Konten dari Pengguna

Cerpen: Mencari Pulang

Khairan Rei
Saya Khairan Rei! Hobi saya menulis puisi, cerpen, dan juga artikel tentang opini saya sendiri! Saya masih pelajar di Sekolah Cikal Amri Setu.
19 November 2024 16:26 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khairan Rei tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Memandang kelopak bunga yang lesu merana asmara di bawah suara hujan. Tetesan air hujan itu bergema di aliran rambut oranye yang menerangi seluruh tanaman yang layu bersendu. Ditemani dengan asap kretek yang melayang-layang bertabrakan dengan igauan angin dari arah utara. Perempuan itu terus mengisap kretek terlalu dalam. Sehingga asap-asap itu tidak sudi untuk keluar dari gumun. Tak segan-segan asap itu menjelma beberapa bagian tubuh. Sambil bergelak dengan kencang. Ia pun mencoba menyentuh beberapa hewan yang bersinggah dalam ujung daun hijau yang terkena cipratan air hujan. Mengingat-ingat kisah nabi yang ibunya selalu bacakan ketika ia masih kecil. Ibunya menceritakan beberapa hal-hal adikodrati yang nabi-nabi lakukan di dalam agama yang ia pegang dengan teguh. Ia mengangguk saja ketika ibunya menceritakan hal-hal itu. Aku bertanya apakah nabi memiliki serapah yang disimpan sedari lama? Apakah mereka memiliki pistol rahasia di balik punggungnya?Tak hanya itu, Ibu selalu mengambil mangga dari kebun yang berembun. Kebun-kebun itu terletak sangat jauh. Terkadang aku tak bisa melihat ibu ketika ia pergi ke sana. Bayangannya mudah untuk berubah wujud. Sulit sekali untuk menangkap dan memeluknya. Ditemani dengan sinar matahari yang hangat merangkul tubuhku dari belakang. Menjelma pagar yang menyatukan seluruh lara dan menjaga seluruh kekacauan di luar gumun. Ibu selalu membawa mangga itu ke rumah dan meremasnya tepat menuju mulutku. Kita tidak memiliki banyak uang untuk membeli blender. Namun aku suka cara kau membuatnya dengan sangat pesat. Bagaimana kamu meletakkan tanganmu dengan perlahan di antara hasrat dan teguh.
link photo - https://www.pexels.com/photo/vibrant-pink-flower-with-dew-drops-in-brazil-29453824/
zoom-in-whitePerbesar
link photo - https://www.pexels.com/photo/vibrant-pink-flower-with-dew-drops-in-brazil-29453824/
Tapi, Bu, mengapa aku tak ingin pulang? Perempuan itu bertanya sendiri setelah mengingat kembali apa yang dilakukan ibunya usai langit bergemuruh. Usai matahari menyinari bumi dan memberi angan-angan tak kasat mata. Sambil mengisap kretek itu lebih dalam. Ia kata ada beberapa suara yang memasuki secara tipis ke dalam telinga.
ADVERTISEMENT
Hisap kretek terus
Kau tak akan menemui arus
Rumah yang telah lama kau tinggali.
Hisap terus sehingga kau mati.
Lalu kau bisa tumbuh kembali.
Menjadi bunga, hujan, semerbak cinta.
photo link - https://www.pexels.com/photo/close-up-photo-of-lighted-cigarette-stick-70088/
Perempuan itu. Alana. Ia beranjak dari kenangan yang menyatu dengan beberapa bagian tubuhnya. Ia tidak peduli dengan beberapa orang yang jalan melewatinya. Ia tidak memedulikan cibiran ibu-ibu yang lewat, mereka semua membicarakan bagaimana perempuan tidak boleh membeli lalu mengisap kretek. Alana lanjut menempuh perjalanan jauhnya mencari pulang. Setelah ia menangkap basah Kevin menggunting dengan kencang ikatan cintanya. Alana langsung mengeluarkan beberapa makian yang tak pernah ia biarkan keluar. Anehnya, ia merasa bebas. Ditemani dengan alunan air mata berwarna biru yang terus mengalir menuju alamnya. Alana dengan lantang berseru kepada Kevin bahwa ia tidak ingin pernah bercinta dengannya lagi. Ia takkan pernah menyebut namanya kembali.
ADVERTISEMENT
Ia mencoba mencari tempat yang sangat jauh dan sunyi dari keramaian kota. Ia ingin waktu untuk dirinya sendiri. Berkemah di atas jembatan. Tanpa membangun usia. Tanpa menyadari pahitnya cinta itu. Atau bahkan, betapa pahitnya rumah itu. Alana ingat sekali bagaimana ibu selalu berkata bahwa yang selama ini ibu lakukan adalah menyusun rumah dari balok-balok yang terpisah. Ia menyusunnya dengan cinta.
Tapi, Bu, mengapa aku tak pernah percaya dengan cinta? Mengapa aku tak pernah percaya dengan rumah? Tepat setelah aku keluar dari sekolah di umur tujuh belas karena ada kehidupan yang menanti di dalam pusar ini. Ibu selalu berkata bahwa akan ada jalan lain. Akan ada jalan lain yang jauh lebih terang dari rambut oranye ku. Lebih terang dari harga diri seorang perempuan di lingkungan ini. Lebih terang dari pria-pria bedebah di meja hijau itu. Namun di manakah jalan itu? Apakah aku terlalu buta untuk melihat? Atau apakah aku tuli untuk mendengar beberapa arahan dirimu yang terlihat sangat mengetahui segalanya? Atau apakah aku hanya tolol saja dalam mencari jalan lain? Lalu apakah kau benar-benar menepati janji kepadaku tepat ketika aku memberikan rahim ini ke alam lain? Atau bahkan ketika aku harus menemaninya di alam lain?
ADVERTISEMENT
Aku masih mengingat saat itu Ibu menggenggam tanganku dengan erat. Ketika matahari terbenam lalu jingga berkelana di sekitaran langit dengan burung-burung yang seakan-akan mengikuti kemanapun warna jingga itu pergi. Kau menggolontorkan seluruh cinta yang sangat dalam kepadaku. Aku bisa melihat rumah yang kau coba wujudkan. Kau berbisik padaku bahwa kau akan menemaniku dengan keputusan yang kupilih. Bahkan, jika aku memilih untuk memberi kehidupan pusar ku menuju seseorang lain. Atau bahkan aku buat serangkaian serapah supaya kehidupan ini tak akan bisa ku genggami. Biarkan tuhan yang mengambil alih. Ibu mengusap-usap perutku yang terlihat membentuk gunung. Musim-musim dan usia yang telah aku buat. Kau juga mendengar lalu mencium perutku yang menjulang tinggi melewati bintang-bintang. Kau juga berharap bahwa kehidupan yang kulahirkan adalah sebuah anugerah tuhan. Aku saat itu bingung sekali dengan apa yang kau katakan. Aku pun bertanya setiap kali ibu berkata sesuatu. Mengapa ia harus menyambungkan banyak hal tentang agama?
ADVERTISEMENT
“Ibu akan bersamamu apapun yang akan terjadi. Entah hujan badai akan menjadi hambatan. Petir menggelegar. Aku tidak peduli. Rumah kita takkan pernah roboh,” ucap ibu sambil mencium gelombang pipiku.
Setelah Kevin datang mengunjungi aku dan bayi yang telah kita kembang. Ibuku duduk di kursi belakang punggungku lalu menyisirkan rambut oranye ku yang terpapar sinar matahari. Rambutku saat itu sangat kusut. Sebab dari subuh hingga petang aku menghabiskan waktu untuk perutku yang tak karuan sakitnya.
“Kau akan melahirkan bayi itu atau tidak?” Tanya ibu.
Aku anggap pertanyaan itu bukanlah sebuah ancaman. Aku tahu betul bagaimana ibu berbicara. Bahkan dari wajah aku bisa mengenalnya.
“Entahlah bu, aku merasa menyesal. Setelah keluar dari sekolah, aku rasanya seperti seseorang yang gagal.”
ADVERTISEMENT
“Mungkin ini jalanmu.”
Aku hanya terdiam dan merenung seluruh hal yang ku permasalahkan. Mungkin aku setuju dengan perkataan ibu. Mungkin tuhan memang telah menakdirkan aku untuk melahirkan bayi di umur yang sangat muda.
Ibu terus berbicara tentang seluruh hal yang bisa ia bicarakan. Beberapa menit lalu ia mengajariku perbedaan beberapa bumbu rempah dan manfaatnya, rasanya dan masih banyak. Ia berkata jika kau akan melahirkan atau menikah. Keterampilan ini akan berguna sekali. Alana merasa sekali keintimannya dengan ibunya. Dari petang hingga malam. Ibu tak henti-henti menyisir rambut Alana yang sudah lurus beberapa jam lalu. Mereka hanya memberikan perspektif mereka dalam banyak hal. Menghabiskan waktu bersama. Selayaknya keluarga.
Tapi bu, mengapa aku segan menyebut kita sebagai keluarga? Alana lanjutkan perjalanannya dalam mencari tempat tinggal sekarang. Ia pun harus mencari uang-uang yang terjatuh dari langit. Seakan-akan tuhan ingin memberikan barang berharga kepada orang laknat dengan sembarangan. Tetapi nyatanya, Alana sudah mendapat lebih dari tujuh puluh ribu. Maka jika dihitung, ada banyak sekali orang yang menjatuhkan uangnya. Entah di sengaja atau bukan.
ADVERTISEMENT
Setelah hujan turun, Alana pergi menuju warung untuk beli perlengkapannya berkemah di suatu tempat yang asing. Penuh dengan cerita yang belum dibuka. Halaman buku yang belum sama sekali dibalik.
“Pak, saya minta kretek satu!” Seru Alana dari beberapa orang yang mengantri untuk kopi hitamnya.
“Sedang apa kau disini?!” Tanya seorang pria yang memiliki tato kupu-kupu di lengannya sangat besar.
“Mencari rumah,” jawabku dengan lantang sambil memberikan uang kretek tersebut. Dengan segera ku buka korek api lalu menyalakan kretek dan menghisapnya.
“Kau tak memiliki rumah?”
“Aku telah kabur.”
“Bodoh sekali kau! Benar-benar perempuan bodoh!”
“Kau tak tahu apa-apa,” jawabku menyusul pria tersebut.
Alana terdiam dan tidak mendengarkan apapun yang pria itu katakan. Selama dia di warung, pria itu menghabiskan waktunya berbicara bagaimana bodohnya Alana. Meninggalkan rumah yang sudah sempurna sekali. Apakah Alana melakukannya hanya supaya terlihat keren atau entahlah. Apakah Alana benar-benar kabur karena ibu dan kekejiannya. Ia kini mencoba untuk tidur di bawah pohon yang berbicara.
ADVERTISEMENT
“Selama hidupku, aku hanya dijadikan properti. Mereka potong. Mereka ambil. Lalu aku tambang. Untungnya aku belum terpilih. Teman-temanku sudah dipotong dan diambil bagian tubuhnya,” bisik pohon beserta teman angin nya yang terus saja datang.
Tapi bu, apakah Alana hanya sebuah rumah yang digunakan untuk singgah saja? Karena yang aku lihat seperti itu. Aku telah memberi rumah yang spesial untuk Kevin. Penuh dengan sungai susu, senja serta puisi, lalu ku taruh beberapa bunga mawar, ku taruh banyak harapan. Kita saling bercerita dalam rumah yang paling aman ini. Namun lama kelamaan, mengapa rumah ini kehilangan beberapa bagian? Setelah bayi yang ku harap dikembang tak bisa melihat ke dunia. Kevin tidak pernah lagi mencintaiku seperti dulu. Kita tidak berdansa di bawah suara hujan dengan kelopak bunga yang berteriak. Atau menemani hewan-hewan bercinta. Sama juga dengan kau, Ibu. Awal-awal kau berikan sebuah harapan yang bersinar sekali. Ku berikan beberapa serpihan balok dari rumahku. Aku menekan kepada diriku bahwa kita bisa membangun rumah bersama. Menjadikan rumah ini tempat pulang paling nyaman dan aman. Kau tetap menceritakan kepadaku tentang kisah nabi dan ajaibnya. Kau tetap meremas mangga dimana jusnya mengalir menuju tenggorokanku. Kau tetap menyisir rambutku dan berbicara tentang banyak hal. Kau tetap memasak makanan untukku. Kau tetap memelukku dari belakang. Kau tetap mengelap seluruh tetesan air mata yang keluar dari kelopak mataku. Namun, ketika kehidupan yang ku jaga di dalam pusar ini bertumbuh dengan pesat. Kau sudah menjadi orang yang sangat berbeda. Sungguh berbeda. Kau sebut aku dengan kata-kata makianmu. Kau hanya singgah untuk beberapa waktu. Kau tidak pernah menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Apa yang terjadi denganmu?
link photo - https://www.pexels.com/photo/black-handled-key-on-key-hole-101808/
Untuk pertama kali, Alana tidur menggunakan beberapa daun yang ditemukan. Ia jadikan sebagai alas dan di samping nya ada sebuah pohon yang menurutnya bisa berbisik. Dengan sinar bulan yang menyinari seluruh angan-angan. Lalu beberapa hewan yang bangun di malam hari mendekatiku lalu bernyanyi sebuah lagu yang telah lama terpenggal. Ibuku selalu menyanyikan lagu itu sebelum Alana tertidur. Ia mencoba untuk tak ikut bernyanyi. Namun ia rasa ada gerakan yang memaksanya untuk ikut bernyanyi.
ADVERTISEMENT
****
Alana bertemu dengan Ibu di sebuah toko minuman keras. Tempatnya jauh dari rumah Ibu maupun dari tempat Alana tertidur. Mereka tidak berbicara sama sekali. Hanya terdiam walaupun mata mereka melirik satu sama lain. Mereka telah ditumpahkan dengan beberapa sendu. Mata ibu bertanya jika Alana sudah makan atau belum. Dimana ia tinggal? Sedangkan mata Alana bertanya apakah kini ibu masih bisa menerimanya?
Sudah lama sekali aku tidak mengingat wajahmu. Sudah lama sekali aku tidak memandang wajahmu. Keberadaanmu dan kenangan masa lalu campur aduk di gemersak botol-botol minuman keras. Bapak yang menjaga kesulitan mencari minuman keras yang ku inginkan dan mungkin yang Ibu inginkan juga.
“Apa kau masih mengingat dengan mangga yang biasa ku peras?” Tanya ibu tanpa memandangku sama sekali.
ADVERTISEMENT
“Masih.”
“Apa kau masih ingat dengan kisah-kisah nabi?”
“Iya.”
“Kau mulai merokok?”
“Bagaimana kau tahu?”
“Mulutmu bau kretek yang sangat luas. Tajam sekali menusuk ke dada Ibu.”
“Kau meminum minuman keras?
“Bagaimana Alana tahu?”
“Mulutmu bau alkohol.”
“Alana, maafkan ibu. Saat itu Ibu sebenarnya tidak setuju kau menuju klinik aborsi untuk menghabiskan kehidupan yang kau kembang bersama dengan Kevin. Saat itu juga Ibu trauma dengan yang bapakmu lakukan. Ia saat itu meninggalkan Ibu ketika sedang membesarkanmu. Ibu teringat kembali seluruhnya. Ibu pun tidak terima kau harus keluar dari sekolah hanya untuk memperdulikan bayi itu.”
“Sudah telat untuk meminta maaf.”
“Kau ingin ikut bersamaku? Pulang ke rumah?” Tanya Ibu sambil membayar sebotol minuman keras itu.
ADVERTISEMENT
“Tidak. Aku telah menemukan rumah untuk pulang.”
Aku menyadari bahwa pulang yang ku cari-cari adalah diriku. Tak seorang pun bisa membangun rumah yang sungguh sempurna dariku. Yang bisa membuat rumah ini nyaman dan aman dari ancaman hanyalah diriku, hasratku, harapanku, dan masih banyaknya.
“Apa kau yakin? Pulang lah bersama Ibu.”
Aku terdiam dan tidak menjawab. Air mata mengalir menuju aliran rambut oranye. Mereka bersinar biru merana di sekitar ruangan. Mengenang beberapa kebingungan di atas awan dan perjalanan aku mencari pulang sebenarnya.
“Apa kau yakin tak ingin ikut bersama Ibu pulang ke rumah?”
“Berapa banyak duka yang harus kutanggung?”