Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Menengok Kehidupan Suku Kajang, Kawasan Lekat Adat di Sulawesi Selatan
16 Juni 2019 9:28 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
ADVERTISEMENT
Kendarinesia menyambangi perkampungan Suku Kajang, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel). Tepat di bagian pintu gerbang masuk terpampang jelas tulisan dalam bahasa Suku Kajang "Salamakki Antama' Ri Lalang Embaya Rambang Seppanna I Amma". Dalam bahasa Indonesia, artinya selamat datang di kawasan tempat kecil Amma.
ADVERTISEMENT
Bahasa dalam tulisan itu adalah bahasa Konjo. Bahasa yang umumnya digunakan oleh masyarakat yang bermukim di wilayah Timur Kabupaten Bulukumba. Wilayah Timur Bulukumba meliputi Kecamatan Kajang, Herlang, Bonto Tiro, dan Bonto Bahari.
Siapa saja yang memasuki kawasan adat tersebut, ditekankan untuk melepas alas kaki. Selain itu, dianjurkan pula untuk memakai pakaian berwarna hitam dan tidak menggunakan kendaraan apapun.
Jika pengunjung tidak mengenakan pakaian hitam, di samping gerbang disediakan pakaian adat yang bisa disewa oleh pengunjung. Dengan harga Rp 100 ribu, 3 pakaian adat sudah bisa kita pakai.
Setelah melewati gerbang, pepohonan rindang terhampar. Kondisinya masih asri, sejuk, dan tenang. Kicauan burung pun terdengar jelas. Hewan ternak seperti sapi dan kuda lalu lalang di jalan umum kawasan adat.
Filosofi dan Pemerintahan
ADVERTISEMENT
Suku Kajang dipimpin oleh Amma Toa. Dalam pemerintahannya, Amma Toa dibantu 26 Galla atau menteri. Ada sembilan pasal yang dijadikan pedoman dalam menjalankan sistem pemerintahan di Suku Kajang.
Aturan tertinggi yang termaktub dalam pasal-pasal tersebut adalah sopan. Setiap masyarakat Suku Kajang harus menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan. Bukan hanya di hadapan manusia, tapi juga kepada alam.
Amma Toa menjelaskan kepada Kendarinesia, nilai kesopanan kepada manusia di antaranya rendah hati dan jujur. Nilai kejujuran ini sejalan dengan rumah adat Suku Kajang yang juga sarat akan nilai kejujuran.
Rumah Suku Kajang berbeda dengan yang lain. Pada umumnya, dapur diletakkan di bagian belakang rumah. Namun, ini tidak berlaku di Suku Kajang. Setelah masuk pintu, yang pertama dijumpai adalah dapur.
ADVERTISEMENT
"Terbuka. Harus'i taua terbuka. Jujuru. Apa nipallu harus'i taua naisse," kata Amma Toa yang artinya, "Terbuka dan jujur. Kita harus terbuka kepada tamu. Apa yang ada di dapur wajib diketahui oleh orang (tamu yang datang)".
Selain itu, dengan memosisikan dapur di bagian depan, memudahkan tamu melihat perempuan di rumah tersebut. Karena, dalam aturan di Suku Kajang, salah satu sarat perempuan bisa dipersunting adalah bisa memasak.
Masyarakat Suku Kajang memang diikat aturan agar masyarakatnya bertutur kata baik. Tidak mengeluarkan bahasa yang tidak sedap didengar. Kata Amma Toa, "Bahasa kotor dilarang. Kalau ada, didenda beli pakaian dua juta".
Dibalik pepohonan rindang di dalam kawasan adat pun diikat aturan yang ketat. Hutan di kawasan adat disebut borong karama. Hutan tersebut dipercaya memiliki kekuatan magis yang berdampak pada keberlangsungan hidup suku mereka.
ADVERTISEMENT
Jadi, siap pun tidak boleh menebang pohon sembarangan di dalam kawasan adat. Jika itu terjadi, maka sanksi adat menanti. Sanksinya denda sebanyak Rp 12 juta.
Sumber lain menyebut, menebang pohon untuk kepentingan umum dibolehkan. Saratnya, si penebang wajib menanam pohon terlebih dahulu. Jika pohon yang ditanam sudah tumbuh, barulah penebangan bisa dilakukan.
Menolak Modernisasi
Tidak memakai sendal, memasak menggunakan kayu, tidak ada handphone, dan tidak ada listrik. Pemandangan seperti ini akan anda jumpai ketika datang ke kawasan adat Amma Toa. Bukan tidak bisa, tapi aturan di dalam kawasan adat yang memang menolak modernisasi.
"Andaki modereng," kata Amma Toa yang artinya, "Kami tidak ingin modern". Amma Toa tidak menjelaskan secara detail alasan penolakannya. Menurutnya, itu sudah tradisi turun-temurun di Suku Kajang.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Kendarinesia sempat bertemu dengan salah satu masyarakat adat Suku Kajang. Saat ditanyai persoalan penolakan modernisasi, sumber yang menolak disebut namanya itu memberikan jawaban-jawaban yang sederhana.
Dia memberikan contoh kenapa mereka tidak mau memakai alas kaki (sendal). "I nai mami langhargaii buttayya punna talia bangsatannimae," kata pria dengan pakaian serba hitam itu. Maksud pernyataannya, siapa lagi yang akan menghargai tanah tersebut jika bukan mereka.
Dia mengaku merasa sedih melihat sebagian manusia yang merasa jijik berjalan dengan telanjang kaki di atas tanah. Sementara, manusia sendiri diciptakan dari tanah.
Penghasilan Warga
Masyarakat Suku Kajang dikenal dengan keterampilannya menenun. Hal ini dijadikan sebagai sumber pendapatan masyarakat Suku Kajang. Seperti penuturan Juma, perempuan penenun di kawasan adat.
ADVERTISEMENT
Juma menenun sarung Kajang. Warna sarungnya hitam, dengan sedikit motif berwarna biru tua. Satu sarung dibandrol dengan harga dari Rp 800 ribu hingga Rp 1 juta. Tergantung dari kualitas dan kerumitan dalam proses pembuatannya.
Satu sarung selesai ditenun dalam waktu 20 hari. "Itu kalau setiap hari dikerjakan," kata Juma di rumahnya. Pengakuan Juma, kebanyakan pembeli datang sendiri ke kawasan adat. Jadi, dalam menjalankan profesinya sebagai penenun, Juma jarang keluar kawasan adat memasarkan sarung hasil tenunannya.
Penenun di kawasan adat mayoritas perempuan. Dalam aturan yang dijelaskan Amma Toa, keterampilan menenun adalah salah satu syarat perempuan di Suku Kajang bisa dinikahi.
Selain menenun, sumber penghasilan warga Suku Kajang adalah bertani dan berkebun. Hasil pertanian dan perkebunan dijual di pasar-pasar tradisional di luar kawasan adat Suku Kajang.
---
ADVERTISEMENT