Konten dari Pengguna

Pajak Kripto: Langkah Strategis atau Beban Pasar?

Kenzia Nababan
Mahasiswa PKN STAN
11 Desember 2024 13:26 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kenzia Nababan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kripto oleh RDNE Stock project: https://www.pexels.com/photo/close-up-shot-of-silver-and-gold-round-coins-8370752/
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kripto oleh RDNE Stock project: https://www.pexels.com/photo/close-up-shot-of-silver-and-gold-round-coins-8370752/
ADVERTISEMENT
Dalam era digital yang semakin maju, aset kripto telah menjadi bagian penting dari ekonomi global, menarik perhatian investor muda dan institusional. Pemerintah Indonesia mulai memberlakukan pajak untuk transaksi kripto pada Mei 2022 melalui PMK No. 68/PMK.03/2022, yang mengatur PPN sebesar 0,11% dan PPh final sebesar 0,1% dari nilai transaksi.
ADVERTISEMENT
Menurut laporan Direktorat Jenderal Pajak, pajak kripto telah menyumbang Rp112 miliar hingga kuartal ketiga 2024, angka yang cukup signifikan untuk sektor baru. Tetapi, di balik pencapaian tersebut, terdapat permasalahan lain yang menarik untuk dibahas. Di satu sisi, pajak ini membantu memperluas basis pajak di Indonesia. Namun, di sisi lain, tarif yang dianggap tinggi oleh banyak pelaku pasar dapat mengurangi daya tarik industri kripto dalam negeri, khususnya bagi investor muda yang mendominasi pasar ini. Sehingga kebijakan ini menimbulkan pertanyaan: apakah regulasi ini akan mendukung keberlanjutan ekonomi digital atau justru memperlambat inovasi?
Mengapa Pajak Kripto Penting bagi Indonesia?
1. Mendorong Legitimasi Aset Digital
Pajak kripto memberikan pengakuan resmi terhadap aset digital sebagai instrumen yang sah di pasar keuangan. Hal ini penting untuk mendorong kepercayaan investor lokal dan global, serta menarik lebih banyak transaksi ke platform yang diawasi oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya regulasi ini, pelaku pasar diharapkan lebih merasa aman dalam bertransaksi dan menyimpan aset mereka di platform yang terdaftar. Selain itu, pemerintah dapat mengurangi risiko aktivitas ilegal yang sebelumnya marak terjadi di pasar kripto, seperti pencucian uang dan pendanaan terorisme.
2. Basis Pajak yang Lebih Luas
Di tengah ketergantungan negara pada penerimaan pajak dari sektor tradisional, aset kripto menawarkan sumber pendapatan baru yang potensial. Dengan jumlah investor kripto di Indonesia mencapai lebih dari 20,59 juta per Juli 2024, regulasi pajak ini memungkinkan negara menangkap potensi penerimaan dari ekonomi digital yang sedang berkembang.
Permasalahan dalam Kebijakan Pajak Kripto
1. Beban Pajak yang Tinggi
Indonesia mengenakan tarif pajak total sebesar 0,21% untuk transaksi aset kripto. Tarif ini lebih tinggi dibandingkan negara-negara tetangga seperti Singapura, yang tidak mengenakan pajak atas keuntungan individu dari aset kripto kecuali digunakan sebagai bisnis utama.
ADVERTISEMENT
Tarif yang tinggi ini dikhawatirkan mengurangi minat pelaku pasar lokal dan mendorong mereka untuk beralih ke platform internasional yang tidak terdaftar. Hal ini tidak hanya mengurangi potensi penerimaan negara, tetapi juga menghambat perkembangan ekosistem kripto dalam negeri.
2. Pasar Gelap dan Transaksi Luar Negeri
Dengan sifat blockchain yang terdesentralisasi, transaksi yang tidak diawasi oleh pemerintah menjadi tantangan besar. Banyak investor memilih untuk menggunakan dompet digital internasional yang tidak terpantau oleh regulasi Indonesia. Akibatnya, pemerintah kehilangan potensi penerimaan dari transaksi tersebut, dan risiko pasar gelap semakin meningkat.
3. Minimnya Dukungan untuk Inovasi Teknologi
Hingga saat ini, penerimaan dari pajak kripto belum dialokasikan secara khusus untuk mendukung pengembangan teknologi blockchain atau meningkatkan literasi aset digital. Padahal, edukasi dan dukungan teknologi sangat penting untuk menciptakan ekosistem digital yang berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Peluang yang Bisa Dimanfaatkan
1. Alokasi Pajak untuk Pengembangan Teknologi
Pemerintah dapat mengalokasikan sebagian penerimaan pajak kripto untuk mendanai inovasi di sektor teknologi blockchain, seperti membuka akses pendanaan bagi startup berbasis blockchain, mendirikan pusat riset blockchain untuk mendorong inovasi domestik, atau dapat menyediakan program pelatihan untuk meningkatkan keterampilan digital masyarakat.
2. Meningkatkan Transparansi dan Kepatuhan
Dengan meningkatkan edukasi pajak untuk pelaku pasar, pemerintah dapat mendorong lebih banyak transaksi di platform lokal. Edukasi yang baik juga dapat mengurangi miskonsepsi bahwa pajak kripto adalah hambatan bagi inovasi.
3. Belajar dari Regulasi Internasional
Indonesia dapat mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif seperti Jepang, yang hanya mengenakan pajak saat aset kripto dikonversi menjadi mata uang fiat atau digunakan untuk pembelian barang/jasa. Begitu juga dengan Jerman yang tidak mengenakan pajak atas keuntungan dari aset kripto jika aset telah dimiliki lebih dari satu tahun. Kebijakan ini mendorong investasi jangka panjang, sekaligus mengurangi spekulasi yang tidak stabil.
Photo by RDNE Stock project: https://www.pexels.com/photo/person-pointing-in-a-white-board-8370332/
Kesimpulan
ADVERTISEMENT
Pajak kripto adalah langkah strategis untuk mengintegrasikan aset digital dalam sistem keuangan Indonesia. Namun, untuk memaksimalkan potensi penerimaan negara tanpa menghambat inovasi, diperlukan pendekatan yang lebih inklusif dan fleksibel.
Dengan mengalokasikan penerimaan pajak untuk mendukung teknologi digital dan mengadopsi tarif pajak yang lebih kompetitif, Indonesia dapat memastikan bahwa kebijakan ini tidak hanya meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga mendorong keberlanjutan ekonomi digital.
Authors: Alifa Ghozy Tikadi & Kenzia Nababan, Mahasiswi Prodi D4 Manajemen Keuangan Negara, Politeknik Keuangan Negara STAN