Konten dari Pengguna

Generasi Muda Terkikis Zaman: Upaya Pelestarian Adat dan Tradisi Minangkabau

Yerri Satria Putra
Akademisi di Universitas Andalas, Sumatera Barat
16 November 2023 11:10 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yerri Satria Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Peserta mengikuti pawai budaya pada Festival Pesona Minangkabau, di Istano Basa Pagaruyuang, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, Kamis (17/11/2022). Foto: Iggoy el Fitra/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
Peserta mengikuti pawai budaya pada Festival Pesona Minangkabau, di Istano Basa Pagaruyuang, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, Kamis (17/11/2022). Foto: Iggoy el Fitra/Antara Foto
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Gagasan yang tertuang dalam tulisan ini bersifat lokal, yakni mengangkat permasalahan sosial-budaya yang tengah berkembang di kalangan generasi muda dari suatu etnis, yaitu generasi muda Minangkabau, atau yang dikenal secara nasional dengan sebutan "orang Padang."
ADVERTISEMENT
Meskipun demikian, saya berharap tulisan ini dapat memberikan inspirasi kepada kita semua, juga bahan renungan bagi kita dalam menghadapi tantangan dari usaha-usaha pelestarian kebudayaan dan tradisi di Indonesia. Pasalnya, keberhasilan dalam menjaga kebudayaan dan tradisi sangat bergantung pada peran penerusnya, yaitu generasi muda yang akan mewarisi nilai-nilai tersebut.
Kenapa demikian, perubahan sosial dan modernitas tidak boleh dianggap sebagai ancaman terhadap keberlanjutan kebudayaan, melainkan sebagai tantangan yang dapat diatasi melalui pendekatan yang bijak dan terencana. Pendidikan, baik formal maupun informal, muncul sebagai kunci utama dalam mengajarkan nilai-nilai tradisional kepada generasi muda.
Secara sederhana, tulisan ini membawa pesan yang bersifat universal tentang pentingnya pelestarian kebudayaan di tengah arus modernisasi dan perubahan zaman. Semoga artikel ini memberikan kontribusi positif dalam merangsang kesadaran kolektif tentang tanggung jawab kita bersama untuk menjaga keberagaman budaya Indonesia agar tetap hidup dan berkembang.
ADVERTISEMENT
Saat kita merenung sejenak, merenungi peristiwa-peristiwa masa lalu, sebuah masa di mana televisi, ponsel, komputer, dan akses internet belum eksis. Benak kita akan mengejar kenangan kehidupan yang penuh keceriaan, canda dan tawa. Sayup-sayup terdengan suara alunan musik “bansi dan saluang” (dua jenis alat musik tiup tradisional Minangkabau) lengkap dengan “ratok” para pedendang terdengar dari kejauhan, atau mungkin omelan-omelan dan kata-kata bijak dari Tuanku-Tuanku guru di “surau”, atau “Mamak”, “mandeh kanduang”.
Hati ini merasa pilu, sambil bergumam “waktu berjalan terlalu cepat” semua telah berubah tidak terkendali. Kenangan-kenangan dulu yang kita anggap indah mungkin saja dilihat sebuah gambaran kehidupan yang penuh penderitaan di mata generasi sekarang. Kegiatan-kegiatan yang biasa dilakukan dahulu (tradisi) menjadi barang asing, yang tidak dimengerti oleh generasi saat ini, dan mungkin juga sebagian besar merasa enggan untuk mempelajarinya, sebagaimana generasi dulu menekuninya. Lambat-laun tradisi-tradisi tersebut hanya akan menjadi sebuah seni visual dalam bingkai foto oleh para seniman fotografi.
ADVERTISEMENT
Negara ini sudah salah dalam menyusun strategi pewarisan kebudayaan nasional. “Salah” karena terlambat menyadari dan mengantisipasi perkembangan dan perubahan sosial yang terjadi dengan sangat dinamis ini. Persoalan pewarisan tradisi ini adalah persoalan nasional, termasuk pewarisan tradisi Minangkabau, apabila memang negara ini ingin tetap mempertahankan identitasnya sebagai negara yang ber”bhineka tunggal ika”.
Dalam konteks generasi muda Minang (istilah yang lebih populer untuk etnis Minangkabau), para ahli menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang menyebabkan pergeseran identitas dalam generasi Minangkabau. Navis menerangkan bahwa ada tiga masa penting yang dilalui oleh orang Minang. Yaitu masa reformasi, masa kemerdekaan, dan masa dipinggirkan sejarah. Dari uraian ini, saya mengklasifikasikan ketiga masa tersebut ke dalam periodesasi, yakni Periode Kolonial Belanda, Periode Revolusi Plus Orde Lama, dan Periode Orde Baru.
Panaromana Silokek, salah satu kekayaan geokultural yang dimiliki oleh Sumatera Barat. Foto Yerri Satria Putra.
Dalam melihat perubahan sosial, identitas generasi Minangkabau, klasifikasi ini memberikan pandangan yang lebih terstruktur terhadap perubahan-perubahan yang terjadi selama beberapa periode sejarah tersebut. Periode Kolonial Belanda: Pada periode ini, Belanda mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang bersaing dengan eksistensi surau.
ADVERTISEMENT
Pola pendidikan modern Belanda membentuk masyarakat Minang sebagai generasi yang haus akan pendidikan. Banyak generasi Minang berlomba-lomba mendapatkan pendidikan tinggi, sehingga menurunkan minat untuk bekerja saat merantau, karena tujuan sebagian besar orang Minang ke rantau untuk melanjutkan pendidikan bukan untuk berniaga.
Di samping itu, Belanda juga aktif di bidang sosial politik dan ekonomi, mengubah pola pekerjaan masyarakat Minang, bahkan mengintervensi tatanan adat seperti Penghulu “basurek”, menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem adat. Periode Revolusi Plus Orde Lama menyoroti keterlibatan aktif masyarakat Minangkabau dalam kegiatan politik dan ekonomi Indonesia. Ini berkonsekuensi terhadap identitas diri orang Minang.
Seperti peristiwa kelam pasca-PRRI menyebabkan migrasi besar-besaran warga Minang ke daerah lain, terutama Pulau Jawa. Dampaknya banyak Nagari kehilangan mamak dan penghulu, sehingga sistem adat tidak berfungsi dengan baik. Terakhir, Periode Orde Baru mencatat perubahan besar-besaran dalam tatanan sosial dan politik yang berpengaruh pada identitas generasi Minangkabau.
ADVERTISEMENT
Selama 32 tahun berjalan, orde baru seakan-akan menetapkan “Jawa” sebagai identitas budaya Indonesia. Penerapan UU No. 5/1974 dan 5/1979 tentang pemerintahan desa menjadi alat hukum yang digunakan oleh pemerintah dalam membentuk budaya tunggal dalam negara yang multikultural ini.
Masyarakat Minang terpaksa meninggalkan Nagari yang mereka cintai dan beralih ke kehidupan pedesaan. Kehilangan Nagari dianggap sebagai kehilangan tujuan hidup, sehingga banyak perantau Minang yang tidak lagi peduli dengan pembangunan Nagari mereka.
Pendidikan formal seringkali tidak memberikan penekanan yang cukup pada nilai-nilai adat, dan perubahan sosial yang cepat membuat generasi muda cenderung fokus pada persiapan hidup masa depan tanpa memahami secara mendalam akar budaya mereka.
Program Studi Sastra Minangkabua saat menerima kunjungan 11 orang mahasiswa UKM Malaysia dalam program credit earning FIB pada Agustus 2023. Foto Yerri Satria Putra
Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Barat memang telah menyadari permasalahan ini, namun terlihat "terlambat" menyikapinya, dan memberikan kesan kurang serius dalam penanganannya. Pemberlakukan kurikulum muatan lokal (mulok) yang di sekolah-sekolah tingkat SMA/SMK di Provinsi Sumatera Barat, tidak tepat dan tidak maksimal.
ADVERTISEMENT
Hal ini disebabkan karena belum adanya payung hukum yang mengatur pelaksanaan kurikulum mulok tersebut. Legasi dari penerapan kurikulum mulok keminangkabauan hingga saat tulisan ini dibuat hanya sebatas Surat Edaran (SE) Gubernur, yaitu Surat Edaran Nomor 420/3475/Disdik-2022. Belum ada peraturan tetap yang mengatur secara khusus pelaksanaan kurikulum mulok tersebut.
Peraturan Gubernur Nomor 050-46-2022 yang diacu dalam SE tersebut tidak secara eksplisit mengatur tata laksana kurikulum mulok, karena peraturan tersebut lebih bersifat sebagai ketetapan kinerja program unggulan Provinsi Sumatera Barat. Ketidakseriusan dalam penerapan kurikulum mulok ini tercermin dari masih adanya sekolah yang belum menerapkannya sepenuhnya di lingkungan mereka.
Keadaan ini membuktikan bahwa langkah-langkah konkret untuk mendorong penerapan kurikulum mulok belum sepenuhnya diimplementasikan. Meskipun ada kesadaran, tantangan implementasi seakan-akan menghambat upaya tersebut. Kekurangan peraturan yang mengikat, hal ini mungkin menyulitkan sekolah dan pihak terkait untuk mengambil langkah-langkah konkret.
ADVERTISEMENT
Provinsi Sumatera Barat sebenarnya telah memiliki sumber daya manusia yang cukup untuk menangani permasalahan pengetahuan adat dan budaya Minangkabau. Program Studi Sastra Minangkabau yang berdiri sejak tahun 1985 di Universitas Andalas telah menghasilkan banyak sarjana yang memiliki kemampuan untuk mengajar dan mengembangkan pengetahuan keminangkabauan di sekolah-sekolah. Namun, ketidakseriusan dan tidak bijaknya pemerintah daerah dalam melihat potensi itu membuat sumber daya yang telah tersedia tersebut tidak dimanfaatkan secara maksimal.
Idealnya, pemerintah daerah mengakui dan memanfaatkan potensi yang dimiliki oleh Program Studi Sastra Minangkabau ini sebagai solusi dalam upaya untuk keluar dari krisis generasi ini. Langkah-langkah konkret dan melibatkan kerjasama antara pemerintah daerah, perguruan tinggi, dan para ahli dari Program Studi Sastra Minangkabau dalam menyusun dan mengembangkan program-program strategis harus lebih ditingkatkan, hingga secara efektif mentransfer pengetahuan adat dan budaya Minangkabau ke dalam kurikulum sekolah-sekolah di provinsi tersebut.
Salah kegiatan pengabdian yang diadakan Program Studi Sastra Minangkabau berkolaborasi dengan 11 orang mahasiswa OSAKA University, Jepang. Pada Agustus 2023. Foto Yerri Satria Putra
Selain itu, dukungan yang lebih aktif dan perencanaan yang matang dari pemerintah daerah dapat membantu memastikan bahwa lulusan Program Studi Sastra Minangkabau dapat terlibat secara optimal dalam upaya pelestarian dan pengembangan warisan budaya daerah. Ini mencakup mendukung kegiatan penelitian, pelatihan bagi guru, dan pengembangan materi ajar yang sesuai dengan kebutuhan dan konteks masyarakat setempat.
ADVERTISEMENT
Kesadaran akan pentingnya memanfaatkan sumber daya manusia lokal yang telah terlatih dan berkualifikasi tinggi dalam bidang ini harus menjadi prioritas pemerintah daerah. Dengan memaksimalkan peran Program Studi Sastra Minangkabau, provinsi dapat memperkuat fondasi pendidikan adat dan budaya, sehingga generasi muda dapat lebih baik terhubung dengan warisan budaya mereka dan meneruskannya ke masa depan.
Selain itu, sinergisitas ini juga akan menciptakan lingkungan yang mendukung penyelenggaraan kurikulum mulok secara lebih efektif. Pemangku kebijakan, akademisi, dan masyarakat harus bekerja bersama-sama dalam merancang dan melaksanakan program-program yang dapat meningkatkan pemahaman dan kecintaan terhadap adat dan tradisi Minangkabau.
Sekali lagi, dukungan penuh terhadap Program Studi Sastra Minangkabau dan pihak-pihak terkait merupakan langkah awal yang sangat penting. Pemerintah daerah harus memberikan perhatian dan apresiasi kepada lembaga-lembaga pendidikan yang memiliki fokus pada pelestarian budaya. Peningkatan kualitas pengajaran, penyediaan sumber daya yang memadai, dan kolaborasi yang aktif dengan komunitas lokal dapat menjadi strategi yang efektif dalam mencapai tujuan ini.
ADVERTISEMENT
Kesadaran masyarakat juga perlu ditingkatkan melalui program-program edukasi dan kampanye yang melibatkan semua lapisan masyarakat. Dengan demikian, setiap warga dapat merasakan tanggung jawabnya dalam menjaga dan mewarisi identitas budaya Minangkabau.
Dengan mengimplementasikan langkah-langkah ini, pemerintah daerah dapat berperan sebagai pemimpin dalam menjaga dan mengembangkan warisan budaya Minangkabau. "Sayang ka anak patangihan, sayang ka nagari tinggakan" menjadi sebuah panggilan untuk bersama-sama menjaga keberlanjutan dan kekayaan budaya yang menjadi identitas bangsa Indonesia.