Kisah Kakek 78 Tahun di Sultra: Tolak Lahannya Diambil Alih Korporasi

Konten Media Partner
27 Agustus 2019 13:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ekskavator milik PT GKP saat memasuki lahan perkebunan milik warga. Foto: Istimewa.
zoom-in-whitePerbesar
Ekskavator milik PT GKP saat memasuki lahan perkebunan milik warga. Foto: Istimewa.
ADVERTISEMENT
Perseteruan antara warga Desa Sukarela Jaya, Kecamatan Wawonii Tenggara, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra); dengan PT Gema Kreasi Perdana (GKP) seakan tidak ada habisnya.
ADVERTISEMENT
Bahkan sejak perusahaan tambang milik Harita Grup itu masuk ke Wawonii untuk pertama kali pada 2016, sudah terjadi gesekan antara pihak perusahaan dengan warga setempat. Pemicunya adalah terkait pembebasan lahan.
Sampai sekarang, ada tiga warga yang menolak lahannya diambil alih oleh PT GKP. Ketiganya adalah La Baa, Amin, dan Wa Ana.
Kemarin, Senin (26/8), La Baa bertolak dari Wawonii ke Kota Kendari. Kepergiannya ke Kendari tiada lain meminta perlindungan hukum.
Sosok La Baa. Foto: Lukman Budianto/kendarinesia.
Saat ditemui di sekretariat bersama Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan Pusat Kajian Dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Puspaham), La Baa mengaku sudah 35 tahun mengelola lahannya.
Selama itu pula, La Baa mengaku terus menyetor uang pajak ke negara: Rp 70 ribu per tahun. Dari hasil berkebun di lahan seluas setengah hektare itu, La Baa sanggup menghidupi istri dan delapan orang anaknya.
ADVERTISEMENT
"Alhamdulillah dari hasil berkebun juga saya sudah umrah. Tidak seperti mereka (warga) yang sudah jual lahan, dijanji mau diberangkatkan umrah tapi tidak jadi-jadi," kata La Baa di sekretariat bersama KPA dan Puspaham Sulawesi Tenggara di Kelurahan Lepo-lepo, Kendari.
Kakek berusia 78 tahun itu mengaku mulai terusik sejak PT GKP masuk ke wilayahnya. Jalan hauling sepanjang lima kilometer dengan lebar 20 meter dibangun PT GKP melalui lahan perkebunan milik La Baa, Amon, dan Wa Ana.
Puncaknya Jumat malam (21/8), saat PT GKP melakukan pengerjaan jalan di lahan yang dikuasai ketiga warga tersebut, warga desa marah dan mengikat 10 operator PT GKP. "Itu lahan kita. Jadi kita marahlah," ucap La Baa.
La Baa menuturkan, pihak GKP sudah beberapa kali mendatangi rumahnya. Tujuannya, meminta agar La Baa sudi menerima kompensasi atas lahannya. "Saya tidak mau memang. Saya keras, saya tidak mau," ucapnya.
ADVERTISEMENT
Korwil KPA Sultra, Torop Prudendi, mengatakan lahan yang bermasalah ini adalah hutan negara. Namun, warga setempat sudah berhak memiliki sertifikat tanah karena sudah mengelola dan membayar pajak selama 35 tahun.
"Itu 'kan minimal 20 tahun sudah bisa diterbitkan setifikat," ujar Torop Prudendi.