Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Sumitro Djojohadikusumo dan Ciputra: Stabilitas Sosial, Ekonomi, hingga Politik
3 Juli 2024 8:23 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari KH Anwar Abbas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sumitro Djojohadikusumo pernah membuat rencana dalam bidang ekonomi yang disebut dengan sistem ekonomi gerakan benteng. Sistem tersebut dilaksanakan pada masa pemerintahan kabinet Natsir, yang bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi peninggalan Belanda menuju ekonomi nasional.
ADVERTISEMENT
Menurut Sumitro, hal ini perlu dilakukan karena peta penguasaan ekonomi yang ada tampak berat sebelah dan cenderung mengedepankan kepentingan pengusaha asing, serta tidak menguntungkan bagi pengusaha pribumi atau penduduk asli.
Untuk itu, sebagai solusi dalam gerakan benteng tersebut Sumitro mengedepankan dua kebijakan utama yaitu: pertama, mengistimewakan importir pribumi yang diberi kewenangan melakukan impor khusus dengan mendapatkan jatah devisa dengan kurs murah.
Kedua, memberikan kredit modal kepada pengusaha pribumi/penduduk asli, sebab mereka selama ini sangat sulit untuk memperoleh pinjaman dari lembaga keuangan terutama dari dunia perbankan. Namun, program yang dilaksanakan oleh Sumitro ini bisa dikatakan gagal--karena para pengusaha yang didukung oleh pemerintah tidak memiliki mentalitas sebagai pengusaha yang tangguh.
Mereka tidak mampu bersaing dengan para pengusaha dari etnis Tionghoa sehingga banyak dari mereka yang menjual lisensi impor yang telah diperoleh kepada para pengusaha non-bumiputra yang memang sudah berpengalaman dalam dunia bisnis.
ADVERTISEMENT
Tetapi meskipun demikian gagasan Sumitro ini bila dikaitkan dengan peta perekonomian nasional saat ini, tentu masih sangat relevan untuk dilanjutkan agar negeri ini bisa berjalan dengan baik tanpa ada kecemburuan sosial ekonomi di antara sesama warga bangsa.
Sebab, penguasaan perekonomian nasional saat ini sangat didominasi oleh WNI dari etnis tertentu yaitu dari China/Tionghoa. Dalam menghadapi hal ini, tentu tidak bisa menyalahkan etnis Tionghoa saja --karena pihak pribumi/penduduk asli juga punya kelemahan di mana mereka tidak memiliki mentalitas sebagai entrepreneur yang andal.
Hal ini tidak hanya menjadi kerisauan dari kita yang berasal dari penduduk asli, tapi juga telah menjadi perhatian besar dari para pengusaha nonpenduduk asli seperti Ir. Ciputra seorang konglomerat dalam bidang properti dari kalangan keturunan Tionghoa.
ADVERTISEMENT
Dalam salah satu wawancara, Ciputra pernah menyampaikan keprihatinannya di mana dari 45 sampai 50 perusahaan publik dalam bidang properti di negeri ini yang dimiliki oleh penduduk asli hanya satu. Menurut Ciputra, hal ini tentu tidak bisa dibiarkan karena kalau keterusan tentu akan menimbulkan hal-hal yang tidak baik dan tidak sehat bagi kehidupan sosial ekonomi dan politik di Indonesia.
Untuk mengubah keadaan ke arah yang diinginkan, tentu saja itu tidak mudah karena penduduk asli tidak punya orang tua, masyarakat/lingkungan, dan guru yang mendukung bagi terciptanya entrepreneur-entrepreneur yang diinginkan.
Oleh karena itu, menurut Ciputra jalan keluarnya adalah pemerintah harus bisa mengalokasikan sebagian besar anggaran pendidikan yang dimilikinya untuk mencetak para entrepreneur melalui jalur pendidikan.
ADVERTISEMENT
Sehingga keseimbangan jumlah entrepreneur dalam perekonomian nasional bisa tercipta dan stabilitas sosial ekonomi, serta politik nasional ke depan dapat terwujud sesuai dengan yang diharapkan.