Semangat Islam dari Masjid WNI di Korea Selatan

KH M. Cholil Nafis
Dosen Tetap Program Doktor FEB UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pengasuh Pondok Pesantren Cendekia Amanah Depok
Konten dari Pengguna
22 November 2018 10:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari KH M. Cholil Nafis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
WNI di Korea Selatan sedang mengikuti tabligh di masjid Al-Barokah, Gimhae (Foto: Dok. Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
WNI di Korea Selatan sedang mengikuti tabligh di masjid Al-Barokah, Gimhae (Foto: Dok. Istimewa)
ADVERTISEMENT
Menurut cerita masyarakat muslim Indonesia yang berada di Korea Selatan, hampir 90 persen masjid warga negara Indonesia (WNI) di Korea Selatan dibangun atas donasi antara jemaah yasinan dan shalawatan. Awalnya sekadar memenuhi hasrat ingin temu kangen yang kemudian merasa perlu ada pusat interaksi positif dan peribadatan.
ADVERTISEMENT
Menurut penuturan staf KBRI di Korsel, sudah ada 60 masjid yang diinisiasi dan dikelola oleh WNI di seluruh kota di Korea Selatan (Korsel). Lima di antaranya sudah permanen dan terpisah dari bangunan lain. Sedangkan 54 masjid lainnya masih berupa flat atau aula yang disewa pada salah satu lantai di apartemen-apartemen di Korsel. Umumnya, masjid-masjid tersebut dikelola oleh WNI. Sedangkan umat Muslim dari negara lain umumnya hanya sekadar mengikuti kajian jemaah dan salat
Masjid-masjid yang permanen sudah berwenang menunjuk imam tetap dari dalam atau luar Korsel dan pengurusan visanya akan diterbitkan dengan sponsor dari Korea Muslim Federation (KMF).
Tidak hanya sebagai tempat ibadah, masjid juga menjadi pusat informasi bagi warga Korsel yang ingin belajar Islam. Masjid-masjid di sana juga menyediakan bahan-bahan bacaan dan audio yang diberikan gratis buat mereka yang ingin mempelajari Islam.
ADVERTISEMENT
Terdapat sekitar 39 ribu warga negara Indonesia (WNI) di Korsel dan 80 persen dari jumlah tersebut adalah Muslim. Mereka umumnya bekerja di bidang manufaktur dan tinggal di mes yang disediakan pabrik. Mereka tidak menyewa rumah sendiri dan sedikit sekali yang menyewa rumah dengan cara patungan.
WNI di Korsel umumnya tidak membawa keluarga, karena mereka hanya mendapat visa tunggal bagi pekerja. Sehingga, keberadaan masjid menjadi 'angin surga' bagi mereka, karena di masjid itulah mereka bisa bertemu sesama WNI dan bisa beribadah dengan nyaman.
KH Cholil Nafis berfoto di depan Masjid Al-Barokah di Gimhae, Korea Selatan (Foto: Dok. Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
KH Cholil Nafis berfoto di depan Masjid Al-Barokah di Gimhae, Korea Selatan (Foto: Dok. Istimewa)
Seperti masjid Al-Barokah di Gimhae yang sempat saya kunjungi dan mengadakan tablig bersama WNI di Korsel bagian bawah dan tengah. Masjid ini awalnya berupa pertokoan yang kemudian dibeli atas urunan sesama WNI sebagai pusat kegiatan dan peribadatan.
ADVERTISEMENT
Masjid yang luasnya sekitar 35 x 16 meter ini cukup besar. Yang terdiri dari bangunan dalam masjid untuk salat. Emperannya sering digunakan untuk kegiatan atau sekadar kumpul-kumpul di akhir pekan.
Sesuatu yang sangat membanggakan, bahwa masjid dan kegiatannya merupakan kebutuhan personal dan sosial bagi WNI di Korsel. Dengan tradisi yasinan, shalawatan, dan pengajian dapat membentengi mereka dari arus pergaulan bebas dan mengatasi kesepian sebagai diaspora. Mereka lebih terarah dan tak melupakan tujuan awal untuk mengais rezeki di negeri Gingseng.
Kebebasan hidup dan perbedaan budaya di Korsel acapkali membuat para WNI yang bekerja lupa tujuan semula dan cenderung hedonis, bahkan tak jarang terjadi tawuran dan pembunuhan. Karenanya mereka menanggulanginya dengan membentuk paguyuban kedaerahan dan aktivitas keagamaan di masjid.
ADVERTISEMENT