Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Politik Luar Negeri Indonesia : Prinsip Bebas Aktif dan Proses Keanggotaan BRICS
27 November 2024 13:53 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Kezya Mamengko tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Politik luar negeri suatu negara hadir ketika negara tersebut dinyatakan sebagai negara yang berdaulat. Negara yang berdaulat memiliki kewenangan membuat suatu kebijakan guna mengatur hubungannya dalam dunia internasional. Sejak awal kemerdekaan, landasan kebijakan politik luar negeri Indonesia adalah Pancasila. Diikuti dengan deklarasi prinsip bahwa politik luar negeri Indonesia bersifat Bebas Aktif. Ini Pasal 1 angka 2 UU No. 37 Tahun 1999, yang menyebutkan bahwa politik luar negeri adalah kebijakan, sikap, dan langkah Pemerintah Indonesia dalam melakukan hubungan dengan negara lain serta organisasi internasional untuk mencapai tujuan nasional. Tujuan politik luar negeri bebas aktif adalah untuk mengabdi kepada tujuan nasional bangsa Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat yang menyatakan: “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial….”
ADVERTISEMENT
Lalu, apa itu BRICS?
BRICS—singkatan dari lima negara berkembang yang berpengaruh yakni Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan sendiri merupakan sebuah organisasi internasional yang berfokus pada kerjasama ekonomi dan politik. Pada hakikatnya BRICS bertujuan memperkuat suara negara-negara berkembang di hadapan dominasi-dominasi negara maju alias Barat. Mengutip dari artikel kompas.com, pakar hubungan internasional dari Universitas Katolik Parahyangan, Idil Syawfi memberi pendapat bahwa BRICS hadir untuk mereformasi sistem yang ada, yakni dengan adanya gerakan “de-dolarisasi” yang bertujuan menghadirkan sistem keuangan global yang dipercaya lebih inklusif serta mengurangi dominasi dollar AS yang selama ini menjadi mata uang utama dalam perdagangan internasional dan investasi dunia. Prinsip yang ditawarkan BRICS yang berusaha mengurangi dominasi Barat, terutama dalam hal ekonomi dan keuangan internasional. Rusia mengajak negara-negara BRICS untuk tidak lagi menggunakan dolar AS dalam transaksi mereka dan membentuk bank sendiri sebagai alternatif bagi lembaga keuangan Barat.
ADVERTISEMENT
BRICS dan Prinsip Bebas Aktif Indonesia
Melihat ke dalam konteks Indonesia saat ini, setelah pelantikan kabinet baru pada (10/21) lalu, salah satu langkah politik Indonesia yang paling disoroti adalah kebijakan politik luar negeri di pemerintahan baru. Banyak tokoh pemerintah dan bahkan masyarakat awam yang menanti kebijakan luar negeri seperti apa yang akan dijalankan dibawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Diikuti dengan hadirnya Menlu RI, Sugiono pada KTT BRICS Plus di Kazan, Rusia sebagai langkah Indonesia dalam proses keanggotaan BRICS. Langkah ini akhirnya memunculkan banyak pertanyaan terkait latar belakang dibalik langkah ini? Sebab pada era Jokowi, ketika Indonesia diundang untuk mengikuti KTT BRICS di Afrika Selatan, undangan tersebut ditangguhkan atas alasan ingin mengkalkulasi untung-rugi dari status keanggotaan organisasi tersebut (Rosyidin, 2024). Mengingat BRICS merupakan kubu yang dikatakan anti-barat dalam hal ini, maka banyak pakar hubungan internasional maupun masyarakat mempertanyakan proses Indonesia dalam keanggotaan BRICS ini. Tentunya ini menimbulkan pertanyaan karena prinsip Bebas Aktif dalam politik luar negeri kita. Partisipasi Indonesia dalam KTT BRICS Plus ini dianggap menunjukkan keberpihakan dan tidak lagi berjalan menurut prinsip Bebas Aktif yang selama ini dianut Indonesia sebagai pedoman berjalannya politik luar negeri.
ADVERTISEMENT
Menanggapi hal ini, Menlu Sugiono melalui liputan kompas memberi pernyataan, “Bergabungnya Indonesia ke BRICS merupakan pengejawantahan politik luar negeri bebas aktif,” ujarnya melalui pernyataan resmi yang diakses lewat akun instagram Kementerian Luar Negeri RI. Dalam postingan tersebut, Kemlu RI juga memberi pernyataan bahwa langkah ini selaras dengan program kerja Kabinet Merah Putih serta untuk memajukan kepentingan negara berkembang.
Sejalan dengan pernyataan tersebut, dalam liputan CNN Indonesia Juru Bicara Kemlu RI Roy Soemirat memberi pernyataan bahwa keinginan bergabung dengan BRICS justru merupakan perwujudan Indonesia menerapkan politik bebas aktif yang selama ini dianut.
Namun pada kenyataannya langkah ini mengundang kontradiksi dalam masyarakat. Dalam unggahan resmi akun instagram @kemlu_ri dan beberapa platform berita yang memuat kabar tentang proses keanggotaan BRICS, dapat dilihat respon masyarakat dan beberapa tokoh. Pada laman komentar postingan kemlu_ri, banyak masyarakat mempertanyakan langkah ini. Pasalnya ini dianggap melanggar prinsip bebas aktif yang selama ini dianut, karena BRICS merupakan kumpulan negara-negara yang anti terhadap blok Barat serta kebijakannya.
ADVERTISEMENT
Dengan prinsip bebas aktif yang selama ini dianut, Indonesia dinilai harusnya sangat berhati-hati dengan sentimen ini mengingat posisi Indonesia yang selalu berupaya menjaga keseimbangan hubungan dengan pihak Barat maupun Timur. Sehingga langkah ini dinilai melenceng dari prinsip bebas aktif itu sendiri. Namun disisi lain, ada juga yang memberi pendapat selaras dengan pernyataan Menteri Luar Negeri, bahwa ini merupakan langkah yang tepat bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Proses keanggotaan ini dinilai dapat memberi dampak positif karena Indonesia akan sangat diuntungkan dengan potensi pasar yang luas.
Langkah ini juga secara politik membantu memperkuat daya tawar Indonesia dalam diplomasi internasional mengingat BRICS memiliki anggota negara-negara besar seperti Rusia dan Cina. Kaitannya dengan prinsip bebas aktif adalah keterlibatan ini menyatakan bahwa Indonesia memang turut berperan aktif dalam perdamaian dunia dengan menjalin banyak kerjasama dan keanggotaan dalam organisasi internasional.
ADVERTISEMENT
Dilihat juga dari langkah politik Presiden Prabowo, proses keanggotaan Indonesia ke BRICS ini memang selaras dengan program kerja di era pemerintahan Prabowo ini. Mengingat Presiden Prabowo yang sudah melakukan kunjungan politik ke negara-negara yang termasuk anggota BRICS seperti Cina serta pertemuan dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin guna menjalin kerja sama antarnegara. Maka proses keanggotaan ini sejalan dengan apa yang ingin dibangun Presiden Prabowo di masa pemerintahannya.
Kesimpulan
Bergabungnya Indonesia dalam rangkaian proses keanggotaan dengan BRICS memang mengundang banyak pro dan kontra apalagi jika mengingat prinsip bebas aktif yang dianut negara kita. Dimana prinsip ini berarti Indonesia akan menjaga keseimbangan hubungan dengan blok Timur dan Barat serta ketiadaan keberpihakan. Pasalnya mengingat BRICS merupakan kelompok yang dicap anti Barat karena ingin membuat kebijakan yang melemahkan hegemoni barat di dunia internasional terkhususnya dalam sistem perekonomian dunia menimbulkan pertanyaan terhadap prinsip bebas aktif Indonesia. Namun Menlu RI menegaskan bahwa proses keanggotaan ini justru merupakan perwujudan prinsip bebas aktif Indonesia. Dimana ini berarti Indonesia turut aktif berperan dalam perdamaian dunia dengan menjalin banyak kerjasama serta keanggotaannya dalam organisasi internasional. Terlepas dari banyaknya kontradiksi langkah keanggotaan ini dengan prinsip bebas aktif, kemitraan yang saat ini dijalin Indonesia dengan BRICS membawa begitu banyak dampak positif bagi Indonesia untuk perkembangan negara yang lebih optimal.
ADVERTISEMENT