Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kepemimpinan Kampus Merdeka
3 Maret 2021 7:06 WIB
Tulisan dari Tantan Hermansah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kampus adalah institusi di mana segala pranata sosial budaya ekonomi ditumbuhkan, dirawat dan dijaga keberlanjutannya. Insan kampus, biasanya disebut dengan sangat indah: Akademisi atau Civitas Akademik. Sebutan ini menunjukkan banyak pesan simbolik. Di mana kalangan yang ada dalam naungan institusi ini memiliki kredibilitas, kualitas dan integritas yang diharapkan akan memberikan bingkai pada proses pendidikan yang dilakukan oleh kampus tersebut.
ADVERTISEMENT
Mandat kampus memang berat. Sederhananya memang dicerminkan dalam tiga pilar utama: pengajaran, pengabdian dan penelitian. Ketiga entitas tersebut, seperti tiga dalam satu, yang mana satu dan yang lainnya tidak bisa dipisahkan. Sehingga demi menerjemahkan ketiga pilar tersebut, maka akademisi menjadikan tiga pilar tersebut bukan hanya hafalan, tetapi direfleksikan dalam tindakan-tindakan yang akan memberikan makna dan perubahan pada kehidupan sosial masyarakat.
Pilar Kampus
Tiga pilar atau juga diberikan istilah Tri Darma Perguruan Tinggi inilah yang kemudian dijadikan parameter dalam menggerakkan akademisi kampus. Bobot dari institusi pada salah satunya, akan mencerminkan tipologi dari kampus itu sendiri.
Maka muncullah istilah “teaching university” yang secara sederhana berarti kampus tersebut masih memberikan porsi sebagai lembaga yang kuantitas pengajaran paling banyak dibanding dua hal yang lainnya. Ada juga istilah kampus “research university” yang menunjukkan di mana versi riset dalam sistem pembelajarannya sudah mulai mengalokasikan sumber daya akademiknya untuk kegiatan penelitian, atau bahkan sama besarnya dengan proses pengajaran. Ada lagi “entrepeneur university”, “wordclass university” serta sejumlah penyebutan lain yang menunjukkan bobot dan kriteria tertentu sebuah kampus.
ADVERTISEMENT
Ketika Presiden Joko Widodo melantik Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, kemudian muncul istilah lain yang dilekatkan kepada kampus, yakni “Kampus Merdeka”. Kampus Merdeka menekankan kebijakan tata kelola kampus yang memperkenankan kepada mahasiswa untuk “mengasah” skill keilmuannya tidak hanya pada perguruan tingginya saja, namun juga di perguruan tinggi lain, atau bahkan institusi lain. Dalam Kampus Merdeka juga mahasiswa diberikan sejumlah kebebasan untuk merumuskan strategi peningkatan kapasitasnya dengan melekatkan diri pada instansi lain dengan durasi lebih lama dari yang selama ini biasa dilakukan.
Jika dipetakan lebih lanjut, semua “label” yang marak dilekatkan pada kampus (teaching, research, word class, dan sebagainya) merupakan upaya simbolis agar kampus di Indonesia memiliki kesamaan (tentu dalam arti positif) dengan kampus lain di luar negeri. Setiap irisan yang menunjukkan adanya kesamaan, kemudian dibanggakan sebagai prestasi yang sudah dicapai oleh setiap Perguruan Tinggi yang mencapainya.
ADVERTISEMENT
Makna Merdeka
Namun jika kita menelisik lebih dalam, usulan Mas Menteri tentang Kampus Merdeka justru lebih genuin, murni, dan tentu sangat membumi (Indonesia). Pilihan frasa “merdeka” yang tentu saja ini tidak bisa dinisbahkan kepada kampus lain di luar negeri. Sebab frasa merdeka justru menunjukkan aspek kekuatan lokal (dulu sering disebut kearifan lokal) yang sebenarnya belum dibangkitkan dengan serius dalam tata kelola kampus di Indonesia.
Pada aspek filosofis lainnya, frasa merdeka ini seperti mengingatkan kita bahwa dalam institusi kampus, kita memiliki inti dari human being yakni kemerdekaan dan kebebasan. Di mana dalam Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945, aspek kemerdekaan ini pun jelas sekali dijamin dalam kalimat: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.”
ADVERTISEMENT
Maka kita bisa memberikan makna lebih dalam lagi bahwa Kampus Merdeka merupakan Kampus yang harus memiliki kapasitas untuk menjadi wadah berkumpul dan mengeluarkan pikiran dalam bentuk lisan dan tulisan. Inilah yang kemudian ditransformasi oleh Mas Menteri menjadi kebebasan yang distrukturkan (dijamin) untuk mahasiswa untuk mengasah skillnya. Di mana keputusan tersebut harus memberikan nilai berbeda kepada mahasiswa itu sendiri. Kementerian pun secara teknis sudah mengeluarkan panduannya dalam “Buku Panduan Merdeka Belajar - Kampus Merdeka. (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemdikbud RI, 2020).”
Untuk bisa menjalankan agenda kampus merdeka maka perlu ada strong leadership atau kepemimpinan yang kuat. Kepemimpinan yang kuat, dalam perspektif sosiologis ditopang oleh model kepemimpinan representatif. Di mana model kepemimpinan ini mampu menjadi wadah dan penyambung lidah bagi beragam kelompok strategis dalam institusi kampus itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Leadership Merdeka
Dalam mengelola dinamika organisasinya, pemimpin sebuah kampus, idealnya memang memiliki akar yang cukup. Dengan kata lain, pemimpin yang lahir ujug-ujug akan tergopoh-gopoh ketika mengelola dinamika insan kampus yang memang secara mandatoris memiliki kebebasan akademik. Maka, alih-alih akan menjadikan dinamika dan keragaman serta kritik dalam institusi ini sebagai energi untuk melakukan lompatan positif, pemimpin seperti itu akan melihat dinamika sebagai ancaman. Pemimpin yang tidak tumbuh dari bawah juga cenderung tidak memiliki visi yang berbasis/ berakar secara radikal kepada nilai-nilai kemajuan.
Sejatinya kepemimpinan adalah reproduksi sistem sosial budaya yang membesar (tumbuh) dalam suatu habitus. Habitus adalah struktur kognitif yang memperantarai antara realitas sosial. Habitus juga merupakan hasil pembelajaran melalui pengasuhan, aktivitas bermain, dan pendidikan masyarakat (Bagus Takwin 2009). Di sini pentingnya rekam jejak setiap pemimpin akan memperkuat kualitas kepemimpinannya. Karena di dalamnya, seorang pemimpin ditempa tidak hanya oleh ilmu pengetahuan, tetapi juga oleh waktu dan pengalaman.
ADVERTISEMENT
Termasuk pentingnya akar sosiologis ini adalah mereka yang mendapatkan amanah dalam memimpin sebuah institusi kampus. Sebagai instansi yang memproduksi ilmu pengetahuan dan teknologi, pemimpin yang memiliki akar sosial, budaya, epistemis, dan kearifan lokal, akan memberikan pengaruh kepada percepatan memajukan institusinya, memahami kendala-kendala secara holistik, dan mendinamisasi keragaman sebagai energi perubahan.
Hadirnya para pemimpin kampus di era Kampus Merdeka menjadi babak baru dalam mengestafetkan perubahan sosial dengan lebih cepat, terarah, dan sistematis. Namun dalam praktiknya, harapan dan nilai-nilai yang terkandung dalam kampus merdeka itu kadang terasa “jauh panggang dari api”. Ketika banyak pemimpin kampus justru hadir karena didorong dari atas, tidak memperhatikan akar budaya epistemic yang ada di kampus tersebut, dan sejumlah un-kompetensi sosial budaya lainnya. Akibatnya, banyak kampus bukan menjadi “rumah kebersamaan”, namun jadi institusi pribadi tempat menuangkan sifat asali, personal, dan individualis.
ADVERTISEMENT
Maka model pemimpin seperti ini jika hadir dalam sebuah kampus, alih-alih akan mendorong perubahan, merawat kemajuan, dan mengelola semangat keragaman, yang terjadi justru memadamkan cahaya kritis, kreatif, dan produktif, dan terjatuh dan kegelapan ilmu dan kebijaksanaan. Semoga kita dijauhkan dari model kepemimpinan kampus seperti ini. [ ]
Oleh: Tantan Hermansah
(Ketua Program S2 Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Jakarta; Sekjen Perkumpulan Pengembangan Masyarakat Islam P2MI)