Konten dari Pengguna

Bedhidhing, Song, dan Hantu-hantu yang Dipelihara Desa Petir

Khairani Fitri Kananda
Peneliti lepas dan Mahasiswa Magister Antropologi UGM
2 Oktober 2024 13:13 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khairani Fitri Kananda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Panggung pertunjukan Festival Bedhidhing 2024 dengan latar belakang Song Luwang. Sabtu (28/09/2024). Foto: Kinan
zoom-in-whitePerbesar
Panggung pertunjukan Festival Bedhidhing 2024 dengan latar belakang Song Luwang. Sabtu (28/09/2024). Foto: Kinan
ADVERTISEMENT
“Kita itu dianggap pemuja berhala, karena mengadakan kegiatan di Song. Di sana dianggap sarang dhemit.”
ADVERTISEMENT
Kalimat itu disampaikan Pak Antoro, Pokdarwis Desa Wisata Petir, Kecamatan Rongkop, Gunungkidul ketika saya menemuinya di acara Festival Bedhidhing 2024. Kegiatan ini diselenggarakan pada Sabtu Pon, 28 September 2024 di Song Luwang, sebuah situs terbengkalai yang sering dianggap tempat bersarangnya hantu-hantu jahat.
Saya lantas diajak menyusuri song, sebuah ceruk atau gua yang tidak terlalu dalam. Di bagian pinggir song terdapat stalagtit dan stalagmit yang menyatu dan membentuk pilar. Salah satu pemuda setempat memukul beberapa bagian dan menghasilkan irama berbeda.
“Di sini ada gamelan mbak, dulu dipakai masyarakat untuk main dan berkesenian,” jelasnya.
Song Luwang ini adalah satu dari sekian banyak song dan gua yang ada di Gunungkidul. Namun banyak dari situs ini yang terbengkalai karena dianggap tidak memiliki nilai guna bagi masyarakat. Ditambah dengan masuknya kepercayaan dan menguatnya identitas keagamaan, menjadikan song punya lebel sebagai sarang dhemit.
ADVERTISEMENT
“Makanya banyak yang akhirnya dijual, dihancurkan. Salah satu alasannya karena itu,” tambahnya.

Song Milik Pribadi, Namun Dimanfaatkan Pihak Luar

Penggunaan istilah “dijual” menarik perhatian saya. Di sini ternyata ada banyak song, gua, bahkan bukit yang menjadi milik pribadi karena kepemilikan lahan sekaligus mencakup apa saja yang ada di dalamnya. Termasuk salah satunya Goa Braholo yang letaknya tidak jauh dari Song Luwang. Goa ini menyimpan banyak penemuan prasejarah manusia purba dan sejak lama dijadikan lokasi penelitian dari berbagai lembaga.
Namun dalam kasus Goa Braholo, pengelolaan sepenuhnya dialihkan ke Dinas Pariwisata setempat tanpa melibatkan pemilik atau masyarakat setempat. Pemilik hanya menjadi tuan tanah yang dimintai persetujuannya tanpa tahu menahu apa yang sedang digarap di lahannya.
peserta tour de ngalas Festival Bedhidhing 2024 mengunjungi Goa Braholo, Sabtu (28/09). Foto: Alexis Favian
Menurut cerita warga setempat, temuan dari Goa Braholo juga langsung dibawa ke Museum Pacitan sehingga mereka juga tidak pernah melihat langsung apa yang di temukan di daerah mereka.
ADVERTISEMENT
Kekhawatiran semacam ini mungkin dirasakan juga oleh Ida dan pemuda Desa Petir. Bagi mereka, merawat daerah sendiri perlu dilakukan untuk menghindari kemungkinan interupsi pihak luar.
“Di sini ada banyak song yang milik pribadi, sementara masyarakat tidak tahu atau belum punya alasan kenapa harus menjaga song itu. Maka dari itu kami coba cari cara, gimana ya supaya song ini bisa dilihat sebagai suatu potensi. Lalu lahirlah Festival Bedhidhing ini,” jelas Ida.

Bedhidhing dan Cita-cita Merawat Nilai Kelokalan

Istilah Bedhidhing merujuk pada puncak musim kemarau yang terasa dingin dan menusuk kulit, sebelum akhirnya menuju musim hujan. Nama ini kemudian dipilih karena nilai budaya di dalamnya. Ada banyak kesenian lahir di musim bedhidhing ini, karena masyarakat akan lebih banyak berkumpul dan mencari hiburan.
ADVERTISEMENT
Di Kecamatan Rongkop, mayoritas masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani. Namun sistem pertanian mereka masih memanfaatkan sistem pertanian tadah hujan. Di masa transisi inilah mereka akan mengistirahatkan lahan sebelum hujan pertama datang dan lahan siap ditanami kembali. Maka dari itu di sepanjang jalan akan terlihat tanah-tanah yang kosong dan singkong-singkong yang dijemur untuk dibuat gaplek.
“Karena masa istirahat ini, masyarakat lebih selo gaweannya. Ibu-ibu nuthu thiwul dengan lesung, dan itu suaranya sahut-sahutan, berirama. Kadang jadi dolanan lesung juga. Selain itu juga ada panjeran. Dulu itu jadi hiburan buat masyarakat sini, tapi makin ke sini sudah jarang. Bahkan panjeran itu sudah lama sekali gak ada di sini,” tambah Ida.
Menurut cerita Ida, dulu musim bedhidhing jadi musim berkumpulnya masyarakat. Namun sayangnya sekarang kebiasaan ini semakin berkurang dan semakin banyak kebudayaan yang ditinggalkan. Misalnya saja panjeran, sebuah kincir angin dari bambu. Panjer sebetulnya juga memiliki fungsi sebagai indikator perubahan musim, namun dengan masuknya teknologi baru membuat panjer tidak lagi dibutuhkan.
ADVERTISEMENT
Padahal menurut Ida, di dalam panjeran tidak hanya ada manfaat praktis tapi juga nilai kelokalan dan semangat gotong royong. Membangun panjer perlu melibatkan banyak orang, dan panjer biasa dinikmati sebagai hiburan untuk anak-anak dan pemuda. Di sinilah biasanya terjadi interaksi antar pemuda, saling bertukar cerita dan membangun kedekatan intrapersonal.
Panjer atau kincir angin dari bambu yang dibangun kembali dalam rangka Festival Bedhidhing 2024. Foto: Alexis Favian
“Sayangnya ya, memudarnya budaya ini sekaligus memudarnya juga kedekatan antar masyarakat terutama pemuda. Banyak yang cuma saling kenal tapi gak dekat, jarang kumpul dan ketemu. Lewat Festival Bedhiding ini, kita coba rangkul kembali supaya mereka bisa akrab, membangun semangat gotong royong untuk desa kita sendiri,” kata Ida.

Semangat Gotong Royong dan Merekatkan Pemuda Desa

Festival Bedhiding ini sebenarnya diinisiasi Ida dan Este dengan melibatkan segala lini masyarakat. Mereka mengajak pemuda setempat untuk berkumpul, berdiskusi dan berbagi tugas. Para orang tua dan sesepuh juga didatangi untuk dimintai pendapat tentang hal-hal yang sebaiknya diangkat kembali dalam acara ini.
ADVERTISEMENT
Kurangnya dana, akses menuju lokasi yang jauh, dan keterbatasan-keterbatasan lainnya menjadi tantangan dalam pelaksanaan festival ini. Namun rintangan yang paling besar justru datang dari dalam masyarakat sendiri. Suara-suara sumbang yang menilai buruk tentang kegiatan, keraguan akan suksesnya acara, dan penolakan terang-terangan tidak sedikit yang berdatangan.
“Hantu-hantunya justru datang dari luar song, bukan dari dalam,” katanya sambil tertawa.
Namun hantu-hantu itu tidak menjadi teror, tapi sesuatu yang mereka rawat sebagai sumbu yang membakar semangat. Dengan perlahan tapi pasti, para pemuda dan masyarakat yang mau menyatukan visi saling bahu membahu menyulap area song menjadi panggung pertunjukan, arena pameran seni, serta stan umkm untuk menjual produk-produk khas Gunungkidul.
Saat mobil yang mengangkut sound system datang, para pemuda menggotong satu persatu peralatan sound karena mobil tidak bisa melewati jalanan menuju lokasi yang berbatu tajam. Saya kemudian mendekati salah satu warga yang turut membantu dan bertanya apa alasan dia mau turut bergotong royong dalam kegiatan ini. Jawabannya sederhana saja: “soalnya saya punya tenaga mbak.”
ADVERTISEMENT
Bagi Ida, Este, Pak Antoro, dan semua masyarakat yang terlibat dalam rangkaian Festival Bedhidhing ini, yang terpenting bukanlah seberapa sukses acara berlangsung dan diapresiasi pihak luar, melainkan seberapa erat kedekatan yang bisa dibangun antar masyarakat. Kedekatan itu diharapkan menjelma doa-doa baik, dan membangun kepercayaan diri atas daerah sehingga bisa merawat segala hal yang ada didalamnya***