Konten dari Pengguna

Kota dan Masyarakat Halu

Tantan Hermansah
Ketua Program Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
19 Agustus 2020 5:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tantan Hermansah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi masyarakat Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi masyarakat Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini kita mendengar kata "halu". Setelah ditelusuri, ternyata "halu" berasal dari kata "halusinasi" yang dibuat lebih pop. Jadi lebih enak mengingat dan mengucapkannya. Halusinasi menurut web www.alodokter.com dikatakan bahwa "Halusinasi adalah gangguan persepsi yang membuat seseorang mendengar, merasa, mencium aroma, dan melihat sesuatu yang kenyataannya tidak ada. Pada keadaan tertentu, halusinasi dapat mengakibatkan ancaman pada diri sendiri dan orang lain.
ADVERTISEMENT
Halusinasi adalah sensasi yang diciptakan oleh pikiran seseorang tanpa adanya sumber yang nyata. Gangguan ini dapat memengaruhi kelima panca indera. Seseorang disebut berhalusinasi ketika dia melihat, mendengar, merasa, atau mencium suatu aroma yang sebenarnya tidak ada. Hal-hal ini hanya ada di dalam pikiran mereka".
Jika melihat definisinya, menyematkan kata "halu" pada seseorang tentu setelah melihat beberapa hal yang dihadirkan oleh subyek tersebut. Gap atau jurang antara fakta dan realitas bisa diberi label halu. Contoh, beberapa hari terakhir ada yang deklarasi sebagai calon presiden 2024. Sebuah statement yang shahih dan biasa-biasa saja secara hukum dan sistem demokratis, kemudian disebut sebagai "halu" atau halusinasi.
Akan tetapi apa yang dikatakan masyarakat netizen tersebut bisa ada benarnya jika memang fakta-fakta di lapangan sangat tindak mendukung subyek tersebut untuk menyatakan hal itu. Contoh, Anda sedang berhalusinasi jika mengatakan punya kapal pesiar seperti bintang sepak bola Ronaldo jika apa yang tampak dalam kehidupan sehari-hari morat marit.
ADVERTISEMENT
Mengapa Halu?
Jika dilihat secara sosiologis, struktur masyarakat terbagi dalam beberapa kelompok sosial, yang mana kelompok-kelompok itu terbentuk bisa secara budaya, ekonomi, atau bahkan politik. Semua pengelompokan berdasarkan variabel tersebut akan memberikan ruang kepada seseorang untuk eksis dalam kehidupan mana. Seseorang bisa dikatakan eksis jika ia memang diakui secara nyata pada kelompok tertentu.
Pengakuan adalah ekspresi kebudayaan. Kehadirannya diakui secara verbal dan latin karena subyek tersebut memang 'berakar' pada kelompoknya. Sehingga ketika akarnya makin kuat, maka eksistensinya bisa semakin menancap dalam dan bahkan merembet keluar dari ruang tempat ia eksis.
Contoh seseorang yang berkarier di dunia politik. Tangga karirnya dilalui mulai dari bawah, sampai kemudian sampai ke puncak dan bahkan kemudian menjadi ketua umum. Ketika posisi tertinggi sudah diraih, maka tahap berikutnya adalah menancapkan kekuatan dia dan bahkan jika akarnya kuat, ia akan memberikan pengaruh kepada mereka yang berada di luar partainya.
ADVERTISEMENT
Dalam berproses mencapai hal itu, seseorang kadang bisa melakukan lompatan kodok. Dengan lompatan kodok, otomatis beberapa hal atau fase bisa terlewati. Sehingga tidak jarang ia bisa sampai pada posisi tertentu yang bisa jadi cukup berat jika harus dilalui orang lain.
Masyarakat kota banyak yang berproses melakukan lompatan kodok tersebut. Mereka berproses dengan sangat cepat karena ada pada momen yang tepat. Contoh seorang youtuber yang tadinya biasa-biasa saja, tetapi karena momennya tepat, justru menjadi bintang dan mengalahkan mereka yang sudah berproses lama.
Akibat dari realitas ini, banyak orang berimajinasi sama. Mereka mengangankan untuk mendapatkan hal yang sama dengan proses yang dia miliki. Di sinilah kadang hal-hal seperti ini disebut sebagai halu atau halusinasi.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya jika imajinasi diubah jadi mimpi sesungguhnya tidak masalah. Sebab prosesnya berjalan. Berarti ada upaya yang dilakukan subyek untuk mewujudkan imajinasi tersebut. Namun jika imajinasi berubah menjadi khayalan, baru menjadi masalah karena jika kelamaan bisa potensial membuatnya gila. [ ]
Tantan Hermansah Pengajar Sosiologi Perkotaan dan Ketua Program Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) UIN Jakarta.