Konten dari Pengguna

Futurologi Hukum Dalam Pengaduan Konsumen Di Media Sosial

Khairazka Essaura
Mahasiswi Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Al-Wafa
8 Maret 2024 22:24 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khairazka Essaura tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Law Consumer. Foto: Burdun Iliya/ShutterStock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Law Consumer. Foto: Burdun Iliya/ShutterStock
ADVERTISEMENT
Dewasa ini kita dihadapkan dengan kemajuan teknologi yang semakin hari semakin berkembang dan terus berkembang sesuai zaman. Tak bisa dipungkiri bahwa teknologi satu kata yang sangat berperan penuh dalam perkembangan kehidupan manusia saat ini. Di era seperti saat ini mungkin hampir sebagian penduduk di seluruh dunia termasuk di Indonesia sendiri pun sudah menikmati kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi yang makin berkembang dan terus berkembang secara pesat sanggatlah membantu manusia, bahkan dengan kemajuan teknologi yang adapun bisa menciptakan peluang untuk menghasilkan keuntungan tanpa harus meninggalkan rumah sekalipun.
ADVERTISEMENT
Berbicara tentang teknologi tidak akan terpisahkan dengan media sosial yang merupakan hasil dari teknologi itu sendiri. Karakteristik media sosial pesan yang disampaikan tidak hanya untuk satu orang saja namun bisa ke berbagai banyak orang, pesan yang disampaikan cenderung bebas, pesan yang disampaikan cenderung lebih cepat dibanding media lainnya. Namun mungkin tanpa kita sadari,teknologi yang ada saat ini bisa berubah menjadi suatu ancaman tersendiri, jika kita tidak dapat menggunakannya dengan baik.
Kembali terjadi lagi kasus pengaduan konsumen di media sosial yang berakhir pada pengaduan karena dugaan kasus pencemaran nama baik. Seorang konten kreator yang harus berurusan dengan pihak kepolisian setelah menggugah konten tentang komplain terkat apartemen yang ditinggalinya, dari konten yang ia unggah menjadi perhatian masyarakat terutama warganet.
ADVERTISEMENT
Pihak terkait dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum awalnya dengan hukuman 4 tahun 6 bulan penjara atas Pasal 28 tentang penyebaran berita bohong. Lalu, oleh hakim dirubah menjadi Pasal 27 soal ujaran kebencian dengan ancaman 4 tahun dan vonis 2 tahun.
Setelah hampir enam belas tahun Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Eletronik diundangkan dan berlaku di Indonesia, diperbaharui dengan Undang-Undang No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Meskipun sudah diperbaharui beberapa pasal karetnya masih selalu tampil dan memicu terjadinya kriminalisasi. Tujuh ketentuan dari 54 pasal direvisi. Salah satunya penegasan perihal delik pencemaran nama baik. Awalnya masuk delik umum, setelah direvisi menjadi delik aduan.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimanakah peran hukum dalam melindungi hak-hak konsumen ?
Produsen bertanggung jawab terhadap perlindungan konsumennya. Pada hakikatnya tanggung jawab sosial perusahaan itu sendiri guna merebut kepercayaan publik yang kemudian bergerak ke arah pemetikan hasil dari kepercayaan publik tersebut. Pengaturan perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk melemahkan usaha dan aktivitas produsen, tetapi justru sebaliknya sebab perlindungan konsumen diharapkan mampu mendorong persaingan usaha yang sehat. Dengan demikian diharapkan dapat membuat perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan sehat melalui penyediaan barang atau jasa yang berkualitas.
Untuk melindungi kepentingan dalam mengonsumsi barang dan jasa konsumen memiliki beberapa hak di antaranya ialah hak untuk didengar hak ini dimaksudkan untuk menjamin konsumen bahwa kepentingannya harus diperhatikan dan tercermin dalam kebijaksanaan pemerintah, termasuk turut didengar dalam pembentukan kebijakan tersebut. Selain itu, konsumen juga harus didengar setiap keluhan dan harapannya dalam mengonsumsi barang atau jasa yang dipasarkan produsen. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi di dalam UUPK tidak ada penjabaran lebih lanjut tentang bagaimana cara konsumen menyampaikan keluhan yang dimaksud, kecuali penyebutan penanganan keluhan konsumen sebagai salah satu tugas Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat dalam pasal 44 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang Perlindungan Konsumen hanya menyediakan pengaturan mengenai penyelesaian sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.
Sedangkan apabila merujuk pada pengertian keluhan dan sengketa memiliki arti yang berbeda. Dalam KBBI, keluhan diartikan sebagai keluh kesah, sengketa diartikan sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertengkaran, perbantahan. Dari pengertian ini dapat kita bedakan, belum tentu suatu keluhan merupakan suatu sengketa.
Ada beberapa alasan mengapa konsumen memilih sosial media sebagai wadah untuk mengadukan keluh kesahnya, akses ke media sosial lebih mudah, efektif untuk pembelajaran kepada sesama konsumen dan peringatan bagi pelaku usaha dan dapat berfungsi kampanye negatif bagi pelaku usaha yang nakal.
ADVERTISEMENT
Keluhan konsumen di media sosial sangat beragam mulai dari permasalahan yang tergolong berat atau tidak. Namun, sekecil apa pun persoalannya konsumen kerap kali memilih menulis keluhan di media sosial karena tidak membutuhkan usaha yang lebih.
Bagiamana peran hukum dalam memberikan kepastian hukum ?
Masyarakat dalam realitasnya dalam memperjuangkan hak ini mesti berhadapan dengan risiko kriminalisasi lewat UU ITE saat mereka komplain di media sosial apabila bukti tersebut tidak kuat. Berbagai kasus kriminalisasi konsumen yang mengeluhkan suatu layanan produk atau jasa di media sosial semakin marak terjadi. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik menjadi momok yang kerap menjerat konsumen. Pasal 27 ayat 3 UU ITE dijadikan ancaman untuk menjerat konsumen yang memuat keluhannya di media sosial karena dianggap mengandung unsur penghinaan maupun pencemaran nama baik.
ADVERTISEMENT
Kritik sebagai bentuk kebebasan berekspresi sekarang menjadi bumerang dengan adanya pasal ini, sedangkan hak atas kebebasan berpendapat sudah dijamin dan dilindungi di berbagai instrumen hukum, baik itu hukum nasional maupun internasional, salah satunya pada Pasal 28 E ayat 3, serta Pasal 23 ayat 2 Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Konsumen juga berhak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut, hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Kemudian hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Dalam menyikapi hal ini konsumen sebaiknya tidak langsung mengadukan keluhan ke sosial media, akan tetapi menyampaikan langsung keluhannya kepada pelaku usaha atau ke lembaga-lembaga yang memiliki wewenang seperti LPKSM, BPSK atau bisa lapor ke Kepolisian. Beberapa pelaku usaha sudah memiliki bagian khusus yang menangani pengaduan konsumen. Pengaduan ke pelaku usaha penting dilakukan konsumen terlebih dahulu, karena dalam banyak kasus sengketa yang timbul antara konsumen dengan pelaku usaha berawal dari buruknya komunikasi antara konsumen dan pelaku usaha, termasuk minimnya pemahaman konsumen tentang produk yang dikonsumsi, apabila keluhan tersebut tidak ditanggapi perusahaan dan konsumen ingin menyampaikan keluhannya agar menjadi pembelajaran terhadap sesama konsumen maka bisa menulis dengan menggunakan nama inisial nama perusahaan/pelaku usaha tersebut.
ADVERTISEMENT
Dari uraian di atas, bahwa futurologi hukum untuk menjawab perkembangan zaman belum bisa memberikan kepastian hukum terhadap perihal yang baru. Tentunya ada harapan baru pada tahun yang baru dengan diajukannya revisi tentang UU ITE. Harapannya dapat memberikan kepastian hukum sesuai dengan cita-cita hukum nasional yang melindungi warga negara beserta hak-haknya.
Harus diakui bahwa UUPK ini merupakan sebuah produk yang mengandung semangat perlindungan konsumen serta jaminan pemenuhan hak korban. Namun demikian, pelaksanaan substansi dan semangat tersebut akan tidak optimal apabila tidak diikuti dengan penguatan perangkat penegak perlindungan konsumen, penguatan lembaga perlindungan konsumen baik dari segi sumber daya manusia, sarana, fasilitas dan keuangan. Semua itu tentunya tidak cukup sampai di situ pemerintah juga harus ikut adil dalam permasalahan-permasalahan tersebut karena pemerintah yang memiliki kewenangan untuk menindak tegas dan memberikan sanksi terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup, menjadi suatu catatan penting di awal tahun 2024 ini, untuk mengevaluasi dari segala aspek penegakkan perlindungan konsumen, tentang payung hukum yang melindungi hak-hak konsumen, perangkat negara yang menegakkannya, dan sosialisasi tentang UUPK dan UU ITE kepada semua elemen mulai dari penegak hukum, kementerian atau lembaga di pemerintah pusat atau daerah, lembaga layanan dan masyarakat, serta masyarakat pada umumnya.