Konten dari Pengguna

Perempuan, Perubahan Iklim, dan Ketidaksetaraan Global

Kevin Sinaga
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Sriwijaya
30 November 2024 19:24 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kevin Sinaga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
perempuan dan perubahan iklim. foto: shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
perempuan dan perubahan iklim. foto: shutterstock
ADVERTISEMENT
Bagaimana perubahan iklim memengaruhi perempuan secara tidak proporsional, dan mengapa suara mereka kurang terwakili dalam pengambilan kebijakan lingkungan global? Pertanyaan ini berada di pusat perdebatan kontemporer tentang keadilan iklim dan kesetaraan gender. Ketika perubahan iklim memperburuk kesenjangan sosial-ekonomi, dampaknya tidak netral terhadap gender. Perempuan, terutama di negara berkembang, sering kali menjadi pihak yang paling terdampak oleh degradasi lingkungan sambil tetap dikecualikan dari proses pengambilan keputusan utama. Artikel ini mengeksplorasi persinggungan antara gender dan perubahan iklim dengan menggunakan perspektif feminist environmentalism dan neoliberal institutionalism. Artikel ini berargumen bahwa meskipun kedua perspektif ini menawarkan wawasan penting, pendekatan yang lebih interseksional dan inklusif diperlukan untuk mencapai solusi iklim yang adil.
ADVERTISEMENT
Feminist Environmentalism: Mengungkap Kerentanan Berbasis Gender
Feminist environmentalism menekankan persinggungan antara gender, lingkungan, dan struktur sosial-ekonomi. Perspektif ini berpendapat bahwa perubahan iklim memengaruhi perempuan secara tidak proporsional karena ketidaksetaraan yang sudah ada sebelumnya dalam akses terhadap sumber daya, kekuatan ekonomi, dan representasi politik. Di banyak wilayah, perempuan menjadi pengasuh utama dan penyedia makanan, air, serta energi bagi keluarga mereka. Ketika bencana iklim seperti kekeringan dan banjir mengganggu sumber daya ini, beban yang mereka tanggung semakin berat.
Sebagai contoh, data dari United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) menunjukkan bahwa 70% dari populasi miskin di dunia adalah perempuan, yang membuat mereka lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim. Perempuan di daerah pedesaan di Afrika sub-Sahara, misalnya, menghabiskan berjam-jam untuk mengambil air karena sumber air semakin berkurang akibat kekeringan yang berkepanjangan. Tantangan ini tidak hanya membatasi peluang ekonomi mereka tetapi juga meningkatkan risiko kekerasan berbasis gender selama proses pengambilan sumber daya.
ADVERTISEMENT
Namun, feminist environmentalism juga menyoroti peran perempuan sebagai agen perubahan. Dalam konteks perubahan iklim, banyak perempuan yang berada di garis depan inisiatif keberlanjutan lokal, seperti proyek reboisasi komunitas atau usaha energi terbarukan skala kecil. Meski demikian, upaya ini sering kali kurang dihargai dalam negosiasi iklim global yang didominasi oleh aktor negara dan korporasi.
Neoliberal Institutionalism: Tata Kelola Global dan Kesenjangan Gender
Sebaliknya, neoliberal institutionalism berfokus pada peran lembaga internasional dan pasar dalam menghadapi perubahan iklim. Pendukung pendekatan ini berargumen bahwa mekanisme tata kelola global seperti Perjanjian Paris dapat menciptakan kerangka kerja untuk aksi iklim yang terkoordinasi. Namun, mekanisme ini sering kali gagal mengintegrasikan kebijakan yang peka gender.
Analisis oleh Gender Climate Tracker menemukan bahwa perempuan hanya mewakili kurang dari 30% negosiator dalam pembicaraan iklim utama, sehingga membatasi pengaruh mereka dalam membentuk kebijakan yang secara langsung memengaruhi mereka. Selain itu, solusi berbasis pasar seperti perdagangan karbon atau investasi energi terbarukan cenderung memprioritaskan keuntungan daripada kesetaraan. Misalnya, proyek energi terbarukan skala besar telah menggusur perempuan adat dari tanah mereka tanpa kompensasi atau konsultasi yang memadai, yang semakin memperburuk ketimpangan gender dan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Meskipun neoliberal institutionalism menawarkan jalur pragmatis untuk memobilisasi sumber daya dan menciptakan kerangka kebijakan, pendekatan ini sering kali mengabaikan ketidaksetaraan struktural yang membatasi partisipasi perempuan. Tanpa mengatasi hambatan-hambatan ini, pendekatan seperti itu berisiko memperkuat ketimpangan yang justru ingin diselesaikan.
Kritik terhadap Pendekatan Teoretis
Baik feminist environmentalism maupun neoliberal institutionalism memiliki kekuatan dan keterbatasan. Feminist environmentalism memberikan lensa yang penting untuk memahami dimensi gender dalam perubahan iklim, tetapi terkadang terlalu berfokus pada korbanisasi perempuan dan mengabaikan keragaman pengalaman mereka, seperti perbedaan berdasarkan kelas, ras, atau lokasi geografis. Dalam konteks perubahan iklim, perempuan dari kelompok minoritas, seperti perempuan adat, menghadapi diskriminasi ganda yang sering kali terlewatkan dalam kerangka ini.
Di sisi lain, neoliberal institutionalism menekankan peran struktur tata kelola dan insentif pasar. Namun, pendekatan ini yang berorientasi pada pasar cenderung mengkomodifikasi solusi lingkungan, yang dapat meminggirkan mereka yang tidak mampu berpartisipasi dalam sistem semacam itu. Kritik ini terlihat dalam proyek seperti skema perdagangan karbon skala besar, yang secara tidak proporsional memengaruhi komunitas adat—banyak di antaranya adalah perempuan—dengan membatasi akses mereka ke lahan tradisional.
ADVERTISEMENT
Analisis Berbasis Data: Bukti Dampak Berbasis Gender
Dampak berbasis gender dari perubahan iklim telah didokumentasikan dengan baik. Menurut UN Women, perempuan dan anak-anak 14 kali lebih mungkin meninggal dalam bencana yang disebabkan oleh iklim dibandingkan laki-laki. Selama tsunami Samudra Hindia pada tahun 2004, perempuan menyumbang lebih dari 70% korban jiwa akibat norma budaya yang membatasi mobilitas mereka dan keterampilan bertahan hidup seperti berenang. Demikian pula, di Bangladesh, kenaikan permukaan laut telah memaksa jutaan orang bermigrasi, dengan perempuan menghadapi risiko tinggi perdagangan manusia dan eksploitasi di kamp pengungsian.
Namun, perempuan bukan hanya korban pasif. Di India, kelompok swadaya yang dipimpin perempuan telah berhasil menerapkan praktik pertanian berkelanjutan, seperti pertanian organik dan konservasi air. Inisiatif akar rumput ini menunjukkan potensi untuk mengintegrasikan pengetahuan perempuan ke dalam strategi iklim yang lebih luas.
ADVERTISEMENT
Rekomendasi untuk Aksi Iklim yang Inklusif
Untuk menangani dimensi gender dari perubahan iklim dan mempromosikan solusi yang adil, beberapa langkah strategis diperlukan:
Kerangka kerja internasional seperti Perjanjian Paris harus mewajibkan pendekatan peka gender dalam rencana iklim nasional. Pemerintah harus memastikan bahwa perempuan, terutama dari komunitas terpinggirkan, memiliki suara dalam desain dan implementasi kebijakan.
Donor dan lembaga keuangan harus memprioritaskan pendanaan untuk inisiatif keberlanjutan yang dipimpin perempuan. Program yang memberdayakan perempuan secara ekonomi, seperti pembiayaan mikro untuk bisnis energi terbarukan, dapat mendorong kesetaraan gender dan ketahanan lingkungan.
Pembuat kebijakan memerlukan data komprehensif yang memisahkan dampak iklim berdasarkan gender, ras, dan status sosial-ekonomi. Data ini dapat menginformasikan intervensi yang ditargetkan untuk mengatasi kerentanan spesifik dari berbagai kelompok.
ADVERTISEMENT
Program pendidikan iklim harus fokus pada pengembangan kapasitas perempuan dalam kepemimpinan, teknologi, dan advokasi. Perempuan yang diberdayakan lebih mungkin untuk mengadvokasi kebijakan iklim yang inklusif dan memobilisasi komunitas.
Organisasi masyarakat sipil harus memantau dan melaporkan dampak berbasis gender dari proyek lingkungan skala besar. Mekanisme penyelesaian keluhan harus diperkuat untuk melindungi hak perempuan dalam konteks perpindahan dan eksploitasi terkait iklim.
kesimpulan
Perubahan iklim bukanlah fenomena yang netral terhadap gender; dampak dan solusinya sangat terkait dengan ketidaksetaraan global. Dengan membandingkan feminist environmentalism dan neoliberal institutionalism, analisis ini menyoroti pentingnya mengintegrasikan perspektif gender ke dalam tata kelola iklim. Sementara feminist environmentalism menyoroti kerentanan dan peran perempuan, neoliberal institutionalism menekankan peran institusi dan pasar dalam membentuk respons global. Namun, kedua pendekatan ini tidak cukup jika berdiri sendiri. Strategi komprehensif yang menggabungkan analisis interseksional dengan kebijakan yang dapat diterapkan sangat penting untuk menangani dimensi gender dari perubahan iklim secara efektif.
ADVERTISEMENT
Memberdayakan perempuan sebagai agen perubahan bukan hanya kewajiban moral—tetapi juga kebutuhan strategis untuk mencapai solusi iklim yang berkelanjutan dan adil. Ketika dunia menghadapi krisis iklim yang semakin parah, mengakui dan menangani dampak berbasis gender dari degradasi lingkungan akan menjadi langkah penting menuju masa depan yang lebih adil dan tangguh.