Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Bung Hatta, PTPN VIII, dan Kasus Lahan Markaz Syariah Habib Rizieq Shihab
27 Desember 2020 6:57 WIB
Tulisan dari KH Anwar Abbas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bung Hatta ketika menyampaikan keterangan pemerintah tentang politiknya kepada badan pekerja KNIP tanggal 2 september 1948 mengatakan bahwa, "milik tanah dalam republik Indonesia berarti menerima suatu kewajiban terhadap produksi dengan pedoman: menghasilkan sebanyak-banyaknya untuk memperbesar kemakmuran rakyat."
ADVERTISEMENT
Tanah milik yang telantar tidak dikerjakan berarti suatu keteledoran terhadap masyarakat dan hak miliknya itu harus diambil oleh negara. Di dalam kasus tanah atau lahan markaz syariah (MS) yang dikelola oleh Habib Rizieq tanah dan lahan tsb katanya memang berasal dari HGU PTPN VIII, tetapi pihak PTPN karena tidak mampu memproduktifkannya telah melepaskan lahan itu kepada masyarakat dan oleh masyarakat sudah dipergunakan untuk kepentingan pertanian.
Oleh Habib Rizieq tanah tersebut dibeli dari petani untuk mendirikan lembaga pendidikan pesantren. Tujuan dari pendirian pesantren tersebut oleh Habib Rizieq tentunya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Secara konstitusional tugas mencerdaskan kehidupan bangsa itu adalah terletak di pundak negara dan pemerintah.
Oleh karena itu kehadiran Habib Rizieq dan atau yayasan yang dipimpinnya di atas tanah tersebut telah melaksanakan dua hal yang diamanati oleh negara, yaitu: pertama HRS telah memproduktifkan lahan tersebut jadi berarti HRS sudah ikut membantu menegakkan ketentuan negara/pemerintah, kedua HRS telah membantu tugas negara atau pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Yang menjadi masalah sekarang PTPN yang ditugasi oleh pemerintah untuk mengurus tanah tersebut akan mengambil kembali tanah tersebut.
ADVERTISEMENT
Saya rasa boleh dan sah saja PTPN melakukan hal demikian. Cuma yang menjadi masalah HRS sudah menghabiskan dana yang besar untuk itu yang dia himpun dari masyarakat dan dari diri dan keluarganya sendiri. Untuk itu tentu etisnya PTPN memberikan ganti rugi kepada yayasan HRS tersebut dengan ganti rugi yang pantas.
Cuma yang menjadi pertanyaan bagi saya kalau tanah itu akan diambil kembali oleh PTPN, oleh PTPN lahan itu akan dipergunakan untuk apa? Bukankah dengan telah dibangunnya sekolah dan lembaga pendidikan di atasnya berarti HRS sudah melaksanakan tugas membantu negara dan pemerintah?
Oleh karena itu jika PTPN tidak dan atau belum akan memanfaatkannya dalam waktu dekat untuk sesuatu yang memang sangat-sangat penting dan urgen bagi bangsa ini maka menurut saya untuk apa gunanya PTPN mengambilnya kembali karena apa yang dilakukan oleh HRS di atas tanah tersebut bukankah sebenarnya sudah sangat-sangat membantu tugas negara atau pemerintah.
ADVERTISEMENT
Untuk itu dalam hal yang seperti ini ada kata-kata Bung Hatta yang sangat penting untuk kita perhatikan. Beliau mengatakan bila ada elemen masyarakat yang telah bekerja membantu tugas pemerintah maka wajiblah hukumnya bagi pemerintah untuk membantu mereka.
Jadi bila kasus ini dikaitkan dengan konstitusi dan pernyataan Bung Hatta tersebut maka tindakan pemerintah yang benar dan yang paling tepat menurut saya bukan mengambil kembali lahan tersebut tetapi membantu lembaga pendidikan atau pesantren yang ada di atas tanah tersebut agar bisa berjalan dengan lebih baik lagi sehingga tugas pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa bisa terbantu dan ini tentu sangat-sangat besar arti dan maknanya bagi kehidupan bangsa ini ke depannya karena seperti dikatakan Bung Hatta, "pendidikan itu merupakan bagian sentral dari pembangunan karena di sinilah sebenarnya terletak dan ditentukannya maju atau tidak majunya nasib sebuah bangsa." Tks.
ADVERTISEMENT
Anwar abbas
Pengamat sosial ekonomi dan keagamaan.
Ciputat, 27 Desember 2020.
Live Update