Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menormalisasi 'New Norma(L)' Kota
22 Juni 2020 7:03 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Tantan Hermansah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Apapun alasan dan analisis dan penjelasannya, secara faktual kita sudah memasuki era “normal baru”. Apa buktinya? Datang saja ke beberapa pasar tradisional. Aktivitas masyarakat yang ada di sana biasa saja. Hanya sebagian orang menggunakan masker. Tidak ada jaga jarak, sedikit ada yang menyimpan hand sanitizer, dan hampir tidak ada yang rutin menyemprot disinfektan. Ada tempat cuci tangan dengan sabun dan air yang sudah habis.
ADVERTISEMENT
Inikah wujud new normal itu?
Jika kita tengok teorinya, istilah “normal baru” di awal-awal muncul untuk menjelaskan realitas ekonomi. Namun demikian perkembangan selanjutnya istilah ini ruang lingkupnya meluas menjadi tatanan kehidupan dan bahkan menjadi budaya baru. New normal diberikan makna “kebiasaan baru” yang dimensinya jauh lebih dalam dari sekadar realitas ekonomi. Sehingga new normal bisa menjadi realitas yang hadir dalam berbagai aspek kehidupan manusia.
Persepsi ini yang bisa kita temukan dalam berbagai keadaan. Di sekolah, proses pembelajaran mulai dari yang menerapkan daringisasi (karena sistemnya tetap luring) KBM, seratus persen daring, kombinasi daring luring, sampai ada yang sudah mulai menerapkan luring murni alias seperti biasa. Di pusat keramaian seperti mal dan pusat perbelanjaan modern pun, kenormalan baru diterapkan mulai dari cara duduk, antrean belanja, sampai kepada proses interaksi di dalam institusi tersebut.
ADVERTISEMENT
Begitu juga di perkantoran dan ruang publik lain. Semuanya, secara gebyah uyah menerapkan new normal.
Apa sebenarnya yang kita harapkan dari pemberlakuan new normal agak berbeda dengan apa yang dituju dari new normal itu menurut pemangku kepentingan, khususnya pemerintah.
Di mata sebagian masyarakat, new normal atau kenormalan baru berarti kita semua kembali beraktivitas seperti biasa dengan pendekatan dan tata cara yang agak berbeda dari sebelumnya. Jika sebelumnya ke kantor itu bebas merdeka mulai dari jumlah orang, jam masuk, dan segala hal lazim dilakukan. Sekarang berbeda karena harus ada sistem kehadiran secara aplusan, bekerja dari rumah, dan sebagainya. Namun inti dari aktivitas itu adalah bekerja tetap terjadi dan berlangsung seperti biasa.
ADVERTISEMENT
Sedangkan dalam perspektif pemerintah, new normal adalah “new norma” atau adanya beragam aturan baru yang diproduksi untuk mengatur masyarakat agar lebih disiplin dan tertib. Tujuan pemerintah dari pemberlakuan New Normal lebih menekankan kepada aspek penegakan hukum atau aturan karena punya maksud untuk memutus rantai COVID-19 di masyarakat. Sehingga jika masyarakat itu disiplin dan taat pada berbagai aturan yang dibuat pemerintah, maka diharapkan jumlah pasien COVID-19 akan menurun bahkan berkurang sama sekali.
Jika kita lihat bagaimana kedua perspektif itu lahir, maka menjadi wajar jika kemudian sebagian dari kita terheran-heran atau merasa biasa saja dengan fenomena dan fakta yang ditemukan di lapangan. Mengapa? Karena jika acuannya adalah fakta maka new normal itu tidak memiliki perbedaan signifikan dengan masa old normal.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, berbasis kepada permasalahan yang dijelaskan di atas, kita bisa membuat kesimpulan bahwa new normal merupakan upaya konstruktif dari pemerintah untuk melakukan proses normalisasi. Normalisasi inilah yang kemudian harus direspons secara kritis dari masyarakat.
Bagi masyarakat kota, proses new normal dengan pendekatan seperti ini bisa jadi lebih strategis karena beberapa alasan berikut:
Pertama, kota merupakan pusat dari pergerakan manusia, yang dari pergerakannya itu kemudian menghasilkan nilai tambah. Nilai tambah merupakan komponen penting dalam memberikan pelumas pada roda ekonomi. Tanpa pelumas roda ekonomi akan seret dan macet, yang akhirnya akan menggangu banyak pihak lain juga berkepentingan secara ekonomi.
Kedua, sumberdaya terbesar dan terkuat ada di kota. Kota-kota bukan hanya telah menjadi mercusuat peradaban, tetapi bahkan creator dari peradaban itu sendiri. Sehingga jika kota “dibunuh” atau melakukan “bunuh diri” massal, akibatnya bisa sangat fatal bagi kehidupan banyak orang, baik di kota itu sendiri, maupun di desa-desa.
ADVERTISEMENT
Ketiga, proses New Normal memang menuntut adanya sumberdaya manusia yang sigap dan memiliki resiliensi sosial, budaya dan ekonomi yang kuat. Tanpa hal itu, maka gelombang bencana berikutnya bisa jadi tidak bisa dibendung dan sangat mungkin akan memakan banyak korban.
***
Oleh karena itu maka perlu dibangun sekenario new normal atau hidup yang harus ditata dengan norma baru tersebut. Sekenario itu setidaknya memberikan keleluasaan kepada semua pihak untuk sama-sama menghadapi wabah ini agar masa depan kota bisa dijaga sampai generasi mendatang. [ ]