Anak Stres dan Suami Lumpuh, Ibu di Sultra Ini Tak Pernah Dapat Bansos COVID-19

Konten Media Partner
16 Mei 2020 11:49 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Basrun, anak Halidang yang dikurung dalam toilet selama bertahun-tahun. Foto: Lukman Budianto/Kendarinesia.
zoom-in-whitePerbesar
Basrun, anak Halidang yang dikurung dalam toilet selama bertahun-tahun. Foto: Lukman Budianto/Kendarinesia.
ADVERTISEMENT
Sejak empat tahun terakhir, Halidang hampir tidak tahu sama sekali isu yang berkembang di luar sana. Dia bak hidup terpenjara di rumah sendiri.
ADVERTISEMENT
Terlalu jauh jika kita membahas soal Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), jaga jarak, dan istilah-istilah populer lainnya di tengah wabah COVID-19. Ibu empat anak ini tidak akan tahu itu. Bahasa Indonesia saja dia tidak bisa.
Kalau stay at home mungkin iya. Karena keadaan yang memang memaksakan perempuan 60 tahun tersebut untuk tetap berada di rumah.
Yang dipikirkan Halidang setiap harinya; bagaiman bisa makan, dan bagaimana membersihkan kotoran suami yang tak bisa bergerak, serta dua anak laki-lakinya yang diisolasi.
Beruntung, masih ada Herianto, anak bungsu Halidang yang mencari nafkah dengan berkebun. Tentunya untuk memastikan keluarganya bisa makan setiap hari.
Pendatang dari Sulsel
Halidang tinggal di rumah semi permanen di Desa Ponggiha, Kecamatan Lasusua, Kabupaten Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra).
ADVERTISEMENT
Di rumah berukuran 5x6 dengan dinding kayu itu, Halidang tinggal bersama Hajaring (suami), Basrun (anak 1), Ramli (anak 2) dan Herianto anak ke empatnya. Anak ke tiga Hliddang sudah lama menjadi TKI di Malaysia.
Sebenarnya, mereka semua pendatang di Kolaka Utara. Daerah asalnya di Kecamatan Bontotiro, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel). Sejak tahun 90-an, anak pertama Halidang, Basrun mencari peruntungan di Kolaka Utara.
Sebelum sakit, Basrun termasuk salah satu petani di Kolaka Utara yang terbilang sukses. Hajaring, kemudian menyusul Basrun ke Kolut sekitar tahun 2012. Pada tahun 2015, Halidang bersama anak kedua dan anak bungsunya juga menyusul.
Seiring waktu, tiba-tiba, Basrun jatuh sakit dan stress. Warga setempat menduga Basrun sakit karena ilmu magis yang dimilikinya.
ADVERTISEMENT
Injo mulana hambangi kalenna. Nampa hambangi nyahananjo, lampami angganggu kiri kananng,” cerita Halidang kepada Kendarinesia yang artinya “Awal mula (Basrun sakit) dia merasa panas, kemudian memberontak dan pergi mengganggu orang.”
Sejak saat itu, keadaan berubah. Cerita Halidang, dua tahun kemudian, suaminya pun lumpuh. Sakit Ramli, anak kedua Halidang juga kambuh sehingga Halidang harus mengurusi dua anaknya yang stress, dan suaminya yang lumpuh.
Ramli, anak kedua Halidang yang digembok di dalam rumah. Foto : Lukman Budianto/Kendarinesia.
Dirantai dan Diisolasi di Toilet
Pada tahun 2015, warga setempat bersama pihak kepolisian sepakat untuk mengurung Basrun di dalam toilet. Pintunya diganti dengan pintu besi, yang digembok. Cerita lima orang tetangga Halidang yang berbincang dengan Kendarinesia, Basrun terpaksa dikurung karena mengganggu masyarakat.
Bahkan, Basrun sempat menikam ayahnya sendiri. Beruntung saat itu ayah Basrun masih selamat dengan bantuan warga setempat. Kekhawatiran warga semakin parah karena Basrun juga mengganggu anak gadis di daerah itu.
ADVERTISEMENT
Sejak saat itu, Basrun dikurung di toilet, Ramli yang sakitnya juga semakin parah dan sering memberontak dirantai di dalam rumah. Hajaring terbaring lemah di dalam rumah karena lumpuh. Halidang tak bisa ke mana-mana lagi. Dia harus mengurusi anak dan suaminya di rumah.
Basrun, anak Halidang yang dikurung dalam toilet selama bertahun-tahun. Foto: Lukman Budianto/Kendarinesia.
Tak Dapat Bantuan COVID-19
Anak bungsu Halidang, Herianto menjadi harapan satu-satunya agar keluarga ini bisa makan. Namun, kata Herianto, sejak harga cengkeh turun, ditambah lagi hasil produksi yang terus menurun, membuatnya harus mencari kerjaan sampingan.
“Kerja apa saja pak. Yang penting menghasilkan. Tapi kan sekarang susah ini karena Corona,” kata Herianto.
Sejak wabah COVID-19 melanda negeri, ditambah lagi dengan status zona merah yang telah melekat di Kabupaten Kolaka Utara, membuat Herianto harus berharap ke hasil kebun saja.
ADVERTISEMENT
Mirisnya, keluarga ini tidak masuk dalam daftar penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) COVID-19. Bantuan sosial yang resmi dari pemerintah pun mereka tidak dapat karena mereka tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Kolaka Utara.
Sekretaris Dinas Sosial Kolaka Utara, Andi Darwisa, yang dikonfirmasi mengatakan penerima BLT memang diperuntukkan bagi warga Kolaka Utara.
“Menerima BLT itu harus lengkap NIK, dan harus warga Kolaka Utara,” ujar Andi Darwisa usai memberi sumbangan sembako secara pribadi ke Halidang.
Pihak Dinas Sosial sendiri berjanji akan mengurus kartu penduduk Halidang agar ke depannya bisa terakomodir menerima bantuan sosial.
“Ini kebetulan sudah ada surat pengantarnya. Saya sudah pegang. Senin saya akan urus ini di Capil,” kata Andi Darwisa.
ADVERTISEMENT
Hari ini juga Halidang sudah mendapat bantuan nonpemerintah dari Polres Kolaka Utara berupa beras satu karung, serta mi instan dan berbagai macam minuman.
Kapolres Kolaka Utara, AKBP I Wayan Riko Setiawan, mengatakan pihaknya akan berusaha untuk memberi bantuan per bulan bagi Halidang selama COVID-19 ini berlangsung.
“Ini jujur kita tau ini baru ya. Ini setelah Bhabin kita ke sana. Tapi kita sudah kok sudah kasi mereka bantuan juga,” ujar I Wayan Riko Setiawan.
****
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!