Konten dari Pengguna

Grand Strategi Energi Nasional, Arah Baru Kebijakan Energi Pemerintah?

Mhd Kevin Hasnal Siregar
Mahasiswa Teknik Kimia Universitas Islam Indonesia
5 September 2021 21:55 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mhd Kevin Hasnal Siregar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto oleh Los Muertos Crew dari Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Foto oleh Los Muertos Crew dari Pexels
ADVERTISEMENT
Isu pemanasan global sudah menjadi perhatian utama penduduk dunia dalam beberapa dekade terakhir. Penggunaan energi fosil seperti minyak bumi dan batubara yang menghasilkan gas rumah kaca dalam jumlah besar ditengarai sebagai sumber terbesar pemanasan global yang mendorong terjadinya kenaikan temperatur di berbagai belahan dunia.
ADVERTISEMENT
Gerakan penyelamatan pun dilakukan masyarakat dunia, tak terkecuali Indonesia. Greenpeace yang merupakan organisasi non-pemerintah yang bergerak dalam aktivis lingkungan dalam kanal web-nya melakukan gerakan kampanye agar pemerintah Indonesia dapat segera melakukan transisi menuju energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan.
Kekhawatiran ini bermula pada masifnya kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang digerakkan oleh batubara yang dianggap sebagai katalis utama dalam perubahan iklim. Gerakan ini menuntut jajaran pemerintah Indonesia termasuk Presiden RI serta kementerian terkait dan DPR untuk dapat segera memberikan berbagai solusi konkret dan strategis untuk segera meninggalkan energi fosil.
Menjawab hal tersebut, Presiden RI sebagai pimpinan tertinggi negeri ini dan jajarannya telah melakukan beberapa gerakan menekan laju perubahan iklim. Bahkan sebelum Paris Agreement disuarakan para pemimpin dunia, Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2014 ditetapkan sebagai payung hukum Kebijakan Energi Nasional (KEN).
ADVERTISEMENT
Melalui KEN, pemerintah berusaha menekan penggunaan bahan bakar fosil dan mendorong pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT), sumber energi yang dikenal menghasilkan emisi dalam jumlah sedikit. Selanjutnya, target lain ditetapkan, pengembangan EBT mencapai 23% dari bauran energi nasional pada tahun 2025 dan naik menjadi 31% pada tahun 2050. Pemerintah juga menyusun Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sebagai acuan dalam terwujudnya KEN.
Kendati demikian, studi dari Institute for Essential Services Reform (IESR) baru-baru ini menyarankan jika perlu adanya peninjauan kembali terhadap RUEN yang telah ditetapkan. Hal ini karena RUEN yang ditetapkan pada 2017 sudah tidak sesuai dengan kondisi Indonesia terkini karena dalam penyusunan RUEN tersebut menggunakan data-data 2015 dan proyeksi di tahun 2016-2050. Proyeksi data yang tersusun saat dikonfirmasi dengan data-data beberapa tahun terakhir menunjukkan proyeksi yang berlebihan pada segi pertumbuhan ekonomi, industri dan demografi yang mengindikasikan jika proyeksi RUEN yang selama ini disusun sudah tidak efektif. Untuk dapat menyukseskan terkait Paris Aggreement 2015, tinjauan-tinjauan kembali serta berbagai saran dari berbagai akademisi perlu diperhatikan.
ADVERTISEMENT
Angin segar perubahan muncul pada awal 2021. Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional sebelumnya menyampaikan akan adanya perubahan arah kebijakan energi nasional, yang dipertegas dengan pernyataan Satya Widya Yudha sebagai anggota DEN menyampaikan jika saat ini pemerintah sedang menyusun kebijakan Grand Strategi Energi Nasional (GSEN). Dokumen ini nantinya akan berisikan berbagai strategi terkait dalam transisi energi Indonesia. Meskipun masih dalam tahap perencanaan, salah satu dari 14 program strategi yang akan dijalankan sangat mendukung Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan EBT dengan target realisasi sebesar 38 GW pada tahun 2035.
Besarnya potensi energi-energi baru terbarukan di Indonesia sudah menjadi rahasia umum, apalagi dengan masifnya kampanye yang dilakukan oleh berbagai bagian pemerintah, seperti yang dilakukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Dengan total potensi 417,8 GW yang terbagi atas 6 jenis energi terbarukan seperti surya dengan potensi 207.8 GW, hidro dengan potensi 75 GW, bayu dengan potensi 60.6 GW, bioenergi dengan potensi 32.6 GW, panas bumi dengan potensi 23.9 GW, dan samudera dengan potensi 17.9 GW, Indonesia dapat optimis untuk dapat mengurangi penggunaan energi fosil. Akan tetapi, besarnya potensi EBT ini jika dikaitkan kembali dengan RUEN yang belum direvisi maka akan hanya menjadi harta karun yang dapat terbengkalai selamanya.
ADVERTISEMENT
Sebagai negara yang dilalui garis khatulistiwa, energi surya yang merupakan EBT dengan potensi paling tinggi dapat menjadi perhatian khusus dalam upaya mencapai berbagai agenda pemerintah sebagai short plan untuk mempercepat target 25% EBT 2025. Salah satu peluang ini didorong dalam GSEN. Meskipun jalan ini dinilai cukup meyakinkan, jalan singkat ini masih terkendala dalam aktualisasinya.
Dalam PLTS Atap, masyarakat yang menggunakan solar panel pada rumahnya akan memiliki peran sebagai prosumer yaitu produsen dan konsumen. Dapat dikatakan sebagai konsumen apabila masyarakat langsung menikmati energi surya yang dihasilkan sedangkan dikatakan sebagai produsen apabila masyarakat menjual kelebihan listrik solar PV yang dihasilkan menuju Pembangkit Listrik Negara (PLN) dengan catatan sistem solar PV terpasang berjenis on grid.
ADVERTISEMENT
Jika ditelisik lebih dalam, fenomena kampanye prosumer yang mempengaruhi pola tujuan masyarakat memasang solar PV dirumahnya yaitu untuk dapat menghasilkan uang tentunya akan menghasilkan bias proyeksi keberhasilan PLTS Atap. Dengan pola perilaku sebagai produsen, masyarakat sebagai penghasil listrik menginginkan harga jual yang lebih tinggi demi keuntungan, dengan harapan PLN akan membayar dengan nilai tinggi untuk listrik yang diterima mereka.
Saat ini, tarif jual pada PLN dengan perbandingan 1:0.65 dinilai merugikan berimbas pada waktu periode balik investasi masyarakat yang lama. PLN tidak dapat memasang tarif jual 1:1 beralasan nilai jual 65% karena 2/3 dari tarif listrik yang dijual PLN merupakan biaya dari distribusi dan pembangkitan yang disamakan dengan PLTS Atap terpasang sedangkan 1/3 lainnya merupakan biaya yang dikenakan atas penyimpanan tenaga listrik PLTS Atap di grid PLN yang tidak dapat disamakan dengan sistem PLT Atap.
ADVERTISEMENT
Pemerintah perlu menimbang kembali kebijakan yang dikeluarkan agar terjadinya keseimbangan antara meningkatkan keinginan masyarakat untuk menggunakan PLTS Atap serta mempertimbangkan juga agar kebijakan tersebut tidak merugikan PLN sebagai pemain mayoritas dalam pengadaan listrik negara. Mungkin dapat dilakukan dengan menyediakan kompensasi atas potensi kerugian PLN akibat banyaknya masyarakat yang beralih ke PLTS atap melalui berbagai mekanisme yang dapat dilakukan, karena pada intinya tujuannya, kebijakan energi pemerintah ditetapkan demi memberikan akses energi yang terjangkau dan berkelanjutan untuk seluruh masyarakat Indonesia.