Konten dari Pengguna

Dulu Rakyat Berjuang Berdarah-darah, Kini Siapa yang Menikmatinya?

KH Anwar Abbas
Wakil Ketua Umum MUI, Ketua PP Muhammadiyah
9 November 2024 17:36 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari KH Anwar Abbas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tugu Pahlawan, salah satu monumen nasional di Surabaya Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Tugu Pahlawan, salah satu monumen nasional di Surabaya Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
10 November 1945 merupakan hari bersejarah bagi bangsa dan negara kita. Di hari itu, putra-putri bangsa, terutama arek-arek Suroboyo, dengan gagah berani maju melawan tentara sekutu untuk menjaga dan mempertahankan kemerdekaan yang belum lama diproklamasikan.
ADVERTISEMENT
Kita benar-benar kagum melihat aksi heroik mereka yang mampu mengadang tentara sekutu yang terdiri dari tentara Inggris dan Belanda—yang dikenal juga dengan tentara NICA—yang mulai masuk ke Surabaya pada 25 Oktober 1945. Mereka masuk untuk mengamankan tawanan perang serta melucuti senjata tentara Jepang.
Dua hari setelah kedatangan tentara NICA, Jenderal Mallaby mulai menyerbu penjara dan membebaskan tawanan perang yang ditahan Indonesia. Dia meminta agar pihak Indonesia juga menyerahkan senjata yang telah dikuasai. Tentu saja perintah itu ditolak mentah-mentah hingga terjadi bentrokan yang berujung dengan tewasnya Mallaby pada 30 Oktober 1945.
Ia lalu digantikan oleh Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh—yang kemudian, pada 10 November 1945 mengeluarkan ultimatum agar Indonesia menyerahkan senjata dan menghentikan perlawanan terhadap tentara Inggris.
ADVERTISEMENT
Tentu saja ultimatum itu dihiraukan oleh arek-arek Suroboyo. Dengan meneriakkan "Allahu Akbar!" mereka maju mengadang musuh. Kota Surabaya pun menjadi lautan darah. Sekitar 20 ribu warga Surabaya dan 1.600 tentara Inggris tewas, hilang, atau terluka.
Petugas Satpol PP menabur bunga saat ziarah di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kusuma Bangsa, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (9/11/2022). Foto: Didik Suhartono/Antara Foto
Mengingat besarnya pengorbanan rakyat Surabaya pada waktu itu, Presiden Sukarno pun membuat Surat Keputusan Presiden No 316 Tahun 1959 tentang Hari-hari Nasional dan menetapkan 10 November 1945 sebagai Hari Pahlawan. Di hari itu, setiap tahunnya, kita akan mengingat bahwa kemerdekaan yang kita dapatkan bukan hadiah dari penjajah, tetapi hasil perjuangan berat yang telah menelan korban jiwa dan harta-benda.
Kemerdekaan ini kita dapatkan dari perlawanan rakyat Indonesia yang tak mau tanahnya direbut dan dikuasai sejengkal pun oleh penjajah.
ADVERTISEMENT
Tapi di situlah ironinya. Dulu kita bisa mengusir penjajah yang hendak menguasai tanah kita. Tapi hari ini, banyak pemilik kapital yang bisa dengan mudahnya mendapatkan dan menguasai tanah-tanah rakyat dengan berkolusi dengan penguasa.
Rakyat yang terdampak terpaksa angkat kaki dari tanah milik mereka yang dibeli oleh pemilik kapital dengan harga sangat murah yang tidak sepantasnya.
Kadang-kadang kita heran dan bertanya-tanya dalam hati, dulu siapa yang membebaskan dan memerdekakan negeri ini, dan siapa yang akhirnya lebih banyak menikmati kemerdekaan itu sekarang? Tentu masing-masing dari kita bisa menjawabnya. Tapi pertanyaannya, adilkah itu?
Silakan saja dijawab dengan menggunakan hati nurani kita masing-masing.