Bertahan Hidup dengan Sampah di 'Kampung Pemulung' Kendari

Konten Media Partner
14 Mei 2019 12:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kampung pemulung yang berada di Kelurahan Sodoha, Kecamatan Kendari Barat, Kota Kendari, Foto: Wiwid Abid Abadi/kendarinesiaid
zoom-in-whitePerbesar
Kampung pemulung yang berada di Kelurahan Sodoha, Kecamatan Kendari Barat, Kota Kendari, Foto: Wiwid Abid Abadi/kendarinesiaid
ADVERTISEMENT
Banyak orang yang tak mengetahui di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra), ada wilayah yang dikenal dengan sebutan 'kampung pemulung'. Tepatnya, terletak di pinggir jalan di Kelurahan Sodoha, Kecamatan Kendari Barat, Kota Kendari.
ADVERTISEMENT
kendarinesia berkesempatan mengunjungi 'kampung pemulung' pada Selasa (14/5). Sebenarnya, tempat itu bukanlah sebuah kampung sungguhan, lebih tepatnya hanya sebuah penampungan barang bekas dari para pemulung. Hanya, para pemulung dan warga menyebutnya 'kampung pemulung' atau 'pagar seng'.
"Banyak orang kenal di sini itu 'pagar seng', tapi biasa juga disebut 'kampung pemulung', tapi banyak orang tahu dengan nama 'pagar seng' saja," kata seorang pemulung di sana, Suratman (52 tahun).
Suratman bercerita, awalnya para pemulung mulai menampung sampah hasil pencarian mereka di tempat itu sejak enam tahun lalu. "Enam tahun lalu, awalnya hanya empat orang saja, saya, bapakku, omku, dan satu orang teman," katanya.
Pemulung dari tempat lain kemudian berdatangan, hingga akhirnya jumlah mereka menjadi belasan, kurang lebih ada 17 orang. Jadilah tempat itu dikenal dengan sebutan 'kampung pemulung'.
Suratman (52), saat berbincang-bincang dengan jurnalis kendarinesiaid, Foto: Wiwid Abid Abadi/kendarinesiaid
Tanah tersebut diketahui bukan milik mereka, melainkan milik PT Pelni. Kawasan tersebut rencananya akan dibangun sebuah kantor. Namun karena belum digunakan, para pemulung meminta izin untuk menjadikannya sebagai lokasi penampungan hasil kegiatan memulung.
ADVERTISEMENT
Lambat laun, selain menampung barang hasil memulung di sana, para pemulung juga mulai mendirikan gubuk untuk tempat istirahat.
"Yang menampung di sini kan ada yang rumahnya jauh, ada juga yang mengontrak rumah. Daripada pulang balik, mending buat gubuk untuk istirahat, jadi setelah memulung tidak usah lagi balik di rumah, langsung di sini saja," kata Suratman.
Beberapa pemulung yang ada di tempat itu rata-rata berasal dari luar Kendari, bahkan ada juga yang dari luar Sulawesi Tenggara.
"Tidak semua dari sini (Kendari), rata-rata dari luar. Ada yang dari luar Kendari, ada juga yang dari luar Sultra. Ada yang dari Jawa, yang dari Makassar juga ada," lanjut Suratman.
Beberapa pemulung rata-rata berasal dari luar Kendari, bahkan dari luar Sulawesi Tenggara. Foto: Wiwid Abid Abadi/kendarinesiaid
Meski berasal dari luar Kota Kendari, mereka mengaku sudah pindah domisili menjadi warga Kota Kendari. Mereka juga sudah mengurus KTP elektronik Kendari. "Ada KTP Kendari, dapat bantuan juga biasa. Bedah rumah juga dapat," ujar Suratman.
ADVERTISEMENT
Memulung sampah bukanlah pekerjaan awal para penghuni 'kampung pemulung'. Awalnya, mereka bekerja sebagai penarik becak di Pasar Sentral Kota Kendari dan kuli panggul di pelabuhan. Seiring perkembangan zaman, minat masyarakat naik becak berkurang, yang secara langsung memengaruhi penghasilan mereka. Akhirnya, mereka 'banting setir' menjadi pemulung.
"Dulu sebenarnya kami menarik becak, tapi karena penghasilan kecil, akhirnya kita memulung, yang penting halal. Sekarang tambah banyak," kata Suratman.
Menurut dia, penghasilan dari bekerja sebagai pemulung terbilang cukup. Misalnya, dalam rentang waktu 15-20 hari, para pemulung bisa mendapat uang Rp 400.000-500.000. Sampah yang mereka kumpulkan bervariasi, mulai dari botol plastik air mineral, besi tua, kardus, hingga botol kaca.
"Jadi kita kumpulkan barang di sini, sambil kita pilah-pilah, kita kumpulkan. Setiap 15 hari atau 20 hari, pengepul barang datang ke sini untuk menimbang. Hasilnya lumayan," ujar Suratman.
ADVERTISEMENT
"Harganya juga bervariasi, yang paling mahal itu kardus dan botol plastik berwarna," sambungnya.
Tampak gerobak-gerobak para pemulung terparkir di 'kampung pemulung'. Foto: Wiwid Abid Abadi/kendarinesiaid
Selain suka, ada pula duka yang dialami para pemulung di 'kampung pemulung'. Pernah suatu ketika, ada seorang warga datang ke sana untuk menanyakan tabung gas miliknya yang hilang. Warga itu menduga, salah satu pemulung mengambil barangnya.
"Pernah ada yang datang ke sini, marah-marah. Katanya tabung gasnya hilang, dia tanyakan siapa yang memulung pagi di sekitar rumahnya. Saya bilang, tidak ada yang ambil barang masih terpakai, yang kita pungut barang bekas dan tidak terpakai," kisah Suratman.
Kini, jumlah pemulung yang bertahan di 'kampung pemulung' tersisa delapan orang saja. Gubuk-gubuk yang mereka dirikan untuk tempat istirahat juga sudah dibongkar, sebab tempat itu tak lama lagi akan digunakan pemiliknya untuk membangun kantor.
ADVERTISEMENT
"Sekitar tahun lalu, yang jaga tanah kasih tahu kita, suruh bongkar gubuknya karena mau dipakai. Akhirnya kami bongkar. Sebelum pindah, ada 17 orang tinggal di sini. Tapi selama mau dibangun itu tanah, (pemulung) terpaksa pindah. Banyak yang tinggal di RRI dan di pasar-pasar, menyewa. Sekarang sisa delapan orang," ucap Suratman.
Meski telah membongkar gubuknya, mereka masih tetap bertahan di tempat itu. Suratman mengatakan mereka hanya bergeser tempat ke tanah kosong milik warga. "Karena di tanah Pelni disuruh pindah, kami bergeser ke sebelahnya, kebetulan ada tanah kosong. Kita minta izin untuk menampung, diizinkan," katanya.
Selain mengontrak rumah, ada sebagian pemulung yang kini sudah mempunyai rumah sendiri. Salah satunya adalah Suratman. Ia membeli sepetak tanah untuk dibangunkan rumah, tempat keluarganya tinggal.
ADVERTISEMENT
"Alhamdulilah, sekarang sudah ada rumah sendiri. Tapi sebagian masih ada yang ngontrak," pungkas Suratman.
---