Cerita Warga Konawe Utara Direlokasi Puluhan Tahun, Tanah Tak Bisa Disertifikat

Konten Media Partner
30 September 2023 10:56 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pemukiman warga di Desa Waturambaha, Kecamatan Lasolo, Kepulauan Kabupaten Konawe Utara. Foto: Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Pemukiman warga di Desa Waturambaha, Kecamatan Lasolo, Kepulauan Kabupaten Konawe Utara. Foto: Istimewa
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ratusan kepala keluarga (KK) di Desa Waturambaha, Kecamatan Lasolo, Kepulauan Kabupaten Konawe Utara dirundung kegalauan. Pemukiman yang ditempati puluhan tahun hasil relokasi pemerintah ternyata masuk dalam areal kawasan hutan. Akibatnya, tanah tak bisa disertifikat.
ADVERTISEMENT
Warga Desa Waturambaha menempati lokasi perumahan dan perkebunan merupakan penetapan dari pemerintah dari relokasi warga dari pulau Labengki Besar.
Kerisauan itu dirasakan warga Waturambaha, ketika hendak melegalkan lokasi pemukiman. Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat enggan menerbitkan sertifikat tanah warga karena terganjal status tanah yang berada di atas kawasan hutan.
"Setelah dibuka peta, BPN tidak mau, kecuali status kawasannya diturunkan terlebih dahulu, baru bisa ada sertifikat," ujar warga Desa Waturambaha, Wakir beberapa waktu lalu.
Wakir merupakan salah satu dari ratusan KK yang pemukimannya berada di atas kawasan. Ia bercerita awal mereka dipindahkan di Desa Waturambaha, yang sebelumnya pemukiman tersebut bernama Pasir Panjang. Pada tahun 1996-1997, Pasir Panjang atau kini disebut Waturambaha, ditetapkan menjadi sebuah perkampungan dari program Kementerian Sosial.
ADVERTISEMENT
"Tahun 1998 dijadikan sebagai desa persiapan. Ini lahan sudah terbagi habis kepada masyarakat dengan pembagian lokasi pekarangan rumah 35 meter, ditambah lahan dua hektare untuk perkebunan masing-masing," bebernya.
Warga dibuat bingung, status pemukiman warga saat program sosial turun. Status kawasan hutannya diturunkan menjadi area penggunaan lain (APL). Belakangan dalam perjalanan status lahan pemukiman dan perkebunan warga, kembali menjadi kawasan hutan.
"Kita juga ini bingung sama pemerintah, kita dipanggil tinggal di sini. Ini yang buat kami kecewa," ujarnya.
Bukan hanya pemukiman dan perkebunan warga, rupanya fasilitas pemerintah seperti bangunan sekolah berada di atas tanah kawasan hutan produksi terbatas (HPT).
"Kami sangat kecewa, bukan saja lahan yang dibagikan, sedangkan ini lokasi rumah kami saja ini berada di atas kawasan hutan. Jadi kami tunggu saja diusir dari kehutanan," ujar dengan nada lesuh.
ADVERTISEMENT
Keluhan yang sama dirasakan Muslimin. Muslimin mengaku mereka menempati perkampungan itu sejak tahun 1997 melalui program dari Kementerian Sosial. Puluhan tahun bermukim, ternyata lahan perkebunan yang diberikan oleh Kementerian Sosial berada di atas kawasan hutan produksi terbatas.
"Waturambaha dulu itu tempatnya di Pulau Labengki Besar. Baru kami dipindahkan di sini," ungkapnya.
Kegundahan hati turut mengganjal lainnya, Halim. Rumah tempat bernaung keluarganya belum mendapatkan legalitas resmi dari BPN. Alasannya sama, status tanah yang masih berada di atas HPT menjadi penyebab utamanya. "Kita mau urus sertifikat, tidak bisa. Kecuali diturunkan dulu status hutannya," ujar pria berusia 43 tahun itu.
Wakir, Muslimin dan Halim mewakili ratusan kepala keluarga yang tersandera status hutan. Mereka berharap pada Kementerian Kehutanan untuk menurunkan status hutan tempat pemukiman dan perkebunan warga. Agar kerisauan dan kegundahan hati warga dapat terobati.
ADVERTISEMENT
Pada umumnya, warga Waturambaha sebagian besar berprofesi sebagai nelayan, bahkan sebagain warga memilih menjadi karyawan perusahaan pertambangan yang berada di desa mereka.
"Kami berharap supaya polemik ini secepatnya selesai. Kasihan kami warga yang sudah dipindahkan di sini, baru kami tidak nyaman tinggal gegara tanahnya masih berstatus hutan produksi terbatas," pungkasnya.