Konten dari Pengguna

Kekerasan Seksual dan Pentingnya Merevisi Qanun Jinayat

Khairil Akbar
Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Aceh. Tertarik pada isu-isu hukum pidana, hukum pidana Islam, hak asasi manusia, perempuan dan anak, demokrasi, dan hukum Pemilu.
12 Juni 2023 14:03 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khairil Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kekerasan seksual. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kekerasan seksual. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) meminta Pemerintah Aceh mengkaji ulang usulan perubahan Qanun Jinayat (QJ) karena masih terdapat sejumlah masalah yang mesti disesuaikan dengan KUHP, Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UUTPKS), dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UUSPPA).
ADVERTISEMENT
Meski sejatinya ada banyak masalah lain yang bisa dikritisi dari QJ, tindak pidana kekerasan seksual (KS) terbilang yang paling menyita perhatian publik belakangan ini. Pasalnya, putusan-putusan pengadilan (Mahkamah Syar’iyyah) kerap dianggap tidak berpihak pada korban kekerasan seksual (KS).
Indikasinya ada banyak, mulai dari ‘uqubat (pidana) yang sangat ringan dan pilihan ‘uqubat yang kurang tepat, disparitas putusan yang relatif tinggi, hingga pembebanan pembuktian pada korban, yang menurut Qanun, pelaku bisa bebas dengan bersumpah; suatu pekerjaan ringan bagi pelaku KS.
Pertanyaannya, apakah ini hanya soal penyimpangan di lapangan, atau karena subtansi Qanun yang memang bermasalah? Atau, apakah ada faktor lain yang menyebabkan korban KS kurang terlindungi? Hanya saja, pertanyaan terakhir ini sedikit sukar diurai tanpa penelitian yang komprehensif.
ADVERTISEMENT
Meski begitu—untuk sekadar disebut, beberapa alasan seperti SDM Hakim yang sangat perlu ditingkatkan, hingga masalah sarana-prasarana dan biaya penanganan perkara yang terbilang kecil dianggap memengaruhi masalah di atas.
Tulisan ini akhirnya hanya ditujukan untuk memberi uraian kritis terhadap jarimah (tindak pidana) KS di dalam QJ. Kiranya tulisan ini juga akan memperkuat alasan mengapa QJ mesti direvisi, bahkan dekriminalisasi untuk tujuan pemberantasan KS yang lebih modern dan menyeluruh layak diajukan.

Kekerasan Seksual dalam QJ

QJ dalam masalah kekerasan seksual sepertinya mengacu pada KUHP yang mengatur KS dalam lingkup yang relatif terbatas. Jika dibandingkan, QJ memang melakukan perluasan di satu sisi, namun sebenarnya juga menyederhanakan berbagai perbuatan ke dalam dua jarimah saja, yakni perkosaan dan pelecehan seksual.
ADVERTISEMENT
Perkosaan adalah bagian yang dianggap lebih maju dari KUHP kala itu karena memperluas definisi perkosaan tidak melulu soal penetrasi kelamin laki-laki ke kelamin perempuan, melainkan juga penggunaan alat lainnya dan dapat saja dilakukan ke tempat lain seperti mulut dan dubur.
Jelasnya Pasal 1 angka 30 QJ itu mendefinisikan perkosaan sebagai “hubungan seksual terhadap faraj atau dubur orang lain sebagai korban dengan zakar pelaku atau benda lainnya yang digunakan pelaku atau terhadap faraj atau zakar korban dengan mulut pelaku atau terhadap mulut korban dengan zakar pelaku, dengan kekerasan atau paksaan atau ancaman terhadap korban.”
Berdasarkan definisi di atas, laki-laki juga mungkin menjadi korban menurut QJ—suatu hal yang sukar diterima dalam alam pikiran patriarki. Sedangkan KUHP peninggalan Belanda tidak demikian adanya. Laki-laki dalam konteks perkosaan mesti menjadi pelaku yang secara nyata menutup mata terhadap fakta bahwa laki-laki juga kerap menjadi korban perkosaan.
ADVERTISEMENT
Sementara cara melakukannya juga terbatas hanya dalam konteks hubungan badan yang sekarang dianggap ketinggalan zaman. Sementara pelecehan seksual oleh QJ sejatinya melingkupi beberapa perbuatan di dalam KUHP seperti perbuatan cabul dan pelanggaran susila, baik di depan umum maupun terhadap orang lain, kepada perempuan maupun kepada laki-laki sebagai korban.
Dua jarimah tersebut dibedakan oleh garis tegas bahwa pelecehan seksual tidak sampai pada memasukkan sesuatu ke faraj, dubur, atau mulut korban. Sedangkan persamaan keduanya terletak pada tiadanya kerelaan korban dalam hubungan tersebut. Atas dasar kesamaan itulah—menurut Qanun, hanya perkosaan dan pelecehan seksuallah yang kerap dipahami sebagai KS.

Bentuk Kekerasan Seksual Lainnya dalam QJ

Ilustrasi kekerasan seksual kepada wanita berhijab. Foto: Shutterstock
Tiadanya kerelaan atau karena unsur paksaan, kekerasan, atau ancaman kekerasan ini tidak berlaku dalam kasus yang korbannya adalah anak. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Kekerasan Seksual (UU TPKS) dengan tegas menjadikan segala bentuk hubungan seksual terhadap anak sebagai bentuk KS (Pasal 4 Ayat (2) huruf c).
ADVERTISEMENT
Dengan begitu, ternyata tidak hanya perkosaan dan pelecehan seksual, zina dengan anak (Pasal 34), ikhtilath dengan anak di atas 10 tahun (Pasal 26), liwath dengan anak (Pasal 63 Ayat (3)), dan musahaqah dengan anak (Pasal 64 Ayat (3)) mesti ditambah dalam daftar bentuk KS yang diatur oleh QJ.
Adapun masalah mendasar dari keempat jarimah di atas adalah konstruksinya yang merupakan pengembangan dari jarimah ikhtilath, zina, liwath, dan musahaqah. Dipandang bermasalah karena jarimah-jarimah tersebut lebih bernuansa “kerelaan dan saling suka” ketimbang suatu bentuk KS.
Artinya, filosofi yang terbangun, baik perumusan jarimah maupun ‘uqubatnya adalah pelarangan perbuatan, bukan tentang diserangnya kehormatan atau diri korban. Korban dalam keempat perbuatan ini malah tidak dianggap sebagai korban. Itu sebabnya tidak ada norma yang dapat digunakan sekiranya korban menginginkan pemulihan, restitusi, maupun bentuk-bentuk perlindungan dan pemenuhan hak lainnya.
ADVERTISEMENT
Korban justru terancam dengan kemungkinan kembalinya pelaku ke masyarakat dalam waktu yang relatif singkat akibat dari penjatuhan ‘uqubat cambuk. Bahkan, untuk jarimah ikhtilath dan zina dengan anak malah berpotensi melahirkan KS baru, yakni pemaksaan perkawinan.
Berbeda dengan perkosaan, di awal perumusannya bahkan terlihat sekali keinginan mengoreksi KUHP yang rumusannya terlalu sempit dan pidananya tergolong ringan. Hal ini terlihat dari perbandingan bahwa perkosaan dalam KUHP diancam dengan maksimal 12 tahun penjara, sedangkan Qanun menetapkannya dengan minimal 10 tahun dan maksimal 14,6 tahun penjara (lebih tinggi dua tahun enam bulan).
Setidaknya koreksi Qanun terhadap jarimah perkosaan tersebut membawa angin segar bagi korban. Hanya saja, tidak lama angin itu bertiup, korban kemudian dihadapkan dengan beban pembuktian (Pasal 52), sumpah sebagai pembelaan (Pasal 55 Ayat (2)), dan ancaman qadzaf (menuduh seseorang berzina) jika perkara perkosaan ini tidak terbukti (Pasal 54). Memang korban dapat saja lepas dari ancaman ‘uqubat, namun keadilan dan kemanfaatan hukum nyaris tidak akan ia rasakan.
ADVERTISEMENT

Upaya Pembaruan

Beberapa jarimah di atas sejatinya hanya bagian kecil dari 18 (Azriana, 2023) atau 19 bentuk KS menurut UU TPKS. Semua bentuk KS itu meliputi kekerasan yang diatur dalam UU TPKS dan UU lain sepanjang ditentukan dalam UU TPKS sebagai tindak pidana KS.
Melihat banyaknya peristiwa dan korban yang berjatuhan, serta buruknya nasib korban dalam QJ yang hanya dilindungi dari segi adanya restitusi dalam jarimah perkosaan, fakta ini mestinya diterima sebagai kekurangan.
Sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, seyogyanya keberadaan UU TPKS disambut dengan gembira karena maqashidu al-syariah yang relatif gagal diwujudkan oleh Qanun, telah diakomodir dengan lebih baik oleh peraturan di atasnya.
Hanya saja, secara politis hal ini dianggap menggerus kewenangan. Padahal, pilihan seharusnya adalah, mana yang lebih melindungi dan memenuhi hak-hak korban, alih-alih soal kekhususan.
ADVERTISEMENT