Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Peran Hukum terhadap Kesehatan Mental di Dunia Kerja
9 Januari 2023 10:20 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Khairazka Essaura tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Kehidupan sehari-hari banyak di antara kita yang menghabiskan waktu untuk bekerja. Memang pekerjaan telah menjadi salah satu prioritas dalam kehidupan, karena dari pekerjaan itulah kita mendapatkan penghasilan dan penghidupan.
ADVERTISEMENT
Dalam dunia pekerjaan, tentunya semua orang akan menghadapi situasi naik dan turun. Ketika berada dalam kondisi naik, kita akan merasa pekerjaan yang dilakukan dapat memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan.
Namun, terkadang juga saat dalam kondisi di bawah, seperti menghadapi tekanan atas pekerjaan atau timbulnya masalah dengan rekan kerja, situasi seperti itu tak jarang mampu membuat seorang pekerja menjadi stres dan mengalami gangguan kesehatan mental.
Menurut World Health Organization (WHO), kesehatan mental adalah kondisi sejahtera seseorang, ketika seseorang menyadari kemampuan dirinya, mampu untuk mengelola stres yang dimiliki serta beradaptasi dengan baik, dapat bekerja secara produktif, dan berkontribusi untuk lingkungannya.
Kesehatan mental merupakan dasar yang penting bagi seseorang karena kesehatan mental akan mempengaruhi bagaimana seseorang memandang dirinya, lingkungan, dan memahami lingkungan sekitar.
ADVERTISEMENT
Seperti yang kita tahu bahwa kesehatan mental mempengaruhi produktivitas dalam bekerja. Terutama saat pandemi COVID-19 melanda dunia, banyak pekerja yang terkena PHK massal, penurunan gaji, dan merasakan sulitnya mencari pekerjaan.
Kesehatan mental sendiri dapat dipengaruhi oleh dua faktor yakni faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang dimaksud adalah kepribadian, kondisi fisik, keberagaman, sikap menghadapi problem kehidupan, dan keseimbangan dalam berpikir.
Sedangkan faktor eksternal meliputi keadaan sosial, ekonomi, politik, adat kebiasaan, dan sebagainya. Kondisi kesehatan mental sangat berpengaruh terhadap produktivitas dalam menjalankan tugas. Sayangnya, mengelola kesehatan mental tidak semudah yang dikatakan.
Bagaimana Hukum Menjawab Persoalan tentang Kesehatan Mental di Dunia Kerja?
Gangguan mental dapat bersifat ringan, sedang, berat, bahkan dapat juga membahayakan hidup. Maka dari itu, hukum ikut berperan dalam mencegah dan menangani permasalahan tentang kesehatan mental.
ADVERTISEMENT
Saat ini hukum di Indonesia telah menaruh perhatian pada kesehatan mental di dunia pekerjaan melalui sejumlah peraturan:
Selain pembentukan peraturan-peraturan, Pemerintah Indonesia mendukung dimasukkannya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam kerangka kerja prinsip-prinsip dan hak-hak dasar International Labour Organisation (ILO) di tempat kerja.
ADVERTISEMENT
Hal ini dilakukan dengan tujuan memberikan pelindungan dan menjamin keselamatan setiap pekerja dan orang lain di tempat kerja.
Langkah yang diambil oleh pemerintah sudah sangat tepat karena mengantisipasi risiko adalah langka penting pertama untuk mengelola dan untuk membangun pencegahan K3 di dunia yang terus berubah yang dapat mempengaruhi perubahan di dunia kerja.
K3 bukan hanya slogan, tapi kebutuhan bagi setiap pekerja. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja diberikan kepada setiap karyawan sebagai upaya untuk mencegah dan mengurangi risiko terjadinya kecelakaan kerja serta meningkatkan produktivitas.
Apa Hak-hak bagi Pekerja yang Mengalami Kesehatan Mental?
Suatu organisasi atau perusahaan memiliki tanggung jawab untuk mendukung kesehatan mental pekerjanya dengan membangun lingkungan kerja yang sehat dan jauh dari faktor-faktor eksternal penyebab terganggunya kesehatan mental.
ADVERTISEMENT
Perusahaan memiliki tanggung jawab atas pekerjanya, termasuk mereka yang mengalami gangguan mental, sebagaimana merujuk pada pasal 35 ayat 3 UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003.
Beberapa bentuk dukungan dapat diberikan oleh perusahaan terhadap karyawannya yang mengalami gangguan mental dengan memberikan cuti untuk memulihkan kesehatan mentalnya serta mencarikan bantuan ahli untuk perawatan yang diperlukan, membantu menyelesaikan faktor gangguan mental yang dialami pekerja apabila memiliki masalah di lingkungan kerja.
Bukan hanya itu, pekerja yang mendapatkan dukungan tersebut cenderung memiliki pemulihan yang lebih cepat dan baik, serta dapat kembali bekerja dengan produktif kembali.
Apabila pekerja yang mengalami gangguan mental izin cuti, maka ia berhak atas upah sebagaimana yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan bahwasanya hak upah bagi pekerja/buruh yang sakit menahun atau berkepanjangan, mengacu pada pasal 93 ayat 3 jo. ayat 1 dan ayat 2 huruf a. UU No. 13 Tahun 2003, yakni:
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana dengan seorang pekerja yang mengalami gangguan kesehatan mental yang berkepanjangan, apakah boleh memutus hubungan kerja
Bagi seorang pekerja yang mengalami gangguan kesehatan mental berkelanjutan berdasarkan pasal 153 ayat 1 UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja karena pekerja berhalangan masuk disebabkan sakit sesuai keterangan dokter dalam kurun waktu maksimal dua belas bulan secara terus menerus.
Namun, seperti yang kita tahu bahwa gangguan mental dapat bersifat ringan, sedang berat, bahkan dapat membahayakan hidup, perusahaan dapat merundingkan dengan yang bersangkutan atau melalui lembaga pengampuan untuk sakit jiwa.
ADVERTISEMENT
Bila sudah ada kesepakatan antara kedua belah pihak, kemudian dibuat persetujuan bersama untuk menguatkan aspek hukumnya. Persoalan ini merujuk pada pasal 154A ayat 1 huruf m UU No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Pekerja/buruh yang mengalami sakit menahun atau berkepanjangan termasuk sakit jiwa, dapat di PHK atau mengajukan pemutusan hubungan kerja setelah sakitnya melampaui waktu dua belas bulan secara terus-menerus, kecuali disepakati lain oleh para pihak terkait.
Apakah pekerja yang di PHK karena sakit (termasuk sakit jiwa) mendapatkan hak pesangon?
Buruh yang mengalami PHK berdasarkan Pasal 156 ayat 1 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bahwa dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
ADVERTISEMENT
Seiring berjalannya waktu kesadaran tentang kesehatan mental mulai ramai dibicarakan, terutama di Indonesia mengangkat tema pada G20 dengan slogan “Recorver Together, Recover Stronger” slogan ini mengajak untuk pulih dan bangkit kembali dari situasi pandemi COVID-19.
Dengan adanya G20 ini diharapkan tidak hanya pulih secara fisik dari COVID-19 akan tetapi pulih secara psikis. Pencegahan gangguan mental harus menjadi salah satu strategi untuk meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja.
Di awal tahun yang baru harapannya sudah tidak ada stigma buruk tentang gangguan mental, karena dari stigma buruk itu orang enggan untuk menyampaikan bahwa dirinya mengalami gangguan mental.
Padahal, dampak dari gangguan mental itu tidak kalah besar jika dibandingkan dengan dampak akibat gangguan kesehatan fisik, di mana gangguan mental pada karyawan dapat mempengaruhi produktivitas pekerja.
ADVERTISEMENT
Pemerintah dan perusahaan memiliki peran yang sangat besar dalam hal ini, namun semua tentunya mempunyai peran masing-masing untuk bisa menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan baik.
Sebab, kunci keberhasilan dari program kesehatan masyarakat adalah adanya keterlibatan dari seluruh lapisan masyarakat.