Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.90.0
Konten dari Pengguna
Ulama Besar asal Minangkabau yang Terlupakan: Sebuah Pembicaraan Singkat
21 November 2023 7:39 WIB
·
waktu baca 12 menitTulisan dari Yerri Satria Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jika ditanya, siapa ulama besar yang pernah ada di Sumatera Barat? Maka banyak yang akan menjawab Syekh Burhanuddin Ulakan, Syekh Surau Baru, Syekh Padang Ganting, Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi, Syekh Taher Jalaluddin, Syekh Khatib Kumango, Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), dan banyak lagi lainnya. Tetapi tidak satupun yang menginformasikan sosok ulama yang ada di Kota Padang, yakni Syekh Paseban Assyattari Rahimahullah Taala Anhu. Kekosongan informasi itu berlangsung setidaknya sampai saya menuliskan sebuah hasil penelitian mengenai riwayat hidup dan ketokohan ulama Minangkabau dari Kota Padang ini, pada tahun 2004 dan akhirnya dibukukan pada tahun 2019 yang lalu.
ADVERTISEMENT
Ada dua peninggalan yang membuktikan keberadaan ulama ini, yakni pertama sebuah tempat ibadah yang terletak di kampung Koto Tangah, Koto Panjang Tabing Padang, yang oleh penduduk setempat dikenal dengan nama Surau Paseban (informasi mengenai surau ini telah saya tuliskan pada edisi sebelumnya), dan kedua yakni manuskrip lama yang bertuliskan arab melayu berjudul “Sejarah Ringkas Syekh Paseban Assyattari Rahimahullah Taala Anhu” yang ditulis oleh Imam Maulana Abdul Manaf Amin Al-Khatib (alm). Kitab ini, yang merupakan sejarah singkat dari Syekh Paseban Assyattari Rahimahullah Ta’ala, memiliki ukuran 14 x 20 cm dengan ketebalan 108 halaman. Teks ditulis menggunakan tinta hitam dalam huruf Arab dan Melayu. Setiap halaman rata-rata memiliki 16,7 baris dengan panjang rata-rata baris sekitar 8,78 cm. Terdapat 7 kuras dengan 8 lembar per kuras. Naskah ini menggunakan kertas folio sebagai alasnya, dan setiap halaman memiliki blok teks berukuran 9,7 x 15,5 cm. Kitab ini termasuk karya yang relatif baru, seperti yang terungkap dalam bagian kolofon yang menyatakan penyelesaian penulisan pada tanggal 19 Oktober 2001.
Di halaman kedua menampilkan segi empat yang membelah blok teks. Di dalam segi empat tersebut, tertulis "Bismillahirrahmannirahim" dalam tulisan Arab. Penulis menggunakan tiga jenis tanda baca, yaitu titik (.) untuk menunjukkan akhir kalimat, koma (,) sebagai pengganti peran tanda berhenti sejenak, dan titik dua (:) untuk mengakhiri suatu kalimat, yang kemudian diikuti dengan kalimat dialog.
ADVERTISEMENT
Kitab ini, yang merupakan sejarah singkat tentang Syekh Paseban Assyattari Rahimahullah Taala Anhu, mungkin merupakan satu-satunya sumber tertulis yang secara komprehensif merinci kehidupan tokoh ulama Islam dari aliran Syattariyyah tersebut. Syekh Paseban Assyattari Rahimahullah Taala Anhu menjadi figur terakhir yang dengan tulus menerapkan prinsip-prinsip Islam sesuai dengan pandangan aliran Syattariyyah pada pertengahan abad ke-19. Pada periode tersebut, terjadi konflik ideologi dalam dunia Islam antara kelompok tua yang mewakili tarekat Syattariyyah dan Naqsyabandiyyah dengan kelompok muda non-tarekat.
Dalam suasana tersebut, kaum tua tampaknya kesulitan mengimbangi semangat yang semakin berkembang di kalangan kaum muda, baik dari segi aktivitas maupun jumlah penganutnya. Gerakan yang dilakukan oleh kaum muda ini akhirnya membentuk semangat persatuan di kalangan umat Muslim, tidak hanya di Minangkabau tetapi juga di seluruh wilayah Nusantara, sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme.
ADVERTISEMENT
Syekh Paseban, lahir di Kampung Koto Panjang, Koto Tangah, Padang, pada tahun 1234 Hijriah (1817 Masehi). Nama kecilnya adalah Karaping, dengan gelar Sidi Alim, dan bersuku Piliang. Ketika ia mencapai usia dewasa, kedua orang tuanya membawanya untuk belajar mengaji di Tanjung Medan, Ulakan. Pada saat itu, Syekh Habibullah (khalifah keenam dari Syekh Burhanuddin Ulakan) menjabat sebagai ulama di Tanjung Medan. Dengan bimbingan dari Syekh Habibullah, Syekh Paseban fokus dalam mempelajari Quranulkarim. Meskipun telah menyelesaikan pembacaan Al-Qur'an sebanyak tiga kali, ia masih kesulitan dalam memahami dan menghafal ayat-ayat Al Quran.
Karena kesulitan dalam memahami pelajaran yang diajarkan oleh guru, Syekh Paseban kemudian memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya. Di kampung, ia terlibat dalam kegiatan preman (parewa) dan bergaul dengan para guru silat.
Beberapa waktu kemudian, ia memutuskan untuk kembali mengejar ilmu agama. Dengan tekad tersebut, ia melakukan perjalanan ke Malalak (w. 1356 H/1837) dan menjadi murid dari Angku Syekh Malalak Limo Puluah. Meskipun telah belajar selama setahun di Malalak, ia masih kesulitan dalam memahami pelajaran. Oleh karena itu, sang guru, Angku Syekh Malalak Limo Puluah, mengambil kebijaksanaan untuk memindahkannya ke Pakandangan, agar dapat berguru kepada Syekh Surau Gadang Pakandangan.
ADVERTISEMENT
Di Pakandangan, ia akhirnya berhasil memahami dan menguasai ajaran-ajaran Islam yang diberikan oleh guru barunya. Hal ini sungguh tidak lazim, karena dalam waktu singkat, yaitu tiga bulan, ia mampu menguasai seluruh materi yang diajarkan oleh Angku Syekh Surau Gadang Pakandangan, termasuk Tafsir, Fiqh, Nahwu, dan Syarf.
Melihat kemajuan luar biasa yang dicapai oleh "Karaping", guru nya, Angku Syekh Surau Gadang, meminta agar Karaping meneruskan belajarnya kepada Syekh Padang Ganting di Batusangkar. Permintaan itu disampaikan oleh Tuanku Syekh Surau Gadang karena semua pengetahuan yang dimiliki oleh Syekh Surau Gadang telah dikuasai oleh Karaping, sehingga tidak ada lagi ilmu yang bisa diajarkan kepada Karaping. Oleh karena itu, dengan belajar dari guru yang lebih tua, diharapkan "Karaping" dapat menambah dan memperdalam pengetahuan agamanya.
ADVERTISEMENT
Di Padang Ganting, selain menjadi murid, "Karaping" juga diberi izin untuk mengajar, dan ia memiliki enam puluh murid. Setiap harinya, di siang hari, ia mengajar murid-muridnya, dan pada sore harinya, ia belajar dari Angku Syekh Padang Ganting. Syekh Padang Gantiang mengajarkan kepadanya ilmu Nahwu, Syarf, Tafsir, Fiqh, Mantiq Ma’ana, dan Uslul Tauhid. Dalam waktu singkat, karena berhasil menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan, "Karaping" berbai'at dan talakin zikir kepada tarekat dan guru, resmi menjadi khalifah Angku Syekh Padang Ganting. Dengan penguasaan ilmunya, ia dikenal oleh masyarakat setempat sebagai Syekh ahli Tafsir dan ahli tarekat Syattariyyah.
Di Padang Ganting, "Karaping" tidak hanya menjadi murid, tetapi juga mendapat izin untuk mengajar, dengan jumlah murid mencapai enam puluh orang. Setiap harinya, ia mengajar murid-muridnya di siang hari dan belajar kepada Angku Syekh Padang Ganting di sore hari. Dari Syekh Padang Gantiang, ia memperoleh pembelajaran dalam ilmu Nahwu, Syarf, Tafsir, Fiqh, Mantiq Ma’ana, dan Uslul Tauhid. Setelah berhasil menguasai ilmu-ilmu tersebut, "Karaping" berbai’at dan talakin zikir kepada tarekat dan guru, resmi menjadi khalifah Angku Syekh Padang Ganting. Di kalangan masyarakat setempat, ia diakui dengan sebutan Syekh ahli Tafsir dan ahli tarekat Syattariyyah.
ADVERTISEMENT
Suatu hari, di Padang Gantiang, seorang dari Nagari Sungai Abang meminta agar Syekh Padang Gantiang mengajar di Sungai Abang. Permintaan itu tidak langsung diterima oleh Syekh Padang Gantiang. Ia kemudian meminta kepada "Karaping" untuk menerima permintaan seorang dari Nagari Sungai Abang tersebut. Jadilah pada keesokan harinya, "Karaping" berangkat ke Sungai Abang dan mengajar di sana. Di Sungai Abang, ia memiliki sejumlah murid, sebagian besar dari daerah rantau Pariaman, dan ada juga yang berasal dari daerah darek. Lama Karaping mengabdikan diri di Nagari Sungai Abang, terbersit kerinduan dalam dirinya akan kampung halamannya di Kampung Koto Tangah, Koto Panjang, Tabing, Padang. Singkat cerita, Karaping akhirnya memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya, dan memutuskan untuk mengajar di sana. Di Koto Tangah, "Karaping" mendirikan sebuah surau di tanah kaumnya yang dulu pernah difungsikan sebagai rumah tahanan (RUTAN/ penjara=Paseban), dan dari sinilah awal mula nama "Paseban" diberikan kepada surau tersebut.
ADVERTISEMENT
Di Koto Tangah, Syekh Paseban mengalami berbagai pengalaman penting. Salah satunya adalah ketika ia dijebloskan ke dalam penjara oleh seorang Camat yang baru saja bertugas di Nagari Koto Tangah. Kesalahan yang dituduhkan kepadanya pada saat itu adalah tidak membayar rodi, meskipun menurut peraturan yang berlaku, ulama seperti Syekh Paseban seharusnya dibebaskan dari kewajiban membayar rodi. Namun, tampaknya tindakan ini sengaja dilakukan oleh sang Camat, dengan alasan untuk menutupi rasa malu yang dialaminya karena Syekh Paseban telah mempermalukan gurunya, yaitu Inyiak Rasul, sehingga hal tersebut juga dianggap sebagai penghinaan terhadap dirinya.
Pada waktu itu, gelombang reformasi keislaman di Makkah juga dapat dirasakan di Koto Tangah. Inyiak Rasul, seorang ulama dari golongan muda, mengkritik kebiasaan mancaliak bulan untuk menentukan awal dan akhir Ramadhan yang sering dilakukan oleh kelompok Islam konservatif, seperti Syattariyyah. Menurut Inyiak Rasul, kebiasaan tersebut sangat berbahaya dan sudah tidak relevan di zaman sekarang, karena sudah ada ukuran waktu yang akurat yaitu "kalender," sehingga awal dan akhir Ramadhan dapat diketahui dengan pasti. Namun, pendapat Inyiak Rasul ditolak secara halus oleh Syekh Paseban. Syekh Paseban mengungkapkan keinginan untuk menggunakan cara yang mudah tersebut, dan meskipun mengakui bahwa kegiatan mancaliak bulan memiliki risiko, ia sebelumnya meminta Inyiak Rasul untuk membuktikan dengan hadits Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa untuk mengetahui awal dan akhir Ramadhan, cukup dengan melihat kalender (ilmu hisab) dan tidak perlu melihat bulan. Mendengar tanggapan Syekh Paseban, Inyiak Rasul terdiam karena memang tidak ada hadits yang mendukung pandangan tersebut. Akhirnya, seluruh penduduk memilih untuk mengikuti Syekh Paseban.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Seiring berjalannya waktu, jumlah pengikut Syekh Paseban terus bertambah, tidak hanya dari Nagari Koto Tangah, tetapi juga dari berbagai daerah di Minangkabau, seperti Pauah, Solok, Batu Sangkar, Bukittinggi, Padang Panjang, Sungai Abang, dan lainnya. Popularitasnya sebagai seorang ulama semakin meningkat, bahkan ada pandangan pada waktu itu bahwa "para ulama baru" yang belum pernah berguru kepada Syekh Paseban akan diragukan kompetensinya sebagai ulama. Prestasinya mencapai tingkat di mana ia pernah dimintai pertolongan oleh Komandan Tentara Belanda untuk membantu Belanda menghentikan aktivitas pemberontakan yang dipimpin oleh PKI di daerahnya, Koto Tangah.
ADVERTISEMENT
Sebagai tanda terima kasih karena telah dibantu olehnya, Pemerintah Belanda ingin memberikan tanda jasa kepada Syekh Paseban. Namun, Syekh Paseban dengan tegas menolaknya karena ia tidak menginginkan penghargaan duniawi. Bagi Syekh Paseban, penghargaan yang kekal telah diberikan oleh Tuhan.
Sebagai seorang ulama, Syekh Paseban memiliki keinginan untuk menjalankan ibadah haji, dan akhirnya keinginannya itupun dikabulkan oleh Allah SWT. Oleh karena itu, sebelum ia meninggalkan suraunya untuk ke tanah suci, tepatnya pada tanggal 27 Rajab 1356 Hijrah (1937 Masehi) Syekh Paseban mengangkat tiga muridnya sebagai khalifah pengganti dirinya, yakni pertama, Angku Fakih Lutan, kedua, Angku Inyik Adam (keduanya dari Koto Tangah), dan ketiga, Angku Haji Abdul Majid dari Pauh Kembar. Sementara itu, Haji Imam Maulana Abdul Manaf Amin Al-Khatib, penulis naskah SP, tidak diangkat sebagai khalifah karena pada saat itu, umurnya masih sangat muda, yaitu 12 tahun, ketika Syekh Paseban berangkat haji ke Mekkah.
ADVERTISEMENT
Angku Fakih Lutan dan Angku Inyiak Adam ditugaskan untuk urusan adat, sementara Angku Haji Abdul Majid ditugaskan untuk urusan agama. Selain keempat orang tersebut, Syekh Paseban juga menunjuk beberapa orang sebagai penasehat, antara lain, Angku Qadi Talang dari Solok, Angku Syekh Datuk dari Lumindai, Angku Surau Gadang dari Tanjung Medan Ulakan, dan Angku Ibrahim dari Mudik Padang.
Sebelum berangkat, Syekh Paseban memberikan beberapa pesan kepada mereka, para khalifah dan penasehat. Pertama, ia menyampaikan bahwa jika ia meninggal di Makkah, maka kuburkanlah ia di Makkah. Ia tidak ingin mayatnya dikuburkan di kampung halamannya, karena khawatir kuburnya akan menjadi tempat ziarah orang.
ADVERTISEMENT
Kedua, Syekh Paseban meminta kepada tiga orang yang diangkatnya sebagai khalifah itu untuk selalu menjaga kitab-kitab ditinggalkannya di Surau Paseban. Ia tidak merestui jika kitab-kitab tersebut keluar dari suraunya. Meskipun, jika ada orang yang memerlukan kitab-kitab tersebut, ia memberikan izin untuk menyalinnya, namun dengan tegas dilarang membawa keluar kitab-kitab tersebut dari suraunya.
Namun demikian, tidak semua kitab-kitab itu ia tinggalkan di Surau Paseban. Beberapa kitab ia bawa untuk diajarkan di Negeri Makkah. Namun, di Makkah, niatnya untuk membuka pengajaran Islam tidak bisa terwujud akibat gejolak politik yang terjadi di sana pada saat itu.
ADVERTISEMENT
Kaum reformis di Makkah mengeluarkan larangan terhadap pengembangan ajaran-ajaran Islam kuno. Kitab-kitab ajaran Islam kuno bahkan dibakar, dan ulamanya yang menolak bekerja sama dengan kaum Islam moderat dibunuh.
Selain itu, faktor usia membuat Syekh Paseban tidak dapat melakukan ibadah haji secara penuh. Di asrama, ia sering jatuh sakit dan harus dirawat intensif oleh tim kesehatan (mantri). Akhirnya, Syekh Paseban meninggal dunia. Sesuai dengan permintaannya, jasadnya dikuburkan di Makkah.