news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Mengulik Asal Mula Suku Cia-Cia di Buton Gunakan Aksara Korea (Bagian I)

Konten Media Partner
3 Oktober 2021 15:16 WIB
ยท
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pasar Karya Baru yang bertuliskan Aksara Hangeul di Kampung Korea, Buton. Foto: Nadhir Attamimi/kendarinesia.
zoom-in-whitePerbesar
Pasar Karya Baru yang bertuliskan Aksara Hangeul di Kampung Korea, Buton. Foto: Nadhir Attamimi/kendarinesia.
ADVERTISEMENT
Kabupaten Buton merupakan salah satu wilayah provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) yang bermukim diwilayah kepulauan. Daerah yang menyimpan banyak keragaman suku dan budaya, baik adat istiadat, etnis hingga bahasa. Masing-masing suku memiliki bahasa tersendiri, salah satunya Suku Cia Cia.
ADVERTISEMENT
Menurut masyarakat sekitar, Suku Cia-Cia pun memiliki banyak etnis diantaranya Cia-Cia Laporo. Sebuah etnis suku yang notabene banyak bertempat di wilayah-wilayah pegunungan. Namun, entah dengan alasan apa, sejak dahulu sampai di tahun 2008, etnis tersebut memiliki satu kekurangan yakni tak punya sistem penulisan atau aksara yang bisa mengabadikan pelafalan bahasa mereka sendiri.
Hal itu membuat pemerintah Kota Bau-bau, Kabupaten Buton yang dipimpin oleh MZ. Amirul Tamim kala itu harus memutar otak untuk bagaimana masyarakat Cia-Cia memiliki konsonen aksara sebagai pelengkap pengabadian bahasa mereka agar tak hilang ditelan zaman.
Di tahun 2008, Kota Bau-bau menggelar 'Simposium Internasional Penaskahan Nusantara' dengan menghadirkan para delegasi-delegasi internasional, salah satunya delegasi dari Korea Selatan, Prof. Chun Thay Hyun.
ADVERTISEMENT
"Setelah mendengar bahasa dan pemaparan dari delegasi Korea Selatan, kami bersama pak Walikota mencoba berkomunikasi dengan Prof. Chun terkait masalah aksara Suku Cia-Cia," kata Tokoh Masyarakat Cia-Cia Laporo, Abidin kepada kendarinesia saat ditemui dirumahnya di Kampung Karya Baru, Kota Bau-bau, Sulawesi Tenggara, Kamis (30/9).
Gayung bersambut, Prof. Chun yang notabene bisa berbahasa Indonesia itu tertarik dan langsung membuka diskusi khusus terkait itu. Palu diketok, Prof Chun mau membantu masyarakat Cia-Cia. Abidin ditunjuk sebagai perwakilan masyarakat Cia-Cia yang di instruksikan oleh Amirul Tamim untuk mengerjakan projek aksara itu.
Salah satu suduk kampung korea di Buton. Foto: Nadhir Attamimi/kendarinesia.
Abidin lantas mengajak Prof Chun bersama delegasinya berkunjung ke masyarakat Cia-Cia yang bertempat di Kampung Karya Baru yang berjarak kurang lebih 18 kilometer dari pusat gelaran simposiaun di Kota Bau-Bau. Delegasi Korea Selatan lantas melihat dan mempelajari struktur bahasa yang digunakan oleh masyarakat setempat.
ADVERTISEMENT
Setelah tinggal beberapa saat, ia bersama satu orang rekannya diajak pergi ke Korea Selatan untuk mengeyam pendidikan bahasa Korea sebagai sandungan awal untuk membuat aksara Suku Cia-Cia
"Saya dan satu orang teman di amanahkan oleh pak Wawali untuk sekolah bahasa di Korsel. Dan Prof Chun memilihkan kami kampus yang pas yakni Universitas Nasional Korea Selatan di Seoul. Kami belajar bahasa selama 6 bulan," kata Abidin.
Setelah 6 bulan berada di Korea Selatan, Abidin sudah dinilai mampu dan memiliki bekal untuk membuat aksara hangeul. Kemudian ia kembali ke Indonesia bersama Prof Chun dan beberapa orang perwakilan dari Korea Selatan yang akan membantunya mengajarkan penulisan aksara.
"Jadi saya mulai mengajarkan setelah balik dari Korea pada bulan Mei 2009. Setelah menimbang lebih matang, kami memilih pengajaran untuk aksara Hangeul ini baik dilakukan di taraf kelas 4 SD. Maka kami pilih SD Karya Baru," paparnya.
ADVERTISEMENT
Namun, mendatangkan hal baru memang memiliki cukup rintangan. Ia mengaku, awal mula mengajarkan aksara itu, pro kontra dari masyarakat berdatangan. Banyak masyarakat yang tidak mau belajar aksara itu, dengan alasan bahwa itu bahasa orang luar dan tidak cocok untuk diterapkan di Karya Baru.
"Jadi kami pendekatan, banyak yang mengira penggunaan aksara itu sebagai perusakan budaya. Tapi setelah kami sosialisasikan lebih jauh, akhirnya warga berangsur-angsur menerima hingga saat ini," paparnya.
Selain mengajarkan di bangku pendidikan, Abidin juga mengajak masyarakat dan perangkat pemerintah sekitar untuk lebih mengenal aksara baru Cia-Cia dengan cara membuat tulisan-tulisan sebagai petunjuk seperti papan nama, jalan, plang sekolah yang ditulisi menggunakan bahasa Indonesia dan aksara Hangeul.
Abidin pun meluruskan kembali informasi yang beredar luas bahwa masyarakat Cia-Cia menggunakan bahasa Korea sebagi bahasa percakapan. Ia menegaskan tidak, penggunaan hanya sebatas aksara, untuk bahasa percakapan tetap menggunakan bahasa Cia-Cia.
ADVERTISEMENT
"Jadi yang kami gunakan hanya untuk penulisan aksara saja, bukan bahasa percakapannya. Itu pun aksara yang digunakan hanya beberapa bagian dari aksara Korea dan yang sudah tidak digunakan lagi atau aksara jaman dahulu," paparnya.
Seorang siswa suku cia-cia sedang berangkat ke sekolah terlihat jelas plang jalan bertuliskan bahasa Indonesia dan Aksara Korea. Foto: Nadhir Attamimi/kendarinesia.