Konten Media Partner

Melihat Kemeriahan Tradisi Mandi Safar di Lingga, Kepulauan Riau

24 Oktober 2019 12:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Salah satu tokoh adat saat memandikan anak secara simbolis. Foto : Hasrullah/kepripedia.com
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu tokoh adat saat memandikan anak secara simbolis. Foto : Hasrullah/kepripedia.com
ADVERTISEMENT
Tabuh gendang Melayu dan gong bersaut-sautan di Kecamatan Daik, Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau, pada Rabu (23/10).
ADVERTISEMENT
Suara iringan musik khas Melayu yang rancak itu berasal dari iring-iringan konvoi pawai warga yang dimulai dari depan Masjid Jami' Sultan Lingga, dan mengelilingi wilayah Ibu Kota Bunda Tanah Melayu menuju Balai Adat Melayu, Kabupaten Lingga.
Ini merupakan rangkaian prosesi tradisi mandi safar di Kabupaten Lingga. Sebuah tradisi budaya yang dilakukan masyarakat Melayu di hari Rabu terakhir bulan safar dalam penanggalan hijriyah.
Kepripedia di undang untuk mengikuti serangkaian kegiatan oleh Dinas Kebudayaan (Disbud) Kabupaten Lingga itu.
Usai ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia tahun 2018 lalu, Lembaga Adat Melayu (LAM) ingin terus menjaga tradisi mandi safar ini. Salah satunya dengan menjadikan mandi safar sebagai kegiatan tahunan.
"Kegiatan secara simbolis ini, pada dasarnya sudah dilaksanakan sejak Kabupaten Lingga lahir," ucap Kadisbud Lingga, Muhammad Ishak.
ADVERTISEMENT
Arak-arakan yang terdiri dari pelajar-pelajar di Kecamatan Daik bersama 11 orang anak yang dipilih khusus untuk dimandikan secara simbolis sampai di Balai Adat, prosesi ritual pun dimulai.
Pengawal berpakaian adat Melayu mengawal 11 anak yang akan dimandikan dan membawa Sekol (Gayung dari kelapa -red) ke tempat acara. Foto : Hasrullah/kepripedia.com
Diawali penyerahan sekol (gayung dari tempurung kelapa) oleh hulubalang (pengawal) arak-arakan dan diserahkan kepada tokoh pemimpin daerah yang dalam hal ini Bupati Lingga diwakili Sekretaris Daerah, Juramadi Esram.
Sebelum ke-11 anak itu di mandikan, tokoh adat yang dituakan diminta untuk membacakan doa-doa ke air tolak bala dan memasukkan isim (doa-doa yang dituliskan red-) kedalam sebuah kendi kecil. Para hadirin juga secara bersama membaca doa selamat serta dijamu secara adat.
Penyerahan sekol kepada Sekda Lingga, dan kemudian diserahkan ke Ketua LAM Lingga. Foto : Hasrullah/kepripedia.com
Tidak ada pula ketentuan khusus air yang digunakan sebagai air yang disucikan. Hanya air biasa yang ditempatkan didalam kendi besar dan dihiasi janur kuning sebagai aksesoris tanda kegiatan beradat Melayu.
ADVERTISEMENT
"Isim itu ditulis di daun bacang (sebuah pohon buah mirip mangga), daun itu ada kita pajang di Museum Linggam Cahaya," jelas Muhammad Ishak.
Setelah jamuan makan, barulah ke-11 anak yang telah dipilih tersebut dimandikan dengan air yang telah didoakan tadi. Secara bergantian anak-anak tersebut dimandikan oleh para tokoh adat dan pemimpin daerah seperti tokoh adat dari LAM, Pejabat Daerah dan lainnya.
Jamuan kepada tamu undangan dan doa bersama di dalam Balai Adat LAM Lingga. Foto : Hasrullah/kepripedia.com
Kadisbud Lingga itu menyebutkan, tidak ada filosofi khusus untuk penunjukan 11 orang tersebut. Hanya saja angka ganjil dinilai lebih disenangi oleh Allah SWT. Termasuk pula asal keturunan anak-anak yang dimandikan, tidak terdapat ketentuan spesifik.
"11 itu karena memang Allah kita ketahui menyukai yang ganjil, misalnya asmaul husna, dzikir-dzikir kita jumlahnya ganjil," jelasnya lagi.
ADVERTISEMENT
Sebelum anak-anak diguyur air, tokoh agama yang dituakan di Lingga terlebih dahulu membacakan niat mandi safar. Diawali bismillah, niat tersebut antara lain memiliki makna "sahaja aku mandi safar untuk menolak bala karena Allah taala".
Menariknya, nuansa Melayu sangat terasa dalam kegiatan ini. Dimulai dari pakaian adat melayu peserta dan tamu undangan. Ditambah hadirnya pemuda berpakaian hitam dan memegang tombak yang bertugas menjadi pengawal bak masa kesultanan Melayu.
Selain itu, makanan yang dihidangkan saat jamuan juga merupakan khas masakan Melayu di Kabupaten Lingga yakni dikenal sebutan Nasi Dagang, nasi lemak (nasi dengan santan) yang dibungkus menggunakan daun pisang.
Ditambah lagi aksesoris serta peralatan yang digunakan dalam kegiatan ini diambil langsung dari Museum Linggam Cahaya.
ADVERTISEMENT
Peralatan ritual mandi safar. Foto : Hasrullah/kepripedia.com
"Kita berharap, kegiatan ini menjadi pariwisata kebudayaan untuk Lingga dan dilaksanakan secara rutin," harap Kadisbud Lingga itu.
Pihak Dinas Kebudayaan pun telah mengkoordinasikan kegiatan ini dengan Dinas Pariwisata dan instansi terkait untuk mempromosikan keluar.
Pada perhelatan ini, hadir pula beberapa wisatawan asing dan tokoh adat Melayu dari Singapura. Sebelumnya disampaikan pula akan hadir dari Malaysia, namun kemudian berhalangan hadir dan dijadwalkan akan menyemarakkan pada kegiatan Tamadun Melayu November 2019.

Perkembangan Mandi Safar di Lingga

Secara historis, mandi safar merupakan suatu warisan dari masa Kerajaan Riau-Lingga. Pada masa Sultan Abdulrahman Muazamsyah ( 1883-1911). Sebelum sang sultan berangkat ke Singapura, ia mengajak masyarakat terlebih dahulu mandi safar di sebuah kolam dengan harapan terhindar dari segala marabahaya.
ADVERTISEMENT
Sama dengan saat ini, mandi safar pada masa Sultan Muazamsyah dahulu merupakan simbolis dari doa-doa dan munajat kepada Yang Maha Kuasa.
Sebelas anak yang akan mandi safar. Foto : Hasrullah/kepripedia.com
Hanya saja, dengan mandi yang dalam ajaran Islam merupakan mensucikan diri dari najis, maka dengan mandi dianggap segala bala akan ikut terhapus dari seseorang layaknya mandi dari segala hadast.
Diceritakan lanjut oleh Muhammad Ishak yang juga pemangku adat Melayu di Lingga, Sultan Muazamsyah yang kemudian bertempat di Singapura setiap tahunnya pulang ke Lingga untuk melaksanakan mandi safar.
Hingga pasca-Kerajaan Riau Lingga, masyarakat di Kabupaten Lingga juga terus-menerus melaksanakan tradisi ini. Namun dilaksanakan secara mandiri oleh masing-masing orang ataupun kelompok masyarakat dengan berbondong bondong ke tempat pemandian dengan mambawa air yang telah dibacakan doa-doa tolak bala.
ADVERTISEMENT
Kepala Dinas Kebudayaan Lingga, Muhammad Ishak. Foto : Hasrullah/kepripedia.com
Dulu, diceritakan Kadisbud Lingga, Muhammad Ishak, masyarakat lebih umum mandi di laut atau di sungai secara beramai ramai. Namun seiring perkembangan, tradisi ini pun tidak lagi semeriah dulunya. Masyarakat pun lebih banyak mandi dirumah dengan air yang direndam isim yang tertulis di sebuah kertas , meskipun begitu pada dasarnya memiliki tujuan yang sama untuk memohon perlindungan Allah dari segala mara bahaya.
"Tradisi ini memiliki pemaknaan dalam pelaksanaannya, yakni adat yang dilaksanakan secara religius untuk menghindari bala bukan untuk mendatangkan bala. Kita lakukan tradisi yang tidak bertentangan dengan syariat." tutup Ishak.
Tradisi ini termaktub dalam Kitab Tajul Mulk, disebutkan tradisi itu untuk menolak bala anak cucu nabi Adam AS dari godaan dan fitnah Dajjal. Dijelaskan pula dalam kitab tersebut tentang awal mula tradisi mandi safar ini hidup pada masa dahulu kala.
ADVERTISEMENT