Mengenang Siti Marlina, Qariah Internasional dari Konawe Kepulauan (bagian I)

Konten Media Partner
14 Maret 2021 19:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Saudara kandung Hj. Sitti Marlina, Tanwir (47) saat menceritakan tentang almarhumah. Foto: Kalpin/kendarinesia.
zoom-in-whitePerbesar
Saudara kandung Hj. Sitti Marlina, Tanwir (47) saat menceritakan tentang almarhumah. Foto: Kalpin/kendarinesia.
ADVERTISEMENT
Lantunan ayat suci nan merdu dari pita suara almarhumah Hj. Siti Marlina beredar masif di media sosial. Suara emas qariah internasional tersebut direkam ulang pemilik akun Youtube Bang Dull yang dibagikan akun Facebook bernama Karim. Video rekaman ulang berdurasi 15 menit tersebut melantunkan Quran Surah Al Isra ayat 1-10.
ADVERTISEMENT
Pemilik suara indah itu ternyata putri kelahiran Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan tahun 1954. Lahir dan dibesarkan di Desa Tekonea, Kecamatan Wawonii Timur, Kabupaten Konawe Kepulauan yang kala itu masih terpencil.
Merasa penasaran dengan kisahnya, sejumlah wartawan menelusuri kesaksian keluarga dekatnya. Kendarinesia juga ikut serta menuju ke rumah almarhumah di Jalan Latsitarda, Kelurahan Kambu, Kecamatan Kambu, Kota Kendari. Rumah yang berada di depan SMPN 10 Kendari tersebut ternyata sudah tak dihuni lagi. Wartawan berusaha mencari tahu nomor kontak beberapa kerabat yang mengetahui keberadaan keluarganya.
Salah satu saudara kandung almarhumah, Tanwir (47) yang merupakan anak terakhir, berhasil ditemui di kediamannya Lorong Mangga, Sekitar P2ID, Kecamatan Kadia, Kota Kendari. Ia menerima awak media yang datang seusai menghadiri acara keagamaan.
ADVERTISEMENT
Tanwir tak bisa merincikan biodata almarhumah. Diungkapnya hanya mengenai rekam jejak pendidikan, prestasi, dan sedikit mengulik tentang keluarganya.
"Kakak itu orangnya gigih dan tak henti menebar kebaikan. Hidupnya dihibahkan untuk mempelajari kitab suci Alquran dan menularkannya kepada siapa saja yang ingin belajar," tutur Tanwir pada Sabtu (13/3) sore.
Tangkapan layar Youtube yang memperdengarkan suara Hj, Siti Marlina.
Bapak empat anak ini bercerita mengenang almarhumah. Katanya, sejak almarhumah duduk di bangku sekolah dasar sudah menampakkan bakat suara indahnya dengan melantunkan ayat suci Alquran dan menyanyi qasidah. Setelah tamat SD di Desa Tekonea, Siti Marlina dititipkan sekolah agama jenjang MTs dan MA Pesantren Ummushabri Kendari.
"Sejak sekolah agama di Ummushabri itulah bakatnya makin terasa hingga menjuarai lomba MTQ tingkat remaja. Bahkan tampil jawara MTQ tingkat nasional di Provinsi Sulawesi Utara tahun 1972. Seingat saya begitu pak," tuturnya sembari menegaskan almarhumah bukan tipe yang suka mengoleksi piagam, sehingga sampai saat ini penghargaan itu tak terkumpul di rumah orang tua.
ADVERTISEMENT
Tanwir lalu menyebut deretan keluarga. "Kami delapan bersaudara dilahirkan dari pasangan almarhum H. Muarif dan Hj. Hamidah yang kini berumur 90 tahun dan tinggal di Tekonea. Anak pertama Hj. Siti Marlina, kedua Umi Hani, Rostini (almarhumah), Suriamin, Paharudin, Nisiana, M.Nur, dan saya anak bungsu," tutur Tanwir.
Tanwir juga mengungkap bahwa kakaknya menempuh pendidikan strata satu melalui program khusus dari pihak Pemprov Sulawesi Tenggarakala itu untuk kuliah Jurusan Adab di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Usai kuliah dia dinikahi Surya Darma tahun 1980. Mereka dikaruniai tiga anak laki-laki. Pertama Avesina Darma yang kini tinggal di Jakarta, drh. Givari Darma, dan anak ketiga Bika Albiruni Darma masih kuliah. Anak kedua dan ketiga tinggal di Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Tanwir lalu bercerita kesuksesan kakaknya membumikan Al-Quran di tanah rantau Yogyakarta. Berbagai lomba MTQ yang diikutinya di daerah tersebut selalu menyabet juara satu dan paling mentok juara dua. Kemudian puncaknya adalah mewakili Indonesia sebagai peserta MTQ tingkat dewasa di Malaysia tahun 1991 dan berhasil meraih juara dua.
"Atas prestasi itu, almarhumah naik haji bersama Pak Presiden Soeharto. Pasca itu kakak lebih banyak waktunya sebagai pembina atau pelatih ikatan qari-qariah nasional dan internasional. Kemudian di tempat tinggal di Yogyakarta wilayah Sapen selalu ramai dengan pengajian. Mereka yang datang belajar mengaji dari wilayah Jawa dan bahkan ada dari Papua. Saya saksikan sendiri karena sempat berada di Yogyakarta tujuh tahun lamanya," ujarnya sembari menunjukkan kemahiran bahasa jawanya.
ADVERTISEMENT
Almarhumah tercatat sebagai PNS di Departemen Agama (Depag) Yogyakarta. Lalu pindah ke Depag Kendari tahun 2004 setelah tiga tahun suaminya meninggal. Selama berada di Kendari hingga pensiun, kakak mengajar di IAIN dan STIKES Avicena. Bahkan mengajar juga di Pesri Umushabri. Selain itu, ia mendirikan majelis taklim Nurul Jannah yang menghimpun para ibu dari Wawonii yang bermukim di Kendari.
"Di Kota Kendari kaka dipertemukan jodoh keduanya dengan bapak Nurdin Mane (almarhum), mereka tidak dikarunia keturunan. Ibu Hj. Siti Marlina meninggal di Kota Kendari tahun 2012 dan dikebumikan di Kelurahan Mokoau, Kecamatan Kambu, di usia 58 tahun. Almarhumah meninggal tidak sakit keras. Dia wafat usai dari Wakatobi melakukan pengawasan penyuluh agama. Sesampainya di Kota Kendari sempat dirawat di RS Santa Ana selama satu malam. Almarhumah mengidap riwayat tekanan darah tinggi," terangnya.
ADVERTISEMENT
"Saya mengenang kakak sebagai pribadi yang hidup apa adanya. Dia sungguh tak tertarik dengan kemegahan dunia. Setahu saya, dia tidak pernah beli emas. Ada emas dan berliannya itu dari hadiah juaranya. Saya lihat dia itu hanya mau menebar kebaikan. Jiwa persaudaraannya dan sosialnya sangat tinggi. Dia tidak beda-bedakan orang, dia bergaul dengan siapa saja dengan latar belakang agama apapun," kenangnya.
Pada kesempatan itu, Tanwir menelepon anak kedua almarhum. Dengan logat Jawa, mereka berbincang saling menanyakan kabar. Saat itu kami pun berkesempatan menanyakan sosok ibunya. Givari Darma agak terdiam sejenak lalu mengatakan, ibu itu orangnya super sibuk. Setiap hari di rumah selalu ada muridnya yang datang mengaji dari berbagai kalangan. Bisa 5 sampai 6 orang yang datang.
ADVERTISEMENT
"Jadi kami yang harus menyesuaikan dengan jadwal ibu. Ia juga sibuk dengan organisasinya mengajar Alquran qariah dan tartil," ungkapnya.
"Ibu juga bagian dari penulis buku iqra satu sampai enam. Jadi ada itu buku iqra yang beredar adalah bagian dari kerja-kerja mereka," tambahnya.
Givari tidak bisa menjawab banyak pertanyaan wartawan. Ia selalu terdiam sejenak saat ditanya sosok almarhumah.
"Yang paling terasa ibu itu dedikasinya masih sangat terasa sampai saat ini. Hidupnya untuk Alquran. Bahkan seingat saya, salah satu dosen di UGM yang kini jadi imam masjid UGM adalah muridnya ibu. Ada juga atas nama Abdul Azim dari Jepara muridnya yang meraih juara 3 MTQ nasional. Setiap yang datang belajar di rumah, kami pun ikut mengaji tapi sulitnya itu minta ampun mas," kenangnya. (bersambung).
ADVERTISEMENT
Laporan: Kalpin