Konten dari Pengguna

Kebudayaan Pasca Manusia

Tantan Hermansah
Ketua Program Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
15 Oktober 2020 20:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tantan Hermansah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jika kita merentangkan fase alam semesta, maka ada dimensi waktu yang tersedia: masa lalu, saat ini, dan masa depan. Apakah semua fase tersebut hanya berlaku untuk manusia?
ADVERTISEMENT
Namun jika kita menaruh subyek pada setiap fase waktu tersebut, dari perspektif kita saat ini adalah: pra manusia, manusia, dan pasca manusia. Setiap fase yang melekat padanya, pasti menghasilkan atau mencatatkan sejarah.
Manusia adalah mahluq budaya. Di mana setiap eksistensinya bisa diidentifikasi, dan dianalisis berdasarkan ruang dan ekspresi budaya yang dihasilkannya.
Maka muncul pertanyaan: Adakah kebudayaan pasca manusia? 
Untuk menjawabnya, mungkin kita harus mengenali dulu apa manusia. 
Secara sederhana manusia dibagi dalam tiga dimensi: fisik, non-fisik, dan spiritual. 
Fisik adalah raga kasar yang mudah diidentifikasi karena materialnya jelas. Pada tataran ini, fisik manusia memiliki kesamaan baik pada aras bentuk dan juga fungsi-fungsi umum. 
Pada aras bentuk misalnya, manusia sama-sama punya kepala, badan, dan sebagainya-seperti yang kita kenal kebanyakan. Hanya jika ada perbedaan biasanya menyangkut warna kulit, bentuk mata, bentuk rambut dan warnanya, dan hal-hal yang sifatnya fisik tersebut. Sedangkan secara inti, tetap masih merupakan mata, hidung, dan perangkat lainnya. 
ADVERTISEMENT
Namun demikian, secara fungsi, hal-hal yang sifatnya fisik dalam manusia itu memiliki kesamaan. Tangan untuk memegang, kaki untuk berjalan, mata untuk melihat, umumnya merupakan bukti fungsionalitas perangkat fisik manusia itu meski berbeda ras, suku bangsa, maupun bentuk tampilan fisiknya. 
Adapun secara non-fisik berarti apa yang tersebunyi, tetapi berkaitan, biasanya dengan hal-hal non fisik lain yang menjadi asupan. Contoh pendidikan atau ajaran, atau lingkungan tempat dia tinggal akan membentuk hal-hal yang sifanya non-fisik seperti kebiasaan dan sebagainya. 
Misalnya mereka yang terdidik dalam lingkungan orang kaya, cenderung terjaga, terpelihara, dan kemudian juga memiliki mind set yang sama dengan lingkungannya. Sebaliknya mereka yang tinggal dalam pendidikan miskin, tinggal di lingkungan miskin, misalnya maka akan memiliki habit dan cara berfikir miskin. inilah hal-hal yang sifanya non-fisik. 
ADVERTISEMENT
Meski demikian, kedua hal tersebut memiliki keterkaitan yang sangat kuat dan bahkan keduanya bersinergi secara aktif membentuk sosok yang disebut manusia. 
Namun fisik dan non-fisik saja tidak cukup menampilkan diri sebagai manusia yang utuh. Sebab manusia yang utuh memiliki dimensi ketiga, yakni spiritual. Spiritual ini adalah modal dari Tuhan yang tidak diberikan kepada binatang, tumbuhan, maupun alam lainnya. Spiritual ini bisa jadi diberikan sangat eksklusif kepada manusia. Di sinilah mengapa manusia sangat istimewa di hadapan Tuhannya. 
Spiritual itu bukan semata beragam. Namun bisa jadi, sumber spiritual itu salah satunya adalah agama. 
Spiritualitas adalah semangat yang hadir pada seorang manusia ketika ia merasa, memahami, meyakini, bahwa dia tidak hidup dan hadir secara tunggal dan muncul begitu saja. Selalu ada motif yang dibuat oleh sang mencipta ketiak ia dihadirkan dan diberikan kehidupan di alam dunia ini. Kesadaran ini merupakan elemen penting dalam konsepsi spiritual. Sehingga semangatnya melampaui batas-batas yang sifatnya suku bangsa, bahasa, postur tubuh, dan bahkan agama. 
ADVERTISEMENT
Ketika ketiga dimensi ini bersatu dalam tubuh atau diri manusia, di sinilah kemudian kita mengenai apa yang dalam agama Islam misalnya, sebagai insan kamil atau manusia sempurna. Manusia sempurna bisa dimakna sebagai ekspresi di mana ketiga dimensi itu berkilauan memberikan pencerahan kemanusia subyek tubuh manusia lainnya, sehingga dia pun mendapatan perasaan dan pengalaman yang sama. 
Dalam dunia Islam kita mengenai sosok Maulana Jalaludin Rumi. Spiritualitas yang hadir dan divisualisasikan dalam kehidupannya, bahkan telah menjadikan Rumi sebagai “nabi” berbagai agama. Rumi telah menjadikan Islam sebagai basis untuk membangun spiritualitasnya. Dengan itu, maka pancaran keindahan agama menjadi terang dan begitu dinikmati banyak orang tanpa memedulikan lagi dia berasal dari suku bangsa atau agama apa. 
ADVERTISEMENT
Kembali ke pertanyaan awal dari artikel ini? Apakah ada kebudayaan pasca manusia? 
Tentu saja sulit menjawabnya. Namun demikian, remah-remahnya sudah mulai tampak atau hadir pada kehidupan manusia. 
Manusia di masa depan sepertinya akan mengalami tiga realitas ini: zombi, cyborg, dan alien. 
Mari kita lihat, manusia zombi adalah mereka yang tubuh fisiknya masih manusia utuh. Bahkan strukturnya tidak berbeda dengan manusia konvensional atau manusia tradisional. Tangan, kaki, badan, kepala, dan sebagainya masih mirip. Namun zombi adalah tubuh manusia yang pengendaliannya sudah berubah. Zombi dikendaiikan hanya oleh satu hal: nafsu fisik untuk memperbanyak teman-temannya melalui penularan. Kita tidak atau belum tahu apakah pasca penularan itu mereka akan membangun kebudayaan baru pasca manusia tradisional atau tidak. 
ADVERTISEMENT
Jika kita melakukan pembacaan, fenomena manusia zombi sudah ada bersama kita. Di mana mereka terinfeksi oleh suatu penyakit tertentu dan kemudian, secara sistematis penyakit atau mungkin virus itulah yang mengendalikan kehidupan kesehariannya. 
Jika tidak menjadi zombi, manusia masa depan akan menjadi cyborg. Cyborg adalah manusia baru hasil dari persenyawaan tubuh (fisik) manusia tradisional dengan alat-alat atau benda-benda fisik buatan pabrik. Persenyawaan ini dilakukan untuk menunjukkan kesempuraan fisik. Persenyawaan antara tubuh pemberian Tuhan dengan alat-alat buatan pabrikasi ini karena didrive satu asumsi dan persepsi pasar yang selalu dianggap bisa sempurna. 
Kekuasaan pasar yang selalu membangun persepsi kesempurnaan versi pabrik itu, menyebabkan manusia-manusia berebut untuk mengikuti dan menurutinya. Lihat saja, mereka harus tampil langsing, glowing, putih, dan sebagainya. Seluruh persepsi tentang ini dikonstruksi sedemikian rupa oleh pasar yang telah menyiapkan berbagai suntikan, serta alat-alat buatan untuk memuluskan persepsi itu. 
ADVERTISEMENT
Realitas ketiga manusia adalah alien. Pada posisi ini, manusia bisa ada dalam situasi melawan bangsa Alien yang dianggap datang dari dunia lain dan ingin menginvasi atau menguasai bumi yang ditinggali manusia tradisional ini, atau Alien yang sudah lama hadir dalam kehidupan manusia tanpa disadari. 
Namun bisa dikatakan bahwa hubungan manusia dengan Alien ini pasang surut. Kadang harmonis di mana Alien adalah sosok baik; kadang juga sosok buruk. Meski demikian, persepsi atas allien yang buruk lebih dominan ketimbang yang buruk. Tapi satu hal bahwa alien ini sering digambarkan sebagai entitas dengan teknologi yang sudah lebih maju daripada manusia. 
***
Akan tetapi satu hal yang cukup mulai membahana dalam pikiran kebudayaan manusia adalah: adanya entitas lain yang berada di luar bumi; adanya kehidupan lain di samping kehidupan manusia saat ini. 
ADVERTISEMENT
Ketika realitas ini saling terkoneksi, berinteraksi, dan kemudian membangun relasi, apakah akan menjadi akhir dari kebudayaan manusia? [ ]