Ilusi Negara Rakyat: Desa vs Negara [1]

Tantan Hermansah
Ketua Program Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
Konten dari Pengguna
12 Oktober 2020 13:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tantan Hermansah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Desa ku yang kucinta/ Pujaan hatiku/ Tempat ayah dan bunda/ Dan handai taulanku/ Tak mudah ku lupakan/ Tak mudah bercerai/ Selalu ku rindukan/ Desa ku yang permai…
ADVERTISEMENT
NEGARA vs DESA: Memihak Siapa?
Dalam kata pengantar yang cukup panjang, sosiolog dan filsuf Ignas Kleden (2003) menyebut betapa dilematisnya membuat peta mengenai relasi antara Negara dengan rakyat—baik pada tataran adopsi pemikiran ketatanegaraannya sendiri maupun unit analisisnya sendiri. Contoh adalah pemikiran negara integralistiknya Supomo. Usaha Supomo dalam mendamaikan (mencari jalan keluar) dari ketegangan antara individu, masyarakat, dan negara yang dikontruksi oleh dua arus besar pemikiran: yakni kaum liberal dan Marxis. Ia kemudian mengusulkan satu pandangan yang dianggap mempersatukan keduanya. Caranya adalah memandang dan memperlakukan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat sebagai ha-hal yang sudah dengan sendirinya tertampung dan negara yang menjadi representasinya.
Pandangan ini dikomentari oleh Ignas Kleden sebagai terlalu ideal, apalagi di lapangan kebutuhan operasional untuk mengimplementasikannya sangat dibutuhkan sehingga tidak menimbulkan persoalan ikutan. Dilema itu misalnya tampak sekali pada: Pertama, persoalan HAM dan teks UUD 45 hanya karena anggapan bahwa HAM adalah produk Barat. Kedua, dalam kasus Indonesia hak-ghak perorangan dan hak masyarakat terhadap SDA yang sedikit banyak dibatasi oleh ketetapan bahwa penguasaannya diserahkan kepada negara. Ketiga, dalam ranah pengetahuan, diskusi tentang hal ini yang kembali marak semenjak pertangahan tahun 1980-an menunjukkan bahwa dalam hubungannya dengan masyarakat, negara mempunyai posisi dan peranan yang demikian penting sampai-sampai merugikan inisiatif dan bahkan mematikan peran masyarakat sendiri.
ADVERTISEMENT
Pandangan hampir senada dikemukakan oleh Sosiolog lain, Endriatmo Soetarto (2006). Berbasis sebuah riset mendalam, Soetarto menemukan bahwa pada praktiknya, Indonesia memerankan diri lebih sebagai Negara korporatis, yakni negara yang secara spihak mengambil inisiatif untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakannya. Meski diakui bahwa negara secara berkonsultasi dengan wakil-wakil masyarakat, namun pada waktu yang bersamaan sebenarnya negara juga secara aktif menentukan kelompok-kelompok mana dari masyarakat yang boleh mengirimkan wakil-wakilnya. Hasil dari sebuah persepsi seperti ini, maka di lapangan kita membangun komunitas-komunitas bikinan. Setelah itu diklaim sebagai “kehendak politik” rakyat. Fakta ini secara mudah akan kita temukan dalam konteks Desa di Indonesia serta pergulatannya dengan reforma agraria.
Tulisan ini akan melihat ilusi negara rakyat dalam kaitannya dengan persoalan “desa” di Indonesia dengan mengambil subset agenda reforma agraria di Indonesia. Pilihan “desa” dan “reforma agraria” dalam konteks pembahasan kali ini dilatari oleh beberapa pemikiran berikut:
ADVERTISEMENT
Pertama, sepanjang sejarah Indonesia merdeka, kita hanya nyaris pernah mengalami puncak kejayaan pembangunan yang benar-benar pro rakyat. Hal ini terbukti ketika Undang-undang Pokok Agraria No 05 Tahun 1960 (selanjutnya lebih populer sebagai UUPA), lahir dan diimplementasikan (lebih jauh tentang pergulatan ini akan dijelaskan nanti). Kedua, dalam konteks di atas, desa adalah korban utama dan terbesar. Ibarat perang ‘aneh’, desa adalah martir yang disiapkan sebagai korban dari sebuah kebengisan pembangunan. Ketiga, secara lebih spesifik, dalam pergulatan politik dan kebijakan pembangunan pedesaan di Indonesia, reforma agraria menempati posisi sangat urgen, baik secara substansi pemihakan negara kepada rakyat, maupun juga secara pengetahuan—paling tidak gagasan penciptaan kesejahteraan bagi rakyat kecil.
Dalam konteks demikian, citra negara rakyat yang bernama Indonesia dengan mengaitkannya kepada satu kasus kebijakan yang pro rakyat, yakni reforma agraria menemukan relevansinya meskipun harus diuji terus menerus. Mengingat, proyek kesejahteraan yang membasiskan kepada reforma agraria di mana pelaku utamanya adalah masyarakat pedesaan juga tidak kalah ilusif dengan gagasan ke-Idonesiaan (baca negara rakyat) itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Argumentasi tambahan mengapa secara sengaja kasus yang diangkat adalah reforma agraria karena pertimbangan berikut: Pertama, reforma agraria adalah agenda politik yang diorientasikan untuk membangun suatu kapasitas politik-ekonomi kepada rakyat. Oleh karena ia merupakan agenda politik, maka reforma agraria selain merupakan kehendak rakyat juga harus menjadi kehendak negara yang diwujudkan dalam berbagai kebijakannya. Kedua, sebagai bagian dari agenda politik, maka reforma agraria dalam beberapa hal memiliki substansi yang diinginkan oleh konsep politik sendiri. Sebagaimana dikemukakan oleh Robet (2007) bahwa “Politik pada dasarnya dan pada mulanya adalah internal good. Politik diadakan sebagai keseluruhan tindakan untuk menyempurnakan kebahagiaan kehidupan bermasyarakat”. Ketiga, secara konseptual reforma agraria sebenarnya bukan hanya gagasan kosong. Reforma agraria sudah menjadi salah satu instrumen perubahan sosial yang memiliki daya dobrak luar biasa khususnya bagi kehidupan masyarakat kecil dan petani pedesaan. Namun, seperti kita saksikan bersama untuk konteks Indonesia reforma agraria masih terasa lebih indah di forum saja, belum menggema secara menyeluruh pada birokrasi dan mainstream kebijakan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Dari keadaan ini, kita menjadi bertanya: sebenarnya bagaimana negara melihat desa di Indonesia? Residu ataukah bagian dari proyek kita mengenai keindonesiaan? ---bersambung --- Tantan Hermansah Pengajar Sosiologi Pedesaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta *tulisan ini pernah terbit dalam web site Yayasan Interseksi