Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Konten dari Pengguna
Kemiripan Pola Komunikasi ‘Someah’ Sunda dan ‘Aimai’ Jepang
24 Oktober 2023 12:53 WIB
Tulisan dari Khaansa Khairunnisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Ilustrasi orang saling berkomunikasi (Sumber: https://www.freepik.com/free-vector/japanese-talking-eating-table_9925811.htm Image by pikisuperstar on Freepik)](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01hdey9qky02d5gke3jx484p1f.jpg)
ADVERTISEMENT
Dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, manusia tidak terlepas dari komunikasi antara satu dengan yang lainnya. Setiap kelompok atau komunitas masyarakat memiliki pola komunikasinya yang bervariasi. Pola komunikasi ini mengacu pada cara individu atau kelompok dalam berinteraksi, bertukar informasi, dan menyampaikan ide atau gagasan melalui sarana verbal maupun non verbal. Komunikasi yang baik dan efektif perlu didukung dengan sikap ramah sehingga menciptakan interaksi sosial yang positif.
ADVERTISEMENT
Keramahan merupakan bentuk dari bersikap baik dan bersahabat kepada orang lain. Dalam praktiknya, keramahan melibatkan keterbukaan, kehangatan, kepercayaan, rasa hormat, serta saling pengertian antar individu. Keramahan sangat diutamakan ketika sedang bertemu orang lain baik yang dikenal maupun tidak. Hal ini dikarenakan bersikap ramah dapat membantu meningkatan keharmonisan dan menciptakan suasana yang nyaman. Setiap negara memiliki pemahaman konsep keramahan yang berbeda-beda sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang dipegang oleh budaya tersebut. Dalam artikel ini, penulis mencoba memfokuskan pada konsep pola komunikasi ramah di Indonesia khususnya pada suku Sunda dan Jepang.
Sejak jaman dahulu, Indonesia dan Jepang telah dianggap memiliki beberapa kesamaan. Seperti yang diungkapkan oleh Takeda Rintaro dalam karyanya “Jawa Sarasa” terdapat wacana kesamaan identitas antara Jepang dan Indonesia. Pada masa itu Takeda Rintaro mengubah pemahaman orang Jepang terkait orang Indonesia yang dikenal ‘bar-bar’ dengan membawa misi propaganda perdamaian “Asia yang sama”. Pada awalnya, bagian yang dianggap sebagai “Asia yang sama” bukanlah karena budaya lokalnya, melainkan demi menjaga sumber daya alamnya. Namun, seiring dengan pengalaman Takeda selama berada di Indonesia, pikiran Takeda mulai tergugah dengan sedikit kesamaan yang dimiliki Indonesia dengan Jepang dalam hal budaya dan penampilan. Takeda juga mulai menyamakan karakter orang Indonesia dengan orang Jepang. Takeda menganggap orang Indonesia memiliki sifat samurai Jepang yang tenang dan sopan seperti dalam kutipannya, “Mata koto ni, reigi tadashiku heiseina karera wa, Nihon no bushi no yau ni shinobi gataki mo ko to mochitsu to shinonde, kaoiro mo ka henai toki mo aru” (Memang, mereka tenang dan sopan seperti samurai Jepang, menahan hal yang tidak tertahankan, bahkan terkadang mereka tidak merubah ekspresi wajahnya). (Dwisusilo, 2014)
ADVERTISEMENT
Hingga saat ini, Indonesia masih dikenal sebagai negara yang ramah. Budaya 5S atau ‘senyum, salam, sapa, sopan, santun’ sudah ditanamkan sejak dini pada generasi muda Indonesia. Berdasarkan laporan survey terbaru dari Expat Insider 2023, Indonesia berada di posisi ketujuh dalam aspek kemudahan untuk menetap dengan urutan keempat tingkat keramahan lokal. Keramahan penduduk lokal Indonesia telah menjadi bagian dari tradisi yang turun temurun. Beberapa suku bahkan memiliki istilah tersendiri dalam menggambarkan tradisi ramah-tamah, misalnya suku Sunda yang sangat mengedepankan konsep ‘Soméah hade ka semah’ . Someah secara harfiah berarti ‘ramah’, hade berarti ‘baik’, dan semah berarti ‘tamu’. Secara makna, dapat diartikan sebagai ‘bersikap baik, ramah, menjamu, dan membahagiakan tamu walaupun belum mengenalnya’. Menurut Hidayat (2019), budaya Soméah menjadi nilai kearifan lokal yang bertujuan untuk membangun dan menjaga hubungan berbasis budaya. Dalam penelitiannya ditemukan bahwa perilaku komunikasi Soméah ditujukan kepada semua orang tidak terkecuali kepada orang yang baru ditemui. Tidak diketahui bagaimana sejarah pasti asal muasal konsep Soméah ini tumbuh di masyarakat, namun konsep ini sudah melekat dalam masyarakat dan menjadi identitas tersendiri bagi masyarakat suku Sunda.
Di Jepang juga terdapat pola komunikasi serupa yang dikenal dengan Aimai. Secara harfiah, Aimai memiliki arti 'tidak jelas' atau 'ambiguitas'. Secara makna, Aimai ini merupakan keadaan dimana terdapat lebih dari satu makna yang dimaksudkan sehingga menimbulkan ketidakjelasan. Perilaku Aimai tidak hanya sebatas keramahan, tetapi juga mencerminkan budaya harmoni, rasa hormat, dan menghindari konflik. Geografi dan iklim di Jepang sangat berpengaruh terhadap kemunculan perilaku Aimai ini. Wilayah Jepang yang berupa kepulauan dan juga pegunungan memiliki keterbatasannya masing-masing, sehingga masyarakat harus hidup berdampingan dan berdekatan dalam suatu komunitas dimana semua orang dapat merasa nyaman.
ADVERTISEMENT
Kesamaan Pola Komunikasi "Aimai" dan "Someah"
Baik Someah maupun Aimai, keduanya termasuk ke dalam konteks budaya tingkat tinggi. Berdasarkan teori Edward T. Hall, konteks budaya tingkat tinggi cenderung lebih mengandalkan aspek non-verbal untuk mengkomunikasikan makna seperti penggunaan ekspresi wajah atau gestur. Selain itu, konteks budaya tingkat tinggi ini juga lebih menyukai komunikasi implisit atau tidak langsung dan menganggap faktor situasional lebih penting dari maksud yang akan disampaikan.
Jepang termasuk ke dalam negara yang menganut konteks budaya tingkat tinggi melalui nilai-nilai tradisional serta budaya saling menghormati dan menjaga keharmonisan yang telah ada sejak dahulu. Dalam masyarakat Jepang, kemampuan membaca makna tersirat serta memahami konteks menjadi bagian penting dalam komunikasi.
Sama halnya dengan Aimai di Jepang, Soméah dapat menjadi parameter budaya tingkat tinggi di Indonesia. Masyarakat Suku Sunda sangat menjunjung tata kelakuan sebelum bertindak. Bahkan budaya tingkat tinggi juga dapat diartikan sebagai budaya basa-basi sebelum bertindak. (Hidayat,2019)
ADVERTISEMENT
Budaya Aimai dan Soméah masing-masing memiliki ungkapan yang menggambarkan konsep tersebut. Misalkan di Jepang, budaya Aimai diungkapkan dengan penggunaan “chotto” dan “demo” saat mengekspresikan penolakan terhadap tawaran secara tidak langsung. Kemudian ada juga “maa maa” sebagai jawaban ambigu dengan rentang makna yang sangat halus agar tidak dianggap sombong atau terlalu percaya diri, serta ungkapan “ichiou” yang bermakna ‘iya’ tetapi secara tidak langsung.
Di suku Sunda, Soméah identik dengan penggunaan ungkapan “punten” dan “mangga”. Kata “punten” dapat digunakan untuk menyatakan permintaan izin, permintaan tolong, dan permohonan maaf. Kemudian kata ”mangga” digunakan ketika mempersilahkan seseorang dan memberikan penawaran. Jika diamati, penggunaan ungkapan Aimai cenderung menggambarkan penolakan secara halus agar tidak menyakiti lawan bicaranya. Sedangkan ungkapan Soméah cenderung menggambarkan sikap kerendahan hati meskipun dalam pemaknaannya memiliki lebih dari satu arti.
ADVERTISEMENT
Dari penjelasan di atas, anggapan bahwa Indonesia dan Jepang memiliki kesamaan identitas dapat dibenarkan dilihat dari kesamaan konteks budaya yakni konteks budaya tingkat tinggi. Konteks budaya tingkat tinggi identik dengan komunikasi implisit atau tidak langsung. Hal ini ditemukan pada konsep masyarakat suku Sunda “Soméah hade ka semah” dan konsep “Aimai” di Jepang. Penggunaan konsep tersebut ditandai dengan ungkapan kata yang mengandung banyak makna dan diperlukan konteks ataupun aspek non-verbal untuk dapat menangkap maknanya. Adapun kata-kata tersebut digunakan untuk tetap menghormati lawan bicara dan menjaga keharmonisan. Baik “Aimai“ maupun “Soméah ”, keduanya merupakan pola komunikasi yang dibangun sebagai bentuk keramahan dan kerendahan hati. Meskipun terlihat mirip, “Aimai “ dan “Soméah ” ini memiliki perbedaan dimana “Aimai” lebih berpotensi menimbulkan kesalahpahaman karena sifat orang Jepang yang cenderung pemalu, sulit ditebak, dan lebih banyak diam. Di sisi lain, konsep “Soméah ” cenderung lebih terbuka sesuai dengan citra masyarakat Sunda yang rendah hati, hormat, sopan, dan terbuka.
ADVERTISEMENT
Sumber :
https://www.internations.org/expat-insider/2023/ease-of-settling-in-index-40355
Hidayat, D., & Hafiar, H. (2019). Nilai-nilai budaya soméah pada perilaku komunikasi masyarakat Suku Sunda. Jurnal Kajian Komunikasi, 7(1), 84-96.
Dwisusilo, S.M. (2014) Orientalisme Jepang ala Takeda Rintaro: Wacana Kesaman Identitas dalam “Jawa Sarasa”. HIKAKU BUNGAKU : Journal of Comparative Literature, 57. pp. 80-93. ISSN 2189-684
Roger J. Davies dan Osamu Ikeno (ed). 2002. The Japanese Mind. US: Tutle Publishing.