Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Menuju Ekonomi Kreatif Desa
27 Juni 2020 10:41 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Tantan Hermansah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tampaknya, bias kota masih kuat dalam pandangan pemerintah ketika merumuskan apa yang dikategorikan ekonomi kreatif. Ekonomi Kreatif (EK) atau Industri Kreatif (IK) yang dirumuskan pemerintah menggolongkan industri kreatif itu pada 14 sektor, yaitu: Periklanan, Arsitektur, Pasar seni dan barang antik, Layanan komputer dan peranti lunak, Televisi dan radio, Kerajinan, Permainan interaktif, Riset dan pengembangan, Musik, Fashion, Penerbitan dan percetakan, Riset dan pengembangan, Desain, dan Seni pertunjukan. Belakangan, kuliner juga ditambahkan sebagai salah satu produk kreatif di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Ekonomi kreatif sendiri, sebagaimana definisi yang dikeluarkan PBB, merujuk kepada satu aktivitas atau formulasi gagasan baru serta untuk mengaplikasikan gagasan tersebut pada produk-produk kerja yang original dari seni maupun produk budaya lainnya, karya cipta fungsional, penemuan sains, dan inovasi teknologi (Creative Economy Report, UN: 2008).
Pertanyaan selanjutnya adalah, lalu di mana posisi perdesaan dalam EK atau IK? Menjawab pertanyaan ini penting mengingat beberapa fakta sejarah berikut: Pasca Indonesia merdeka, hiruk pikuk kemerdekaan ternyata tidak menyurutkan pemerintah untuk membangun struktur ekonomi yang adil, yang tidak menonjolkan disparitas spasial, dan menjamin sistem kesejahteraan bersama sebagaimana dicita-citakan dalam substansi UUD 45. Konsern rezim Soekarno yang cukup kuat ini antara lain bisa dilihat dari program ekonomi benteng (bdk.Budiman Tanuredjo, 2005), dan program Reforma Agraria atau penataan sistem tenurial pertanahan di desa (dan juga kota).
ADVERTISEMENT
Namun kemudian, ketika rezim ini ambruk, orientasi pembangunan yang dikonstruksi orde baru nyaris berubah total—di mana orde bias kota dimulai. Kekuasaan orde baru yang disangga oleh utang dari badan-badan keuangan dunia, mengharuskan rezim ini fokus pada usaha yang moda putarannya tinggi. Hal ini disebabkan rezim ini juga mengejar pembayaran bunga rente utang tersebut. Pada akhirnya, secara sistematis, Orde Baru membiarkan desa—baik secara demografis maupun ekonomi-politik—marjinal.
Ketika rezim Ode Baru juga tumbang, kita semua berharap kepada rezim baru yang berkuasa. Namun sistem politik yang sudah terstrukur kuat dengan desain lama, kurang memberikan ruang kepada rezim yang berkuasa untuk kembali melirik desa lebih kuat. Sementara gejala ekonomi kota justru semakin merangsek masuk ke gelombang ekonomi keempat, yakni ekonomi kreatif.
ADVERTISEMENT
Jujur harus diakui bahwa ekonomi kreatif selama ini memang berwajah dan merepresentasikan tipikal ekonomi kaum urban, di mana life style menjadi karakter utama. Karena berwajah urban inilah, maka pendekatan kota sangat kental dalam konstruksi ekonomi kreatif. Bahkan jika menelusuri sejarahnya, EK atau IK ini tumbuh dan berkembang karena dilema ekonomi industri perkotaan yang ambruk karena hilang atau kurangnya sumberdaya material yang biasanya menghidupkan pabrik atau perindustrian. Inggris yang merupakan salah satu pelopor industri kreatif di dunia dengan serapan tenaga kerja mencapai 1,9 juta (data tahun 2003), IK muncul pada sebuah kota yang nyaris menjadi gost city (Colette, Entrepreneurship in the Creative Industries, 2007).
Namun meski tonggak sejarahnya dari kota, bukan berarti kreativitas itu dibatasi oleh ruang sempit dan cenderung hegemonik. Sebab jika pemerintah membuat medium lebih luas dimana area spasial dipertimbangkan sebagai potensi, bisa jadi memberikan makna tambahan serta stakeholders tambahan pula.
ADVERTISEMENT
Penggolongan jenis ekonomi kreatif yang dilakukan pemerintah saat ini, menunjukkan bagaimana pemerintah mengail keuntungan dari apa yang dilakukan bangsa ini, tanpa memberikan satu arena yang lebih luas bagi berkembangnya industri kreatif. Sebab jika di antara rujukan ekonomi kreatif adalah intelektualisme, budaya, dan segala bentuk kreativitas seperti yang ditunjukkan dalam definisi PBB atau definisi Pemerintah sendiri, maka desa sejatinya bisa diarahkan kepada pembangunan industri kreatif. Hanya saja, pemerintah harus melakukan pendekatan berbeda antara industri kreatif kota dengan industri kreatif desa. Jika EK dan IK di kota cukup difasilitasi eksistensi dan promosinya, EK atau IK di desa harus dilakukan model afirmative, di mana tidak hanya bimbingan, namun juga arah, fungsi, bahkan strategi dan akses kepada sumber kapital.
ADVERTISEMENT
Banyak hal sederhana yang bisa dikembangkan bagi masyarakat desa sebagai bentuk ekonomi kreatif. Contoh penumbuhan sikap profesionalitas dalam mengelola lingkungan sehingga menjadi desa wisata, industri packaging, industri tanaman organik, dan sebagainya.
Meski pendekatannya afirmatif, saya yakin, masyarakat desa juga bisa dengan cepat melejit menjadi wirausahawan yang tangguh dan produktif. Sebagai contoh, pengalaman saya ketika meneliti kontribusi industrialialisasi di pedesaan (Hermansah: Industrialisasi Pedesaan, UIN: 2007), menunjukkan fakta lain bahwa ternyata, gerak nadi ekonomi kreatif yang menggerakkan ekonomi desa terjadi, hanya karena proses transfer pengetahuan dari salah seorang mantan pekerja yang kemudian mengembangkan sendiri di desanya. Artinya, warga desa juga bisa dipacu untuk berkembang melampaui batas kebiasaannya. Hanya masalahnya, maukah pemerintah mengafirmasi mereka? [ ]
Catatan:
Tulisan ini sudah ditulis cukup lama. Jadi ada beberapa data yang kurang up to date. Tetapi pikiran-pikiran utama masih cukup relevan untuk didiskusikan.
ADVERTISEMENT