Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Dinamika Hukum Internasional dalam Perlindungan Sumber Daya Alam Global
30 Oktober 2024 8:17 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Kevin Hizkia Nathanael tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Prinsip Kedaulatan Negara atas Sumber Daya Alam menegaskan bahwa negara memiliki hak penuh untuk mengeksploitasi sumber daya yang ada di wilayahnya. Akan tetapi, hak ini tidak dapat digunakan secara sewenang-wenang, mengingat dampak aktivitas eksploitasi terhadap lingkungan global. Misalnya, negara-negara yang memiliki cadangan sumber daya alam melimpah, seperti Indonesia, sering kali dihadapkan pada dilema antara memanfaatkan sumber daya untuk pembangunan ekonomi dan menjaga kelestarian lingkungan. Menurut Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional di Universitas Indonesia, "Prinsip kedaulatan harus diimbangi dengan tanggung jawab bersama untuk menjaga keberlanjutan lingkungan, terutama dalam menghadapi tantangan lintas batas seperti perubahan iklim dan polusi laut" (Juwana, 2020). Pernyataan ini mencerminkan pentingnya menjaga keseimbangan antara hak untuk mengeksploitasi sumber daya dan kewajiban untuk meminimalisir dampak negatif terhadap lingkungan global.
ADVERTISEMENT
Dalam praktiknya, hukum internasional berupaya mengatur penggunaan sumber daya alam melalui berbagai perjanjian dan konvensi. Salah satu instrumen hukum internasional yang krusial dalam mengatur hak-hak dan kewajiban negara terkait sumber daya alam adalah Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS). Perjanjian ini memberikan kerangka hukum yang mengatur penggunaan sumber daya laut, termasuk hak negara-negara pesisir atas sumber daya di zona ekonomi eksklusif (ZEE) mereka. Bagi negara kepulauan seperti Indonesia, yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, UNCLOS sangat relevan dalam menentukan hak eksploitasi sumber daya laut sekaligus kewajiban untuk menjaga keberlanjutan ekosistem laut. Namun, meskipun UNCLOS telah memberikan pedoman yang jelas, praktik penangkapan ikan berlebihan dan polusi laut tetap menjadi masalah yang sulit diatasi. Hal ini menunjukkan bahwa ada celah antara aturan hukum dan implementasinya di lapangan, terutama di negara-negara berkembang yang memiliki keterbatasan sumber daya untuk menegakkan regulasi lingkungan.
ADVERTISEMENT
Selain UNCLOS, Konvensi Keanekaragaman Hayati (United Nations Convention on Biological Diversity/CBD) juga merupakan instrumen penting yang bertujuan untuk melestarikan biodiversitas dunia. CBD menekankan perlindungan spesies yang terancam punah dan ekosistem yang rentan, serta mempromosikan penggunaan berkelanjutan sumber daya alam. Keanekaragaman hayati sangat penting tidak hanya bagi ekosistem, tetapi juga bagi ekonomi dan budaya masyarakat lokal, terutama di negara-negara seperti Indonesia yang memiliki keanekaragaman hayati laut dan darat yang sangat kaya. Hasjim Djalal, seorang ahli hukum laut dari Indonesia, menegaskan bahwa "Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga keanekaragaman hayati laut dan daratnya" (Djalal, 2019). Namun, tantangan utama dalam melindungi keanekaragaman hayati adalah tingginya tingkat deforestasi dan perubahan habitat yang disebabkan oleh kegiatan ekonomi, seperti pertanian dan perkebunan, yang sering kali berbenturan dengan upaya konservasi.
ADVERTISEMENT
Sejalan dengan itu, krisis iklim juga berdampak signifikan pada kondisi sumber daya alam global. Perubahan iklim memperburuk masalah kelangkaan sumber daya, karena kenaikan suhu global menyebabkan perubahan pola curah hujan, kekeringan, serta peningkatan intensitas bencana alam seperti badai dan banjir. Hal ini sangat mengancam ketahanan ekosistem dan kesejahteraan masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam. Jalaludin, seorang ahli lingkungan dari Universitas Indonesia, menyoroti bahwa "Perubahan iklim berdampak pada hampir semua aspek kehidupan, dari sumber daya air hingga keanekaragaman hayati, dan membutuhkan kerja sama internasional yang kuat untuk menanganinya" (Jalaludin, 2022). Dalam menghadapi krisis ini, instrumen hukum internasional seperti Protokol Kyoto dan Perjanjian Paris telah disusun untuk mendorong negara-negara mengurangi emisi gas rumah kaca guna meminimalisir dampak perubahan iklim. Namun, implementasi perjanjian ini sering kali terhambat oleh perbedaan kepentingan antara negara maju dan berkembang. Negara-negara berkembang, seperti Indonesia, sering kali dihadapkan pada kesulitan dalam menyeimbangkan pembangunan ekonomi dengan komitmen untuk mengurangi emisi karbon.
ADVERTISEMENT
Isu ketidakadilan dalam penerapan hukum lingkungan internasional juga menjadi perhatian. Negara-negara berkembang sering kali tidak memiliki sumber daya finansial dan teknologi yang memadai untuk menerapkan kebijakan lingkungan yang sesuai dengan standar internasional. Budi Santoso, peneliti dari Universitas Indonesia, mengungkapkan bahwa "Negara-negara maju sering kali memiliki keunggulan dalam hal teknologi dan sumber daya untuk melaksanakan komitmen lingkungan mereka, sementara negara-negara berkembang menghadapi tantangan besar dalam hal pendanaan dan infrastruktur" (Santoso, 2021). Akibatnya, negara-negara berkembang merasa tertekan untuk memenuhi standar internasional yang sering kali tidak realistis dalam konteks sumber daya mereka yang terbatas. Hal ini menciptakan ketidakadilan dalam implementasi hukum internasional, di mana negara-negara berkembang sering kali harus mengorbankan tujuan pembangunan ekonominya untuk mematuhi standar lingkungan global.
ADVERTISEMENT
Keanekaragaman hayati, salah satu komponen paling penting dari sumber daya alam global, menghadapi ancaman serius akibat eksploitasi berlebihan, perubahan habitat, dan perubahan iklim. Dian Kusumawardhani, seorang akademisi dari Universitas Indonesia, menekankan bahwa "Keanekaragaman hayati harus dilihat sebagai aset global yang tidak hanya mendukung kelangsungan ekosistem, tetapi juga memiliki nilai ekonomi dan budaya yang penting bagi masyarakat lokal" (Kusumawardhani, 2023). Namun, kebijakan konservasi sering kali berbenturan dengan kepentingan ekonomi, terutama di sektor-sektor seperti pertanian dan perkebunan yang merupakan tulang punggung ekonomi banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Meski demikian, ada kebutuhan mendesak untuk melindungi keanekaragaman hayati guna memastikan keberlanjutan ekosistem dan kesejahteraan manusia dalam jangka panjang.
Lautan dan sumber daya air tawar, yang sering kali dianggap remeh dalam diskusi global tentang perlindungan lingkungan, juga merupakan sumber daya yang sangat penting bagi kehidupan di Bumi. Lautan, misalnya, tidak hanya menyediakan sumber daya ikan yang menjadi makanan bagi miliaran orang, tetapi juga berperan sebagai penyerap karbon terbesar di dunia, yang membantu menstabilkan iklim global. Arif Haryono, pakar hukum laut dari Universitas Indonesia, menggarisbawahi bahwa "Pengelolaan sumber daya laut dan air tawar memerlukan pendekatan lintas batas yang mengedepankan kerja sama internasional dan perlindungan jangka panjang" (Haryono, 2023). Di Indonesia, penangkapan ikan berlebihan dan pencemaran laut menjadi masalah yang semakin sulit diatasi, meskipun ada peraturan internasional seperti UNCLOS yang seharusnya mengatur eksploitasi sumber daya laut secara berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Hak asasi manusia (HAM) memiliki keterkaitan yang erat dengan pengelolaan sumber daya alam (SDA), khususnya dalam akses terhadap air bersih, lahan, dan hutan. Menurut laporan United Nations Human Rights Office, hak atas lingkungan yang bersih dan sehat merupakan bagian dari HAM yang wajib dijamin oleh negara. Di Indonesia, hak masyarakat adat atas SDA diakui dalam berbagai regulasi, termasuk Konstitusi Indonesia, yang menjamin hak mereka dalam mengelola SDA di wilayah adatnya. Selain itu, Kementerian Luar Negeri Indonesia juga menegaskan bahwa perlindungan hak masyarakat adat merupakan bagian dari tanggung jawab internasional Indonesia dalam menjaga warisan budaya dan lingkungan hidup.
Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Dina Sundari dari Universitas Indonesia mengungkapkan bahwa pengabaian hak masyarakat adat dalam pengelolaan SDA sering berujung pada pelanggaran HAM, yang dapat memicu kemiskinan, marginalisasi, dan konflik sosial. Contoh nyata terjadi di Papua dan Kalimantan, di mana masyarakat adat kerap mengalami penggusuran paksa akibat proyek infrastruktur atau perkebunan besar. Hal ini menunjukkan bahwa hak-hak mereka sering kali dikorbankan demi kepentingan ekonomi. Dalam konteks internasional, Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) menekankan pentingnya prinsip persetujuan yang didahulukan (Free, Prior, and Informed Consent) sebelum ada aktivitas yang berdampak pada wilayah adat. Namun, meski ada instrumen hukum internasional seperti Konvensi ILO No. 169, implementasinya di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, khususnya dalam mengakui hak masyarakat adat secara penuh di tengah eksploitasi SDA yang masif.
ADVERTISEMENT
Kesimpulannya, hukum internasional memiliki peran yang sangat krusial dalam perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam global. Meski sudah ada berbagai konvensi dan perjanjian internasional yang dirancang untuk melindungi sumber daya alam, tantangan dalam implementasi dan kepatuhan masih menjadi kendala utama. Negara-negara berkembang, khususnya, menghadapi kesulitan besar dalam menyeimbangkan kebutuhan pembangunan ekonomi dengan kewajiban mereka untuk melindungi lingkungan. Keberhasilan hukum internasional dalam melindungi sumber daya alam global akan sangat bergantung pada komitmen kolektif negara-negara anggota serta upaya nyata untuk mengatasi ketidakadilan dan kesenjangan dalam penerapan kebijakan lingkungan.
Untuk mengatasi masalah eksploitasi sumber daya alam dan pelanggaran hak asasi manusia yang terkait, diperlukan pendekatan yang lebih holistik dalam penerapan hukum internasional. Negara-negara, termasuk Indonesia, harus memperkuat komitmen terhadap instrumen internasional seperti UNCLOS dan Konvensi Keanekaragaman Hayati. Selain itu, penting untuk memastikan bahwa masyarakat adat terlibat dalam proses pengambilan keputusan terkait pengelolaan sumber daya alam di wilayah mereka, sesuai dengan prinsip persetujuan yang didahulukan (Free Prior Informed Consent/FPIC). Upaya bersama dari komunitas internasional, pemerintah, dan sektor swasta juga dibutuhkan untuk mendukung implementasi regulasi yang lebih efektif dan berkelanjutan demi melindungi sumber daya alam global.
ADVERTISEMENT