Menuju Pesantren sebagai Pusat Pengembangan Eko-Religi

Tantan Hermansah
Ketua Program Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
Konten dari Pengguna
26 Juli 2020 5:24 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tantan Hermansah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pesantren Foto: Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pesantren Foto: Getty Images
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kurang lebih sudah tiga dasawarsa lalu, setelah konferensi lingkungan dan pembangunan di Rio de Janeiro, keadaan lingkungan kian memburuk. Penyebab utamanya adalah model produksi kapitalis yang sudah tidak terkontrol lagi. Model produksi ini tak hentinya mengubah sumber daya alam menjadi komoditas dan terus menerus menciptakan permintaan (demand) baru.
ADVERTISEMENT
Kapitalisme secara konstan mengikis eksistensi manusia di alam dan di masyarakat. Bahkan merambah pada ranah kesadaran setiap manusia yang menjadikan manusia sebagai mahluk konsumen.
Di antara berbagai hukum kapitalisme, yang paling merusak lingkungan adalah statement yang menyatakan bahwa kebutuhan pasokan (supply) akan meciptakan permintaan (demand) nya sendiri. Artinya, kapitalisme mendudukan manusia (subyek) di atas segala-galanya terhadap alam (objek). Dengan demikian, kapitalisme merupakan sebuah mesin pencipta bagi permintaan (demand) yang mentransformasikan alam hidup menjadi komoditas mati, mengubah kekayaan alam menjadi modal mati.
Kapitalisme kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia seiring dengan konsep modernisme yang menyebarkan faham universalisme dan globalisasi.
Secara tidak sengaja, perkembangan kapitalisme lebih pesat di tempat kelahirannya di Eropa dan Amerika Utara. Di sana, kapitalisme menyebar seperti subyek yang hendak memangsa segala sistem yang membutuhkan pasokan-pasokan SDA, sementara ketersediaan SDA tersebut melimpah di belahan dunia Selatan dan Asia Barat, sehingga kapitalisme berperan sangat agresif mencari SDA atas nama pembangunan yang dengan kata lain, kapitalisme tersebut hadir dalam wajah yang agak terbelakang, miskin, dan membentuk kesadaran-kesadaran konsumtif.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, ketika dikaitkan dengan persoalan lingkungan, kapitalisme memberikan andil yang cukup besar dalam meningkatkan kerusakan lingkungan. Salah satu contoh yang paling kentara adalah kian bertambahnya tingkat emisi gas efek rumah hijau per-kapita.
Negara-negara industri melihat bahwa produksi teknologi yang dihasilkan akan mencapai “keseimbangan” (equilibrium) jika negara-negara miskin dan berkembang menjadi konsumen teknologi yang mereka ciptakan. Fenomena ini, secara tidak sengaja mengakibatkan negara-negara maju menerapkan konsep pembangunannya (development) ke negara-negara miskin dan berkembang dengan standar-standar pembangunan yang ada di negaranya.
Keadaan ini, karena ketidak-tahuan negara-negara miskin dan berkembang atau mungkin karena kebutuhan dana bagi pembangunan, akhirnya mengamini konsep-konsep tersebut sehingga memunculkan ketergantungan-ketergantungan teknologi dan pengetahuan kepada negara-negara maju.
ADVERTISEMENT
Pada titik inilah kapitalisme mulai menjalar melalui kebijakan pasar (bursa, saham dll), IMF dan Bank Dunia yang terus menciptakan kekuatan hegemoni ekonomi internasional. Keadaan ini, tentu saja berdampak kepada kerusakan lingkungan di negara-negara miskin dan berkembang.
Dampak global dari kapitalisme sebenarnya mungkin lebih jauh dari yang terungkap di angka-angka statistik, karena dalam rangka menanggapi maraknya gerakan lingkungan, negara-negara Utara (red: Eropa dan Amerika) telah menggeser beban kesetimbangan lingkungan global ke pundak negara-negara Selatan.
Kasus yang menggambarkan paradigma ini misalnya adalah bagaimana Jepang menggapai standar kualitas lingkungan hidup mereka dengan cara memacu konsumsi sumber daya alam dan produksi limbah di wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara. Konsumsi Jepang menyerap 70 persen dari kayu yang ditebang (kebanyakan secara ilegal) di Filipina dari tahun 1950-an sampai 1990-an.
ADVERTISEMENT
Konsumsi komoditas di Jepang berasal dari produksi yang diletakkan di negara jauh, pada jarak aman dari Jepang. Mulai tahun 1960-an, Proses produksi massal yang padat polusi dan padat-karya (buruh) ditransfer secara masif ke kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara.
Akhir-akhir ini modal Eropa dan Amerika bergabung dengan modal Jepang dalam mengubah Cina yang murah buruh dan murah polusi menjadi pusat produksi dan pusat buang sampah global. Apa yang terjadi pada Cina dan Asia sekarang ini adalah hanya salah satu bagian dari tahap akhir dari globalisasi kapitalisme, yaitu suatu proses memindahkan biaya lingkungan kapitalisme global dari pusat ekonomi global ke wilayah jajahan ekonomi global.
Oleh sebab itu dibutuhkan sebuah pemikiran kritis tentang ekologis yang saat ini masih dimanfaatkan oleh orang-orang kapitalisme dan industrialis sebagai “lipstik” perusahaan, negara maju, dan pemilik modal dalam turut menjalankan CSR (Corporate Social Responsibility), Community Development, Sustainable Development, dll. Kerangka ini tidak benar-benar sebuah aksi dan pemikiran terhadap lingkungan.
ADVERTISEMENT
Eko-Religi
Tidak sedikit ahli-ahli eksakta kemudian beralih ke pemikiran ekologis, sebutlah salah satu Fritcop Capra. Ia adalah ahli fisika yang kemudian menganut pemikiran ekologis. Ia sendiri digolongkan oleh I Bambang Sugiharto sebagai tokoh Post-Tradisionalis, salah satu varian Post-Modernisme dimana arah kemajuan modernisasi tidak melulu exponent growth malah menunjukan sebuah degradasi. Karena itulah Capra mengkiritik modern (dan istilah-istilah lainnya) lewat pisau analisa ekologi.
Bagaimana dengan Islam?
Pertanyaan ini terasa sulit jika dihadapkan dalam persoalan agama dan lingkungan. Timbul pertanyaan lagi kenapa hal itu bisa terjadi?
Terus terang, secara praktis konsep-konsep al-qur’an melalui ayat-ayat qauliyah sangat banyak menyinggung persoalan lingkungan. Sebagai elan vital, al-qur’an sudah menjelaskan kenapa muncul kerusakan-kerusakan lingkungan. Jika ditelaah lebih detail, semua kerusakan itu disebabkan oleh manusia. Oleh sebab itu, starting point dari pembahasan lingkungan dan segala istilah yang terkait dengan lingkungan, hendaknya posisi manusia selalu menjadi ukuran penting karena dirinya dianggap subyek dan alam objek.
ADVERTISEMENT
C. Sagan seorang ahli ekologi Eropa menyatakan bahwa lingkungan tersebut adalah hanya sebuah isu karena solusi apapun yang diberikan akan terus menambah kerusakan lingkungan. Pertambahan kerusakan ini tidak dapat dilampaui oleh daya dukung alam, walaupun berbagai pihak sudah melakukan berbagai upaya dalam memperbaiki lingkungan. Namun hasilnya tidak mengalami perubahan, bahkan yang terjadi malah meningkatnya kerusakan lingkungan.
Dalam kosntalasi pemikiran Islam, ilmu lingkungan mungkin dapat memberikan penyegaran dan progresifitas yang bergerak naik, sebab ilmu lingkungan ini sangat erat kaitannya dengan pemikiran dasar tentang ‘kepedulian’ terhadap lingkungan. Memang banyak lulusan universitas yang backgroundnya agama menjadi aktifis lingkungan, namun mereka melakukan itu sebatas isu-isu politik semata, dan sangat sedikit kerangka epistemologi mengenai ekologi dan agama..
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, pisau analisa Ilmu lingkungan ini nantinya akan menampakkan sebuah fenomena ketidak berdayaan Umat Islam dalam menerjemahkan ayat-ayat qauliyah (yang tersurat dalam al-qur'an) dan kauniyah (yang tidak tersurat dalam al-qur'an). Di pesantren sendiri masih jarang mendengar bagaimana bentuk kerusakan lingkungan itu sendiri. Oleh sebab itu dibutuhkan sebuah pemikiran yang dapat memberikan pengertian dan pengetahuan mengenai lingkungan.
Bisa dikatakan, pemahaman ilmu lingkungan secara apik, sistemik, dan efesian masih blank. Banyaknya aktifis lingkungan di Indonesia masih melakukan pilihan-pilihan politik ketimbang upaya ‘menyadarkan’ dari sebuah ketidak tahuan (blank spot). Namun terus terang semua hal itu modal dasar yang sangat berguna, tinggal bagaimana memanaje dalam sebuah ‘pembelajaran’ yang sistemik dan religius.
Pesantren dan Kesadaran Lingkungan
ADVERTISEMENT
Istilah Pesantren sebenarnya sudah sejak jaman kerajaan hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Pesantren kemudian dikenal dengan istilah Lembaga Pondok Pesantren. Lembaga ini merupakan institusi yang menyelenggarakan pendidikan agama (Islam).
Memang, jauh sebelum datangnya Hindia Belanda, pesantren lebih dahulu diperkenalkan ketimbang sistem pendidikan sekolah oleh pemerintah (Hindia Belanda) saat itu. Namun pergulatan pesantren terus bertahan hingga jaman sekarang. Keberadaannya sangat dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat di Indonesia.
Pesantren, diakui atau tidak, telah memberikan alternatif pendidikan bagi umat Islam Indonesia terutama yang menginginkan pendalaman materi keagamaan. Dalam perkembangan selanjutnya, lembaga pesantren tidak terbatas memberikan pelayanan pendidikan kepada anak-anak sekitar lembaga tersebut berada. Tetapi santri yang datang dari luar daerah pun banyak yang berdatangan untuk menimba ilmu pengetahuan agama di pesantren.
ADVERTISEMENT
Para santri yang menimba ilmu di pesantren, mereka menetap dan tinggal di asarama-asrama yang disediakan oleh Kyai. Semakin meningkatnya jumlah santri terutama yang tinggal menetap di asrama selama menuntut ilmu, secara tidak langsung sering menimbulkan beberapa permasalahan baru.
Permasalahan yang sering dihadapi pesantren adalah penyediaan kebutuhan para santri selama menuntut ilmu di pesantren, antara lain, tempat tinggal (pondok), penyediaan kebutuhan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari (minum, makan, mandi, cuci), kakus, dan pembuangan limbah baik padat maupun cair.
Memang, ada juga pesantren yang memperhatikan persoalan-persoalan tersebut, namun tidak begitu maksimal. Permasalahan tersebut terkadang memberi pengaruh terhadap kehidupan pesantren secara keseluruhan.
Sudah bukan rahsia umum lagi, jika meminjam istilah Ulil Abshar Abdalla, pesantren lebih banyak memikirkan dan melaksanakan “kesehatan jiwa” ketimbang ”kesehatan badan”.
ADVERTISEMENT
Biasanya di pesantren muncul kecendrungan jenis penyakit yang sering diderita santri, misalnya penyakit kutu air (kudis) dll.
Penyakit ini dari sisi medis (kesehatan) disebabkan penggunaan air yang tidak sehat. Namun uniknya, pernyataan ini “dibantah” suci dari sisi fiqih (Watik, 1986). Keadaan ini bukan semata-mata norma fiqh, melainkan munculnya keterbatasan penyediaan air dan tempat air yang memenuhi persyaratan kesehatan. Fenomena ini belum lagi ditambah persoalan pembuangan limbah (cair atau padat).
Keterbatasan sarana dan prasarana menyebabkan pesantren tidak dapat mengelola secara baik, sehingga menjadi sarang bagi berkembangnya bekteri dan bibit penyakit. Hal ini dapat diambil contoh air limbah yang tergenang akan menjadi sarang bagi nyamuk penyebar malaria.
Memulai Segera
Sebenarnya pesantren bisa memulai dari hal-hal yang ada dan melekat pada kehidupan mereka. Contohnya: sampah. Sudah bisa dipastikan bahwa pesantren akan memproduksi sampah organik dan non-organik. Jika saja sampah-sampah tersebut bisa diubah menjadi sesuatu yang lain, misalnya menjadi kompos cair untuk yang organik, dan didaur ulang untuk yang non-organik, maka kontribusi pesantren sebagai eko-religi memiliki pijakan yang kuat.
ADVERTISEMENT
Coba saja kita hitung, jika satu lembaga pesantren menghasilkan sampah sebanyak 1 ton perminggu, maka berapa banyak jika dikalikan dengan jumlah pesantren se-Indonesia?
Di sinilah pentingnya segera dimulai gerakan ini bagi yang belum. Kemudian untuk yang sudah mulai perlu pendampingan teknologi tepat guna agar apa yang sedang mereka rintis itu bisa berkelanjutan manfaatnya bagi manusia dan lingkungan sekitarnya. [ ]
Oleh: Tantan Hermansah (Ketua Jurusan Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Jakarta; Dosen Pengembangan Masyarakat Islam)