Konten dari Pengguna

Membaca Arah Pengawasan Pemilu di Aceh: UUPA VS Putusan MK

Khairil Akbar
Dosen hukum pidana (juga hukum pidana Islam) pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala. Memiliki ketertarikan pada isu perempuan, hak asasi, dan demokrasi (khususnya Pemilu).
16 September 2025 10:55 WIB
·
waktu baca 6 menit
clock
Diperbarui 25 September 2025 16:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Membaca Arah Pengawasan Pemilu di Aceh: UUPA VS Putusan MK
Artikel ini akan menjelaskan babak baru dari polemik kelembagaan Pemilu di Aceh dan menghubungkannya dengan evolusi rezim Pemilu di satu sisi, dan penguatan lembaga pengawas Pemilu di sisi lainnya.
Khairil Akbar
Tulisan dari Khairil Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi surat suara Pemilihan Umum Pasca Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024. Generated by Gemini.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi surat suara Pemilihan Umum Pasca Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024. Generated by Gemini.
ADVERTISEMENT
Di tahun 2017, dualisme kelembagaan pengawas Pemilu pernah diselesaikan melalui uundang-undang Pemilu (UU Pemilu). Sayangnya, ikhtiar tersebut kandas oleh putusan MK hanya karena kesalahan prosedur pembentukannya. Waktu itu pengawas Pemilu memang masih terpisah dari pengawas Pilkada/Pemilihan di tingkat Kabupaten/Kota. Namun kemudian, MK malah memutus bahwa Pengawas Pemilu adalah lembaga yang akan mengawasi pula Pilkada.
ADVERTISEMENT
Meski secara kronologis putusan semacam itu dapat dimaklumi, namun bagi Aceh yang pengawasan Pilkadanya diatur melalui Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), apakah eksistensinya menjadi ikut diintegrasikan, atau tetap dalam dua lembaga pengawasan (ad hoc untuk Pilkada; permanen untuk Pemilu)? Masalah ini kiranya akan lebih baik jika diulas dalam tulisan terpisah.
Artikel ini sendiri akan menjelaskan babak baru dari polemik kelembagaan Pemilu di Aceh dan menghubungkannya dengan evolusi rezim Pemilu di satu sisi, dan penguatan lembaga pengawas Pemilu di sisi lainnya. Terkait dengan evolusi rezim Pemilu, diketahui bahwa Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 kembali mempertegas bahwa Pilkada adalah bagian dari rezim Pemilihan Umum (Pemilu).
Putusan tersebut bukan sekadar penegasan, juga memperkenalkan istilah (model) baru dalam Pemilu, yakni Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal. Pemilu yang semula merupakan sarana untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan anggota DPRD, sekarang harus diartikan pula sebagai sarana untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.
ADVERTISEMENT
Sebelum adanya Putusan 135, Pemilu secara normatif memang sudah harus dibaca demikian. Namun, karena praktiknya masih memisahkan Pemilu dan Pilkada, maka pesan penyatuan rezim belum seutuhnya bisa diterima. Di tahun 2024, meski penyelenggaranya adalah lembaga yang sama dengan Pemilu, istilah Pilkada atau Pemilihan serentak masih digunakan.
Ke depan, sekiranya undang-undang Pemilu dan Pilkada masih berlaku hingga 2031-2032, bisa jadi pendefinisian di atas juga akan kehilangan substansinya. Jika ini yang terjadi, maka pengintegrasian sistem Pemilu dapat dikatakan gagal karena ketiadaan legitimasi politik. Secara tidak langsung DPR sebagai pembentuk undang-undang hendak mengatakan bahwa “bukan hukum yang mengatur politik, melainkan politiklah yang melahirkan—karenanya juga mengatur—hukum”.
Hanya saja, meski diyakini sangat problematik, rezim ini kiranya akan mencari solusi melalui rekayasa konstitusional agar putusan yang bersifat final dan mengikat tetap dapat dilaksanakan. Sebagai negara hukum, memang sudah seharusnya hukum ditaati, bukan digonta-ganti sesuka hati. Pembentukan hukum oleh lembaga politik bukan berarti bahwa politik melahirkan hukum. Politik harus dipahami sebagai proses melahirkan hukum, bukan yang melahirkannya.
ADVERTISEMENT
Sekiranya Putusan 135 itu ditaati, Pemilu Indonesia akan keluar dari lubang-lubang masalah yang selama ini dihadapi. Dua di antara sekian banyak lubang masalah Pemilu Indonesia itu adalah pragmatisme politik dan kelembagaan Pemilu, khususnya lembaga pengawas Pemilu. Pragmatisme politik mengacu pada praktik berdemokrasi yang mengedepankan hasil dibanding proses. Di dalam kontestasi Pemilu, praktik ini kerap dilakukan dengan cara mengusung tokoh-tokoh populis, artis, atau bahkan sekadar yang memiliki modal besar.
Bukan berarti Putusan 135 akan menyelesaikan masalah tersebut seluruhnya. Bisa jadi, pragmatisme politik masih akan terus terjadi karena lemahnya ideologi partai. Namun, dengan fragmentasi Pemilu, setidaknya isu daerah akan tetap kuat karena tidak dilakukan secara bersamaan dengan Pemilu nasional yang mengusung isu-isu nasional. Selain itu, para pemilih juga tidak terganggu dengan isu lain yang tidak diperlukan.
ADVERTISEMENT
Kedua, eksistensi penyelenggara Pemilu yang telah permanen hingga ke Kabupaten/Kota menjadi relevan. Sekiranya Pemilu 2024 terulang di tahun 2029 dan berlanjut ke tahun 2034, maka ada kekosongan yang begitu panjang di mana lembaga penyelenggara Pemilu tidak melakukan kerja-kerja penyelenggaraan yang merupakan fungsi utama lembaganya.
Akibatnya, usulan membubarkan lembaga penyelenggara Pemilu Kabupaten/Kota menjadi logis untuk dibubarkan. Lembaga yang paling disorot adalah lembaga pengawas Pemilu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu yang dirasa tidak terlalu penting dalam skema Pemilu lima tahunan. Lembaga tersebut, jika dibutuhkan, dijadikan saja seperti semula, yakni sebagai panitia yang dapat dibentuk menjelang perhelatan Pemilu dengan masa kerja dua tahunan atau lebih enam bulan.
Putusan 135 dengan begitu dapat dikatakan sebagai penyelamat keberadaan penyelenggara Pemilu yang selama ini telah berkontribusi dalam penguatan sistem demokrasi Indonesia. Pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal dengan selisih waktu 2 hingga 2,5 tahun telah menjadikan mesin lembaga terus bekerja mempersiapkan penyelenggaraan Pemilu yang efektif dan mudah-mudahan bisa lebih efisien. Setidaknya, penyelenggaraan demikian akan menggerakkan demokrasi ke arah yang lebih berkualitas dan substantif.
Evolusi Pengawasan Pemilu di Indonesia.
Di Aceh, perbaikan-perbaikan atas sistem demokrasi sayangnya terhambat oleh kepentingan politik segelintir orang. Kekhususan Aceh menjadi senjata ampuh untuk mempertahankan status quo yang sebenarnya justru membuat Aceh stagnan, diam di tempat. Bukan semata politisi yang melakukannya, tampaknya penyelenggara Pemilu bentukan UUPA juga memanfaatkan kekhususan agar terlihat mendukung posisi lembaga yang merekrutnya.
ADVERTISEMENT
Pengawasan ganda dalam Pemilu akan terus terjadi jika Aceh bersikukuh mempertahankan eksistensi Panitia Pengawas Pemilihan versi UUPA. Sejauh ini, penyatuan pengawasan Pemilu sejatinya telah diterima secara luas di Aceh. Hanya saja, penerimaan itu tetap dengan syarat: asal direkrut oleh DPRA/DPRK sesuai tingkatan. Argumen semacam itu tidak hanya mencederai sifat kelembagaan penyelenggara Pemilu, juga bertentangan dengan Putusan MK Nomor 48/PUU-XVII/2019.
Lagi pula, yang terjadi sejauh ini adalah pergeseran Pilkada ke rezim Pemilu, bukan sebaliknya. Belakangan, ketika kewenangan pengawasan Pilkada, khususnya penanganan pelanggaran administratif dalam Pilkada dipersoalkan, MK lagi-lagi menyatakan inkonstitusional bersyarat kewenangan tersebut. Syaratnya adalah, kewenangan tersebut harus dimaknai sebagaimana kewenangan dalam penyelesaian pelanggaran administratif sesuai UU Pemilu: rekomendasi harus dimaknai sebagai putusan.
ADVERTISEMENT
Hal-hal semacam ini bukan tidak bisa dibaca oleh elit- elit politik Aceh. Ego kekhususan telah membutakan mereka sehingga enggan membaca arah perbaikan sistem Pemilu di Indonesia. Akibatnya, bukannya mengikuti arah itu, Aceh dengan para politisi dan berbagai elemen yang mendukungnya malah berupaya membawa Pemilu ke rezim Pemerintahan Aceh yang berarti akan mempertahankan keberadaan rezim Pilkada/Pemilihan. Bukannya demokratitasi Pemilu, di Aceh yang terjadi adalah desentralisasi.
Ilustrasi kebingungan mahasiswa Aceh saat demo di DPRA. Generated by Gemini.
Contoh terakhir dari kegagalan Aceh menangkap arah perbaikan demokrasi adalah ketika MK menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah misalnya, alih-alih mendukungnya dengan mendorong perubahan UUPA, KIP Aceh justru menyangkal keberlakuan putusan tersebut bagi Aceh. Ketika mahasiswa turun ke jalan dalam aksi menolak penganuliran putusan MK yang terendus diprakarsai oleh DPR, mahasiswa Aceh sayangnya terkecoh manuver DPR tanpa menyadari putusan tersebut diabaikan oleh KIP Aceh.
ADVERTISEMENT
Di simpang rezim Pemilu pasca putusan 135, sikap kekeh terhadap keberlakuan UUPA hanya akan menambah absurditas pengawasan ganda. Ketika Pemilu lokal terlaksana, maka akan ada dua lembaga yang mengawasi secara bersama. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini kedua lembaga akan sama-sama bekerja. Panwaslih versi UU Pemilu akan mengawasi Pemilu DPRA/DPRK, Panwaslih versi UUPA akan mengawasi Pilkada. Bayangkan ketika terjadi perbarengan dalam pelanggarannya, Panwaslih mana yang akan menanganinya?
Jika arah perbaikan dan penguatan lembaga pengawas Pemilu yang belakangan begitu progresif dilakukan melalui putusan MK dirasakan penting bagi Aceh, maka satu-satunya cara adalah, konsisten mengikuti putusan MK secara kronologis. Artinya, keberadaan Panwaslih versi UUPA harus diintegrasikan ke Panwaslih versi UU Pemilu sesuai Putusan Nomor 48/PUU-XVII/2019. Bahkan, kata "Panitia" dalam UU Pemilu kiranya perlu diganti dengan sebutan "Badan" sekiranya terjadi perubahan undang-undang.
ADVERTISEMENT