendirian di ruangan sebelah, dan Marwoto, aku lihat dari tadi hanya duduk-duduk santai saja di sofa itu.
Sekarang, 2 jam sudah berlalu. Aku lihat Marwoto masih di sofa itu, dan Susi masih di ruangan sebelah. Kulihat sedari tadi Susi sangat serius bekerja, walaupun sesekali dia berbicara dengan seseorang di telpon genggamnya. Aku tidak tahu dia bicara dengan siapa. 1 jam sebelumnya, aku lihat seseorang datang menghampirinya, memberikannya bungkusan, sepertinya makanan. Mungkin dia memesan makanan dan sekarang ingin memesan makanan lagi. Apakah bekerja membuat manusia kelaparan, aku tidak tahu, karena sejak aku di sini, aku sendiri tidak pernah makan, dan tidak pernah merasa lapar.
ADVERTISEMENT
Sekarang, waktu sudah menunjukkan jam 12.00 tengah malam. Suasana kantor begitu sepi, bahkan tidak mungkin lagi meninggalkan ruangan ini di jam segini karena gedung ini sangat sepi, dan ruangan lainnya pun sudah gelap. “Susi” teriak Marwoto, “apakah dokumen itu sudah selesai? Kalo sudah cepat berikan kepada saya!” tak lama pintu terbuka dan aku lihat Susi masuk ke dalam ruangan, berjalan pelan ke arah Marwoto yang duduk di sofa itu. “Ini pak, silahkan dibaca, apakah masih ada yang harus ditambahkan?” tanya Susi.
Susi lalu meletakkan tumpukan dokumen itu di atas meja itu. Marwoto lalu mengambil selembar demi selembar kertas yang diletakkan oleh Susi. Dia membaca dengan seksama, setiap kata yang tertulis di kertas itu. Lalu dia melirik ke arah Susi yang sejak tadi masih berdiri di depannya. “Duduk” katanya. Mendengar perintah dari atasannya, lalu Susi segera mengambil posisi duduk di sofa di depan Marwoto. “Bukan di sana” kata Marwoto, “duduk di sini, di sebelah saya”. Tambahnya. “Maaf pak, maksud Bapak bagaimana? Saya tidak mengerti.” Jawab Susi. “Iya, kamu duduk di sini di sebelah saya, dekat saya.” Balas Marwoto dengan suara yang tegas. Lalu Susi pun berdiri, dan berjalan menuju sofa Marwoto, dan duduk di sebelah Marwoto.
ADVERTISEMENT
Sesaat setelah duduk di dekat Marwoto, tiba-tiba Marwoto memeluk Susi. Mendapat perlakuan yang tiba-tiba, Susi kaget, dengan reflek ia mendorong Marwoto. Tetapi apa daya, tubuhnya sudah sangat lelah, dorongan yang dilakukannya pun tidak begitu berdampak kepada Marwoto. Dia terus menciumi Susi, “Susi, kamu cantik, malam ini aku ingin merasakan kecantikanmu” Ucap Marwoto sambil tersengal-sengal. “Jangan pak, tolong pak, kasihani saya” Pinta Susi, sambil tangannya terus berusaha mendorong tubuh Marwoto. “Sudah diam! Ikuti saja permintaanku, atau kamu akan saya lempar dari gedung ini” Ancam Marwoto kepada Susi. Mendengar ancaman itu, aku lihat Susi malah mendapatkan kekuatan, tidak saja dengan tangannya, bahkan kakinya sekarang ikut mendorong tubuh Marwoto. Dorongan itu melemparkan Marwoto menjauh dari sofa itu, dia terlempar sampai mengenai lemari kaca di dekatnya. Susi lalu berdiri dari Sofa itu, dia berlari menuju pintu keluar ruangan ini. Tetapi Marwoto lebih cepat. Sebelum Susi sampai di pintu ruangan, Marwoto sudah kembali memeluk Susi, dan mendorongnya ke arah ku.
ADVERTISEMENT
Dorongan yang kuat itu membuat Susi terhuyung dan duduk di pangkuanku. Dengan tenang, Marwoto berjalan ke arah pintu, dan dia menguncinya. “Susi, kamu tidak pantas menolak permintaanku, aku ini bos mu. Lakukan apa yang aku perintahkan, dan kabulkan apa yang aku inginkan!” Ucap Marwoto dengan suara yang angkuh. “Jangan pak, saya mohon, saya tidak ingin melakukan ini” Pinta Susi. “Ah, persetan, aku tidak membutuhkan saranmu, sekarang aku inginkan tubuhmu. Berikan kepadaku, atau kamu tidak akan melihat hari esok!” Ancam Marwoto, sambil berjalan mendekati Susi yang terduduk di pangkuanku. Marwoto menerkamnya, seperti harimau menerkam mangsanya. Susi yang tenaganya sudah habis, karena seharian bekerja tanpa henti, tidak mampu berbuat banyak, Dia hanya mampu menghindar seadanya, dan sudah tentu hal itu tidak berguna sama sekali. Marwoto kembali menciumi Susi, bibirnya, telinganya, lehernya. Dan dia melakukan hal itu berulang-ulang. Tanganya pun tidak diam, selalu bergerak aktif meraba tubuh Susi, dari dadanya hingga pahanya. Susi hanya bisa merintih sambil mengatakan “jangan pak, aku mohon”. “Diam, dan rasakan saja” Kata Marwoto.
ADVERTISEMENT
Puas melakukan semua itu, Marwoto pun berdiri, Dia membuka bajunya, lalu dilemparnya sembarangan, dan membuka celananya juga dilemparkan sembarangan. Lalu dia mendekati Susi, dan rebah di paha Susi. “Tidaaaak!!!” Susi berteriak dengan sangat keras, sampai-sampai akupun sangat terkejut. Kurasakan cairan merah membasahiku, darah, yah biasanya kegiatan ini diakhiri dengan darah, seperti darah Deni, Siska, Rika, Rima, Nova, Rama dan Dewi, yang membasahi kulitku. Susi berdiri, terperanjat dari pangkuanku. Sementara Marwoto masih tergeletak di depanku, karena terdorong ketika Susi hendak berdiri. Aku tidak melihat Marwoto tidak bergerak sama sekali, ada lupang di kepalanya dan mengeluarkan darah. Aku lihat Susi dari kejauhan, dia duduk di sudut ruangan ini, memojok ketakutan.
Besoknya, ruangan ini menjadi sangat ramai, banyak orang berseragam di ruangan ini. Mereka mengelilingi tubuh Marwoto yang sejak malam tadi tertelungkup di depanku. Mereka polisi yang sedang memeriksa TKP, tapi aku tidak melihat Susi, kemana dia. Marwoto telah mati, yah mati, tubuhnya tidak bergerak sejak malam tadi.
ADVERTISEMENT
Inilah kesaksianku. Malam itu, ketika Marwoto mendorong Susi ke arahku, aku melihat di luar sana, dari gedung seberang, ada setitik cahaya yang mengarah tepat ke arahku. Aku melihat bayangan 7 sosok, entah manusia entah setan, mengamati ke arah ruangan ini. Sepertinya aku mengenal saalah satu sosok itu aku kenal. Sosok seorang wanita yang berparas cantik, berpostur tinggi langsing, putih, lembut dan waow! Luar biasa.