Konten dari Pengguna

Menghilangkan Darwinisme Kreativitas

Tantan Hermansah
Ketua Program Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
2 Juli 2020 5:44 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tantan Hermansah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi ekonomi digital. Foto: shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ekonomi digital. Foto: shutterstock
ADVERTISEMENT
Disebut sebagai tonggak gelombang peradaban keempat, ekonomi kreatif saat ini tetap eksis di masa pandemi ini. Meski tidak semua sektor kreatif bisa kokoh berdiri, tetapi sektor kreatif yang membasiskan pada platform digital, kelihatannya justru banyak menuai keuntungan.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi di tengah kedahsyatan yang ditimbulkannya, muncul gejala yang sesungguhnya tidak kalah mengerikan, yakni perilaku “saling menghabisi” antar sesama stakeholders kreatif ini. Penulis menyebut gejala ini sebagai bentuk konservatif dari teori darwin yang merasuk pada sistem ekonomi, atau “darwinisme ekonomi”.
Darwinisme Ekonomi
Untuk memahami ‘darwinisme ekonomi’, terlebih dahulu kita harus menelusurinya pada kepingan teori darwin dan teori ekonomi. Pada keping pertama, adagium yang sering dikemukakan untuk memperlihatkan bagaimana teori Darwin ini beroperasi adalah hukum “siapa yang kuat; dia yang menang”. Sementara kepingan lainnya adalah hukum ekonomi yang juga berkubang pada moda yang nyaris sama, dengan kredo: “dengan modal yang sekecil-kecilnya mendapatkan untung sebesar-besarnya”.
Sehingga “Darwinisme Ekonomi” merupakan persekutuan dua kekuatan, yakni: hukum darwin dan hukum ekonomi kapitalis. Lalu, bagaimana gejala Darwinisme Ekonomi ini muncul dalam industri kreatif kita? Apa yang perlu diwaspadai agar gejala ini tidak menjadi snow bowling yang bisa mengganggu kultur industri yang tengah bergairah ini?
ADVERTISEMENT
Secara potensial, Darwinisme Ekonomi dalam ekonomi kreatif bisa dilihat dari epistemologi atau asal-usulnya. Seperti kita ketahui, ekonomi kreatif—sesuai namanya—adalah satu moda ekonomi yang membasiskan diri pada kreatifitas. Kreativitas adalah usaha sadar yang muncul dari pelakunya, untuk mengubah sesuatu menjadi memiliki nilai ekonomi. Oleh karena itu, bentuk ekonomi kreatif—jika dilihat dari kasat mata—hampir banyak yang sama dengan modal industri tradisional. Yang membedakan biasanya adalah nilai intrinsik yang dilekatkan kepada produk tersebut, seperti kekayaan pesan, kreasi, ekslusivitas, dan sebagainya.
Oleh karena membasiskan pada sesuatu yang laten, dalam hal ini kreativitas, maka karakter industri ini tidak memiliki batasan. Ia akan muncul selama ide-ide kreativitas itu ada atau tidak dibunuh.
Dari sini kemudian muncul gejala darwinisme, dimana yang tidak lagi kreatif akan dilibas oleh kreativitas baru. Persaingan ini terjadi tidak hanya di tingkat kapasitas, namun varian produk, maupun pelaku-pelaku kreatifnya. Dari sisi varian produk, salah satu cara yang efektif membunuhnya adalah pembajakan/ duplikasi. Sedangkan di tingkat pelaku, pembajakan dilakukan kepada kreator-kreatornya sendiri. Jika sudah demikian, maka pertempuran selanjutnya adalah pada nilai keekonomian satu produk. Sebab meski menawarkan specialty, di lapangan harga juga menjadi pertimbangan.
ADVERTISEMENT
Jika tampil seperti ini, bagaimana masa depan industri ini kelak. Memang selama ini, kebanyakan industri kreatif dimiliki oleh para kreatornya. Namun ‘gaya’ seperti ini mulai banyak ditinggalkan. Saat ini mulai tumbuh model industri kreatif di mana modalnya dimiliki oleh orang luar yang menuntut keuntungan. Sebagai gambaran di Bandung misalnya, sebagai salah satu pusat industri kreatif yang paling dinamis di negeri ini, mulai banyak model industri ini dimiliki oleh para pemodal besar.
Sistem yang Kuat
Mewaspadai gejala darwinisme ekonomi seperti di atas, memang diperlukan peranan pemerintah. Pemerintah berperan tidak hanya sebagai fasilitator, namun juga sebagai pihak yang membelikan afirmasi agar gejala saling ‘makan’ dalam industri ini tidak terjadi. Beberapa hal yang dikemukakan oleh pemerintah seperti mempermudah pengurusan masalah Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) jelas sangat membantu. Namun HAKI saja tidak cukup. Sebagai tipikal industri yang memiliki karakter berkaitan dengan momen, maka HAKI hanya bermanfaat sebagai pelestari kekayaan budaya yang muncul karena proses kreatif saja.
ADVERTISEMENT
Untuk itu beberapa langkah strategis yang sejatinya menjadi komitmen pemerintah adalah: Pertama, memperluas varian industri kreatif dari 14 kategori ekonomi kreatif yang ada. Dibanding dengan negara lain yang sudah lama menimba manfaat dari tumbuhnya industri ini, kategori industri kreatif di Indonesia jauh lebih kaya. Namun setiap varian di dalamnya, masih sangat bias urban dan well educated. Sehingga masih diperlukan pengayaan varian terutama agar bias urban itu menjadi minimal, atau setidaknya diisi varian baru yang rural dimension. Dengan begini, maka pelaku industri akan semakin banyak termasuk memancing kreativitas masyarakat biasa.
Kedua, membangun sistem perlindungan penuh pada pelaku. Dalam konteks ini, pemerintah memberikan inisiasi kepada masyarakat. Sebagai contoh, di India, pemerintah memberikan penghargaan yang sangat layak kepada para penemu. Tidak ada salahnya Indonesia juga melakukannya dengan konsep yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Misalnya, Pemerintah memberikan penghargaan kepada para penemu yang sukses menghasilkan produk temuan yang memiliki tiga dimensi berikut: ekonomi (kompetitif di pasaran), sosial (bisa melibatkan banyak pelaku dan sangat bermanfaat), dan budaya (berkaitan heritage Indonesia sehingga memiliki karakter kuat) yang tinggi. Dengan memberikan penghargaan yang layak kepada temuan-temuan seperti ini, maka seorang penemu tidak mesti menjadi seorang industriawan dalam memasarkan produknya. Ia bisa merasa cukup sebagai penemu saja.
Jika pemerintah mau menjalankan kedua peran di atas dengan baik, maka gejala kanibalisme industri kreatif akan berkurang. Selain itu, dengan inisiasi dan afirmasi, akan muncul segmentasi profesi maupun varian kreativitas yang bisa memberikan peluang kesejahteraan bagi rakyat. []
Tantan Hermansah adalah Dosen Sosiologi UIN Jakarta; Ketua Prodi S2 Komunikasi dan Penyiaran Islam
ADVERTISEMENT