Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.5
23 Ramadhan 1446 HMinggu, 23 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Perempuan dan Kejahatan: Belajar dari Pembelaan Al-Quran
21 Maret 2025 12:15 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Khairil Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Artikel ini merupakan lanjutan dari opini “Perempuan dan Kejahatan: Kritik terhadap Formulasi Delik dalam Hukum Pidana” yang terbilang menggantung karena berhenti pada kritik tanpa solusi yang memadai. Karena dianggap kurang, sudah barang pasti artikel ini ditujukan untuk melengkapi bagian lain dari artikel sebelumnya. Sesuai judul, kali ini upaya yang dilakukan adalah menghadirkan model perumusan, atau setidaknya memberikan suatu perspektif yang lebih adil dalam memotret relasi perempuan dan kejahatan.
ADVERTISEMENT
Sebelum beranjak lebih jauh, narasi yang dipandang tidak adil dalam melihat hubungan perempuan dan kejahatan adalah narasi yang menempatkan perempuan sebagai sumber kejahatan sekaligus penjahat (pendosa) itu sendiri. Narasi demikian pada gilirannya memerlukan delik yang dikhususkan untuk menjerat perempuan sebagaimana tercermin dalam delik pembunuhan anak dan pengguguran janin (aborsi). Padahal, peran laki-laki justru sama pentingnya dalam kedua delik itu karena janin dan anak adalah hasil dari perbuatan laki-laki dan perempuan (kecuali pada proses kelahiran Isa/Yesus dalam perspektif agama).
Penempatan perempuan sedemikian itu juga berdampak pada tidak dipercayainya perempuan yang mengaku sebagai korban dari kejahatan laki-laki sebagaimana tercermin dalam delik perkosaan yang diatur oleh Qanun Jinayat di Aceh. Alih-alih mendapat pembelaan yang memadai, perempuan malah dicurigai sebagai pelaku qadzaf yang harus mendatang bukti untuk terbebas dari sangkaan. Tidak hanya itu, dalam posisinya yang relatif mustahil melakukan qadzaf, anak perempuan korban perkosaan malah semakin terancam oleh ketidakadilan hukum yang mengabaikan hak restitusinya.
Hukum pelindungan perempuan yang digadang-gadang akan melindungi perempuan nyatanya juga disusupi oleh perspektif yang bias gender. Dan ini bisa dibilang sebagai narasi ketidakadilan gender yang sulit terlihat. Karena sifatnya yang terselubung, terkadang masyarakat malah menganggap pelindungan yang disusupi itu sebagai pahlawan yang akan mengeluarkan perempuan dari lembah keterpurukan. Padahal, dibalik misinya melindungi perempuan, ada status yang hendak dipertahankan, yaitu kedudukan perempuan sebagai kaum yang lemah dan perlu diperhatikan.
ADVERTISEMENT
Apa yang salah dari misi pelindungan yang demikian? Kesalahannya terletak pada perspektif atau paradigma yang melandasi perbuatan. Ini persis seperti seorang pendakwah yang menasehati ke jalan yang benar, tapi dibalik nasehat yang ia berikan terdapat keangkuhan perasaan paling benar. Menasehati memang benar, bahkan agama didefinisikan sebagai nasehat itu sendiri (al-dinu nashihah). Tapi, nasehat-menasehati adalah pekerjaan yang justru diawali dari harapan si pendakwah akan kebaikan dirinya. Mudah-mudahan, dengan nasehat yang ia berikan, Tuhan memberikan ganjaran kebaikan. Demkian pula kerja-kerja pelindungan yang sebanding dengan pemberdayaan, ia harus berlandas pada prinsip kesetaraan dan keadilan.
Lantas narasi seperti apa yang dipandang lebih adil dalam melihat hubungan perempuan dan kejahatan? Untuk menjelaskannya, sejarah pembelaan al-Quran terhadap perempuan kiranya perlu diproduksi ulang. Pasalnya, belakangan al-Quran justru dituduh sebagai sumber legal yang menyokong ketidakadilan sebagaimana Qanun Jinayat (sebagai bukti) yang diklaim telah mengikuti al-Quran. Diproduksi ulang artinya narasi yang pernah ada itu jangan dijadikan sebatas teks yang tersimpan, melainkan harus dijadikan mainstream dalam kajian dan dikampanye secara berkelanjutan. Bila perlu, narasi itu diberi sentuhan baru yang lebih sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
ADVERTISEMENT
Dulu, ketika perempaun terus menjadi sasaran perundungan kaum pria, khususnya ketika perempuan begitu mudah dianggap sebagai penzina, bahkan hal itu mereka lakukan kepada ‘Aisyah R.A (isteri nabi), Allah malah memaksa si penuduh untuk mendatangkan empat orang saksi—suatu beban yang nyaris tidak akan pernah bisa dilakukan—untuk membela perempuan. Ketika laki-laki itu tidak bisa menghadirkan empat orang saksi, maka ia justru terancam 80 (delanapn puluh) kali cambukan, 20% lebih ringan dari perbuatan yang dialamatkannya kepada perempuan. Pembelaan demikian itu terekam dalam surat al-Nur ayat keempat. Tidak hanya itu, kesaksian si penuduh (pelaku qadzaf) tidak diterima selamanya.
Al-Quran tidak pernah merekam suatu delik yang dikhususkan kepada perempuan, tapi sebaliknya pernah merumuskan satu larangan menuduh perempuan baik-baik berbuat zina yang secara teks ditujukan kepada laki-laki. Artinya, al-Quran mampu menangkap realitas patriarki yang secara perlahan menggantikannya dengan sistem hukum yang lebih equal, meski dalam praktiknya, idealisasi relasi yang setara itu kerap berhenti pada contoh dan bentuk-bentuknya yang telah diafirmasi. Satu dua contoh afirmasi memang mencapai kesetaraan dan relevan sampai saat ini. Tapi, beberapa contoh lainnya harus diakui justru gagal dimaknai sebagai contoh atau bentuk yang masih memerlukan pengembangan.
ADVERTISEMENT
Kembali ke persoalan, narasi yang lebih adil dalam melihat relasi perempuan dan kejahatan adalah narasi yang menempatkan perempuan sebagai subjek yang utuh layaknya laki-laki; yang mampu menangkap realitas adanya ketidaksetaraan, bukan malah menjadikannya sebagai idealitas dalam misi pelindungan. Narasi semacam ini menganggap potensi kejahatan laki-laki sama besarnya dengan potensi kejahatan perempuan. Jika perempuan bisa menjai sumber kejahatan laki-laki, maka harus dipahami pula bahwa laki-laki bisa menjadi sumber kejahatan perempuan. Jika laki-laki bisa menjadi penjahat, perempuan juga demikian. Kondisi semacam ini tidak semestinya mengasihani perempuan sebagaimana yang pernah terjadi di kasus korupsi Jaksa Pinangki. Pengurangan pidana oleh hakim (sebagai bentuk belas kasihan) dalam kasus tersebut hanyalah “akal-akalan” yang mengatasnamakan keberpihakan kepada perempuan.
ADVERTISEMENT
Rumusan delik dan hukum acara pidana harus mampu melihat realitas untuk mengubahnya sesuai dengan apa yang seharusnya (idealitas). Hukum semestinya memberi kemudahan bagi perempuan untuk memperoleh keadilan, alih-alih membebani pembuktian kepada mereka. Dalam konteks pembuktian itu, beberapa kejahatan harusnya beralih pada kualitas bukti dan bukan kuantitasnya. Sebab, bisa dibayangkan bagaimana beratnya minimum alat bukti yang dimaknai sebagai kuantitas diperoleh dalam kasus kekerasan? Bukankah pelaku justru hanya akan melancarkan aksinya di tempat sunyi dan privasi seperti rumah tangga? Apakah bijak kejahatan demikian justru diperhadapkan dengan ketentuan yang mencurigai perempuan? Bukankah dalam peristiwa tertentu kesaksian perempuan justru yang paling valid?
Di sini, perempuan harus benar-benar dilindungi dalam makna yang sesungguhnya, yakni suatu usaha untuk menempatkan mereka di posisi yang setara; posisi yang tidak seharusnya menjadikan mereka sebagai korban, apalagi dalam posisi yang demikian malah kembali disalahkan (victim blaming). Apa yang pernah dilakukan al-Quran seharusnya menjadi inspirasi dalam menghadirkan hukum yang lebih melindungi dan memberdayakan perempuan. Tentu penjelasan ini tidak sebatas perempuan sebagai pelaku dan korban. Narasi ini bisa terus dikembangkan ke arah yang lebih luas dan kontektual seperti penggunaan Qiraah Mudalah dalam formulasi delik, atau menggunakan pendekatan kritis dalam memotret sebab, pola, dan dampak dari kejahatan agar tersusun aturan pemidanaan yang lebih proporsional dan equal. Dengan begitu, relasi usang yang pernah dibicarakan perlahan akan ditinggalkan.
ADVERTISEMENT