Konten dari Pengguna

Politik Identitas: Strategi atau Ancaman bagi Persatuan?

Kema Hasmilmart
Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Prodi Ilmu Komunikasi
22 November 2024 18:41 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kema Hasmilmart tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
*Kema Hasmilmart
Ilustrasi gambar orang berkerumun by Artificial Intelligence DreaminaAI
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gambar orang berkerumun by Artificial Intelligence DreaminaAI
Politik identitas adalah sebuah strategi atau pendekatan politik yang menekankan pentingnya identitas tertentu seperti agama, etnisitas, ras, gender, atau orientasi seksual dalam membangun dukungan politik atau memperjuangkan kepentingan kelompok tertentu. Dalam praktiknya, politik identitas dapat digunakan untuk berbagai tujuan, seperti memperjuangkan hak-hak minoritas, meningkatkan representasi kelompok tertentu dalam pengambilan keputusan, atau menyoroti ketidakadilan struktural yang dialami oleh kelompok-kelompok tertentu. Politik identitas telah menjadi salah satu strategi yang sering digunakan dalam arena politik modern, terutama di masyarakat yang pluralistik seperti Indonesia. Politik identitas pada dasarnya memanfaatkan kesamaan identitas tertentu baik itu agama, suku, ras, atau bahkan budaya untuk meraih dukungan politik. Namun, keberhasilan jangka pendek yang dihasilkan dari pendekatan ini sering kali menyisakan konsekuensi jangka panjang berupa polarisasi, ketegangan sosial, hingga ancaman terhadap persatuan nasional. Untuk memahami sepenuhnya dampak politik identitas, kita perlu menelusuri bagaimana ia bekerja sebagai strategi dan bagaimana ia berpotensi menjadi ancaman serius bagi kohesi sosial.
ADVERTISEMENT
Dalam masyarakat yang multikultural, politik identitas bisa dipandang sebagai strategi yang sah untuk mengangkat isu-isu spesifik dari kelompok yang seringkali terabaikan. Di negara-negara dengan sistem demokrasi, kelompok minoritas atau termarjinalkan sering kali merasa bahwa politik identitas adalah satu-satunya cara untuk menyuarakan kebutuhan mereka. Dengan menonjolkan isu-isu yang relevan bagi kelompok tertentu, politik identitas dapat menjadi sarana untuk menciptakan inklusi dan memperjuangkan hak-hak mereka yang selama ini tidak terwakili secara memadai. Sebagai contoh, dalam konteks Indonesia, isu-isu seperti pengakuan terhadap hak masyarakat adat, pemberdayaan perempuan, atau pengakuan terhadap keragaman agama sering kali mendapat perhatian melalui kerangka politik identitas. Pendekatan ini membuka ruang untuk diskusi yang lebih spesifik dan memungkinkan para pemimpin politik untuk membangun hubungan yang lebih dekat dengan konstituen mereka. Dalam kasus ini, politik identitas dapat dianggap sebagai mekanisme yang memperkuat demokrasi dengan memberi ruang bagi suara-suara yang terpinggirkan.
ADVERTISEMENT
Namun, ada garis tipis antara menggunakan politik identitas untuk advokasi yang sah dan mengeksploitasinya demi kekuasaan. Ketika identitas kelompok digunakan untuk membangun narasi "kita vs mereka," politik identitas berubah menjadi alat polarisasi yang berbahaya. Di Indonesia, misalnya, penggunaan sentimen agama atau etnis dalam kampanye politik telah memicu perpecahan yang mendalam di masyarakat, terutama selama pemilu. Efek polarisasi ini tidak hanya terjadi pada tingkat elit politik, tetapi juga merembes ke tingkat akar rumput. Retorika yang berfokus pada perbedaan sering kali memicu kecurigaan antar kelompok dan memperkuat stereotip negatif. Hasilnya adalah masyarakat yang terfragmentasi, di mana solidaritas nasional tergantikan oleh loyalitas kelompok sempit. Polarisasi ini tidak hanya mengancam stabilitas sosial, tetapi juga menghambat upaya untuk mencapai konsensus dalam pengambilan keputusan politik.
ADVERTISEMENT
Penggunaan politik identitas yang berlebihan juga berisiko menciptakan krisis kepercayaan pada sistem demokrasi itu sendiri. Ketika pemilih merasa bahwa identitas kelompok lebih penting daripada kompetensi, integritas, atau visi seorang kandidat, pemilu kehilangan fungsinya sebagai mekanisme untuk memilih pemimpin terbaik. Sebaliknya, pemilu berubah menjadi arena pertempuran identitas, di mana kualitas kandidat sering kali dikesampingkan demi loyalitas kelompok. Lebih jauh lagi, politik identitas dapat mengikis kepercayaan pada institusi negara. Ketika kebijakan publik ditafsirkan melalui lensa identitas, kelompok yang merasa dirugikan akan melihat institusi negara sebagai tidak netral atau bias. Dalam jangka panjang, hal ini melemahkan otoritas negara dan memperburuk fragmentasi sosial.
Meski memiliki potensi destruktif, politik identitas bukanlah sesuatu yang sepenuhnya harus ditolak. Yang diperlukan adalah cara pengelolaan yang bijak dan bertanggung jawab. Para pemimpin politik harus mampu menyeimbangkan kebutuhan untuk mengadvokasi kelompok tertentu dengan kepentingan yang lebih besar untuk memelihara persatuan nasional. Dalam konteks ini, inklusi menjadi kata kunci. Politik identitas harus digunakan untuk memperluas ruang partisipasi, bukan mempersempitnya dengan eksklusivitas.
ADVERTISEMENT
Pendidikan politik juga memegang peran penting dalam mengurangi dampak buruk politik identitas. Masyarakat perlu didorong untuk memilih berdasarkan kualitas dan program kandidat, bukan sekadar identitas kelompok. Selain itu, regulasi yang lebih ketat terhadap penyebaran ujaran kebencian dan hoaks berbasis identitas juga diperlukan untuk mengurangi potensi konflik.
*Penulis adalah Mahasiswa Pengantar Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP UNTIRTA