Konten dari Pengguna

Perundungan di Sekolah: Krisis Identitas dan Dinamika Pendidikan Karakter

Khalil Ahmad
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret
20 Desember 2023 20:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khalil Ahmad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi (Sumber: Road Ahead/Unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi (Sumber: Road Ahead/Unsplash)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kisah tragis Fatir Arya Adinata, seorang anak berusia 12 tahun yang diduga menjadi korban tindak bullying di sekolah, harus menghembuskan napas terakhirnya pada hari Kamis pukul 02.25 WIB di Rumah Sakit Hermina (07/12/2023). Perundungan tersebut membuat kaki kirinya harus diamputasi. Sungguh mengkhawatirkan, kejadian ini terus memperpanjang catatan kelam pendidikan Indonesia. Fenomena bullying pada teman sebaya di sekolah telah menjelma menjadi siklus tak berujung dalam gelanggang pendidikan.
ADVERTISEMENT
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim, menuturkan bahwasanya 24,4 persen siswa mengalami perundungan berdasarkan laporan Asesmen Nasional (AN) tahun 2021 dan 2022. Tindakan kekerasan baik verbal maupun non-verbal rasanya semakin memprihatinkan dalam situasi pendidikan tanah air saat ini.
Meskipun program pendidikan karakter telah dicanangkan sejak tahun 80-an, masyarakat masih terjerat dalam persepsi keliru bahwa bullying adalah bagian dari kenakalan biasa. Normalisasi perilaku semacam ini hanya memperkuat keyakinan pelaku bahwa tindakan mereka adalah hal yang wajar, tidak melanggar etika atau norma sosial.
Program Pengentasan
Di tengah permasalahan ini, Indonesia sebetulnya telah berusaha mengatasi perundungan melalui program pendidikan karakter. Nurhisyam (2017) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai usaha membentuk nilai-nilai dan karakter anak-anak agar mampu mengimplementasikannya dalam kehidupan pribadi, serta berperan sebagai warga negara yang religius, nasionalis, produktif, dan kreatif. Namun, pertanyaannya, mengapa perundungan masih merajalela di dunia pendidikan?
ADVERTISEMENT
Fenomena dekadensi moral yang melanda belakangan ini turut menyebabkan penyebaran nilai-nilai dehumanisasi di dunia pendidikan. Kasus-kasus demoralisasi, termasuk perundungan, semakin menegaskan bahwa Indonesia memiliki pekerjaan rumah besar dalam bidang pendidikan dan memerlukan solusi efektif.
Ki Hadjar Dewantara, dengan tegasnya, menyebut pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran, dan tubuh anak. Oleh karena itu, pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik untuk mengenali nilai-nilai secara konkret di sekitar mereka.
Namun, seiring perkembangan teknologi dan komunikasi yang begitu cepat, menyebabkan derasnya arus informasi serta berimplikasi terhadap ketidakmampuan individu dalam menampungnya. Demokratisasi informasi ini memang bersifat positif, tetapi menimbulkan tantangan tersendiri bagi perkembangan pendidikan karakter di Indonesia.
Seperti yang diungkap Profesor dari Cortland University, Thomas Lickona, adanya new colonization in culture (penjajahan baru di bidang kebudayaan), berakibat terhadap fenomena demoralisasi, terutama di kalangan generasi muda. Kondisi tersebut mengisyaratkan banyak dari mereka mengalami fenomena krisis identitas. Lantas, apa relevansinya?
ADVERTISEMENT
Krisis Identitas: Masalah Kontemporer
Ilustrasi (Dok. Pribadi)
Menurut Erikson, krisis identitas adalah fase krusial dalam perjalanan perkembangan individu, di mana mereka harus memutuskan mengenai pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan siapa mereka sebenarnya. Istilah "krisis identitas" bukan sekadar merujuk pada tendensi negatif, melainkan menggambarkan periode penting dalam pembentukan kematangan individu, terutama di masa remaja, saat di mana mereka mencapai atau menemukan identitas diri (sense of identity).
Erikson meyakini remaja yang tidak dapat mengatasi krisis identitas atau masih bingung tentang identitas mereka berisiko menghadapi masalah perilaku seperti depresi, perilaku kenakalan, dan bertindak agresif. Semua perilaku ini dianggap sebagai masalah psikososial, muncul karena hambatan dalam perkembangan aspek-aspek sosial. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya mendukung remaja dalam menavigasi perjalanan identitas mereka.
ADVERTISEMENT
Menembus Dinamika Pendidikan Karakter
Presiden Joko Widodo dengan tegas memprioritaskan pendidikan karakter sebagai salah satu pilar utama dalam membentuk potensi peserta didik agar mampu membina karakter yang beretika dan bermoral. Kelima nilai karakter utama yang bersumber dari Pancasila, yakni nasionalisme, integritas, religiusitas, gotong royong, dan kemandirian, menjadi landasan kuat untuk menanggapi dinamika masyarakat dan kehidupan global.
Dalam menjalankan konsep pendidikan karakter, peran guru menjadi kunci utama keberhasilan. Petuah Ki Hajar Dewantara yang menyatakan, "Ing ngarso sung tulodho, Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani," menjadi panduan bagi guru ideal yang memiliki kedekatan yang erat dengan siswa-siswinya. Seorang guru bukan hanya memahami perkembangan intelektual, tetapi juga aspek kepribadian setiap siswa.
Perjalanan hidup generasi muda dipenuhi dengan beragam tantangan di masa depan. Oleh karena itu, tanggung jawab orang tua dan pendidik adalah mengajarkan anak-anak agar memiliki ketangguhan dan kesiapan menghadapi kompleksitas dunia luar. Mereka perlu didorong untuk mengembangkan kecerdasan emosional dan sosial, serta membangun nilai-nilai positif untuk membentuk karakter yang tangguh.
ADVERTISEMENT
Kolaborasi adalah Kunci
Orang tua dan anak (Sumber: Juliane Liebermann/Unsplash)
Gaya pengasuhan yang berfokus pada kesadaran, atau yang lebih dikenal sebagai mindful parenting, menjadi kunci dalam membentuk karakter yang kuat. Mindful parenting bukan hanya sebatas pola komunikasi antara orang tua dan anak, melainkan suatu bentuk pengasuhan yang dilakukan dengan penuh kesadaran. Orang tua diharapkan mampu menerapkan pola pengasuhan positif, termasuk mendengarkan dengan perhatian penuh, tanpa menghakimi, bersikap sabar, berlaku adil dan bijaksana, serta menunjukkan kasih sayang tulus (Duncan et al., 2009)
Kepribadian yang tangguh menjadi kunci keberhasilan dalam menghadapi tekanan dan tantangan kehidupan. Memiliki kemampuan untuk bangkit dari situasi sulit adalah langkah awal, tetapi lebih jauh dari itu, individu yang tangguh dapat menggunakan pengalaman tersebut untuk mengembangkan keterampilan diri. Mereka tidak hanya bertahan dalam situasi sulit, tetapi juga tumbuh menjadi individu yang lebih kuat dan bijaksana.
ADVERTISEMENT
Dalam menghadapi dinamika perkembangan zaman, pendidikan karakter harus berkembang seiringnya. Langkah-langkah konkret perlu diambil untuk memastikan bahwa program pendidikan karakter tidak hanya menjadi retorika, tetapi benar-benar meresap dalam setiap aspek pendidikan. Keterlibatan aktif guru, orang tua, dan masyarakat dalam merancang dan melaksanakan program pendidikan karakter menjadi langkah krusial.
Tantangan tidak hanya terletak pada penyampaian nilai-nilai karakter, tetapi juga pada cara mengintegrasikannya ke dalam kurikulum dan kehidupan sehari-hari peserta didik. Diperlukan upaya bersama untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang mendukung pembentukan karakter positif, menghadirkan model peran yang inspiratif, dan memfasilitasi pengembangan keterampilan sosial dan emosional.
Dalam menghadapi kompleksitas tantangan global, pendidikan karakter tidak hanya menjadi tanggung jawab sekolah dan keluarga, melainkan tugas bersama seluruh komponen masyarakat. Kolaborasi antara institusi pendidikan, pemerintah, masyarakat akan membentuk sinergi yang kuat untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, hanya melalui kolaborasi dan dedikasi bersama, Indonesia dapat mencetak generasi penerus yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berakhlak mulia dan siap menghadapi tantangan kompleks di masa depan.