Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.5
22 Ramadhan 1446 HSabtu, 22 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Perempuan dan Kejahatan: Kritik terhadap Formulasi Delik dalam Hukum Pidana
14 Maret 2025 10:51 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Khairil Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Isu perempuan akan terus berkelindan dengan kejahatan, khususnya kejahatan yang senantiasa mengeksploitasi tubuh perempuan. Selain sebagai korban, perempuan juga kerap dipandang sebagai pelaku kejahatan (dosa) itu sendiri. Parahnya, dalam keadaannya sebagai korban sekalipun, sosok perempuan tetap memiliki celah untuk dipersalahkan.
ADVERTISEMENT
Kasus perkosaan misalnya, akan ada saja komentar kontraproduktif yang mempersoalkan cara berpakaian perempuan. Komentar semacam itu mungkin hanya berhenti jika kasus tersebut menimpa “santriwati” yang notabenenya berpakaian sesuai “ketentuan”. Setidaknya, setiap perempuan menjadi korban kejahatan, dugaan pertama justru dialamatkan pada perempuan; seakan laki-laki terjebak oleh rayuan mereka.
Di antara contoh yang terjadi belakangan adalah kasus “Agus” yang sempat mengecoh pengacara kondang yang hendak memberinya bantuan hukum. Kiranya emosi publik juga mendukung Agus karena keadaannya yang dipandang “tidak mungkin melakukan kekerasan seksual”. Barulah setelah mendapat penjelasan dari pihak Kepolisian, publik mulai sadar bahwa kekerasan seksual yang mereka pahami sangat bersifat patriarki; bahwa perkosaan hanya mungkin terjadi jika laki-laki secara aktif memaksa korbannya melakukan persetubuhan. Akibatnya, simpati justru tertuju ke Agus dibanding korban-korbannya yang seluruhnya adalah perempuan.
ADVERTISEMENT
Cara pandang yang kurang sensitif gender juga pernah disampaikan dalam forum ilmiah RUU KUHP. Dengan enteng seorang pembicara memberi penjelasan bahwa perkosaan hanya mungkin terjadi jika “burung” pria berdiri. Sontak penjelasan itu mengundang tawa peserta yang secara tidak sadar ikut menyetujuinya.
Lebih lanjut, pembicara juga turut mengkritik delik perkosaan yang berpotensi menjerat suami. Mengutip suatu hadis, pembicara itu dengan gagah mengatakan bahwa, “Malaikat melaknat perempuan yang tidak mau melayani suaminya.”
Lagi-lagi, sikap memaksa seseorang berhubungan badan, sekalipun itu istrinya, malah membuat perempuan yang dipaksa menjadi pendosa (penjahat). Sebegitu menyedihkannya kah perempuan? Pertanyaan retoris tersebut justru akan dipertegas dalam tulisan ini melalui gambaran usang hubungan perempuan dan kejahatan yang sejatinya tidak cukup dengan mengaturnya secara netral dalam hukum pidana.
ADVERTISEMENT
Harus diakui, merumuskan subjek kejahatan dalam hukum pidana secara netral (netral gender) mencerminkan hukum yang equal; yang tidak membedakan pelaku dari jenis kelaminnya. Namun, ternyata, memukul rata semua delik melalui pengaturan semacam itu, tanpa disadari justru menciptakan ketidakadilan berbasis gender.
Hal ini dimungkinkan karena setidaknya dua sebab, pertama bahwa suatu kejahatan tertentu nyaris seluruhnya mengorbankan perempuan, dan kedua terdapat pula kejahatan yang pelakunya hanya perempuan, sehingga rumusan delik yang netral gender terkesan basa-basi. Tapi, jika subjeknya adalah ibu atau perempuan saja, bukankah hukum pidana menjadi alat kriminalisasi kepada perempuan? Hal ini akan diurai lebih jauh dengan menjadikan Qanun Jinayat Aceh (selanjutnya disingkat Qanun) dan KUHP sebagai objek kritikan.
Pertama delik (tindak pidana) perkosaan, atau bahasa Qanunnya disebut jarimah pemerkosaan. Definisi perkosaan dalam Qanun terbilang lebih maju sebelum UU 1/2023 disahkan. Namun, definisi yang sudah baik itu ternyata tetap berpolemik dari aspek perumusannya. Beberapa hal yang dianggap bermasalah adalah bagaimana restitusi diformulasikan sebatas hak korban dewasa atau mereka yang memiliki hubungan mahram dengan pelaku. Anak perempuan tidak memiliki hak ini menurut Qanun. Restitusi itu bahkan berpeluang besar tidak diperoleh korban karena sifatnya yang bergantung pada permintaan korban dan kesanggupan pelaku. Jika korban miskin, pupuslah harapan korban mendapatkan pemulihan melalui restitusi.
Selain itu, delik ini juga dirumuskan secara inkonsisten: di satu sisi sebagai delik biasa, di sisi lain sebagai delik aduan yang parahnya dipersamakan pula dengan pengakuan. Formulasi delik yang demikian tentu menjadi benteng penghambat pelindungan terhadap perempuan. Bisa dibayangkan, mereka yang hendak melaporkan perkosaan atas dirinya justru diperhadapkan dengan pertanyaan, “Ada bukti, tidak?” Jika dijawab tidak, maka korban berpotensi pula dianggap melakukan qadzaf, suatu perbuatan menuduh orang lain berzina.
ADVERTISEMENT
Sampai di sini, bahkan pengakuan dengan ancaman yang menimpa korban sulit diterima akal. Bagaimana mungkin, kalimat “Saya diperkosa” malah disejajarkan dengan “sifulan telah berzina dengan saya”. Lagian, kenapa khusus untuk kejahatan yang korbannya didominasi oleh perempuan, Qanun yang sejatinya adalah hukum material malah diselipkan aspek formal yang presumtion of guilty-nya justru kepada korban?
Jika diberi saran, biarkan saja kasus itu ditemukan oleh Polisi (termasuk wilayatul hisbah)! Masalahnya, bagaimana mereka bisa tahu? Atau, jika mereka mencari tahu, masalahnya, sampai kapan? Bukankah mereka justru akan berkilah dengan menanyakan balik, “kenapa korban tidak mengajukan pengaduan sebagaimana tertera pada pasal 52?”
Di sinilah menjebaknya rumusan delik dalam Qanun. Jika korban secara aktif mau melaporkan, penegak hukum berpeluang menganggapnya sebagai pengaduan yang karenanya akan meminta bukti permulaan pada korban. Terlepas dari itu, bukankah semakin terang bagaimana rumusan yang netral dalam hukum pidana malah menguntungkan laki-laki?
ADVERTISEMENT
Kedua tindak pidana merampas nyawa anak dan pengguguran janin (aborsi) dalam KUHP. Jika netral gender saja tidak cukup, bisa dibayangkan ketika suatu delik rumusan subjeknya hanya satu gender, yaitu perempuan? Lengkapnya, delik dimaksud berbunyi “Seorang ibu yang merampas nyawa anaknya pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan, karena takut kelahiran anak tersebut diketahui orang lain, dipidana karena pembunuhan anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun (Pasal 460 KUHP)”. Pasal lain mengatakan, “Setiap perempuan yang melakukan aborsi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun (Pasal 463 KUHP)."
Dua pasal tersebut menggambarkan alam bawah sadar perumusnya yang membayangkan bejatnya dua kejahatan itu dan perempuanlah pelakunya. Bukan asumsi itu salah, sebab memang ada perempuan yang melakukan dua kejahatan tadi. Pertanyaan mendasarnya adalah, apakah dalam peristiwa itu laki-laki tidak ada? Kenapa mereka diperkenankan lepas tanggung jawab? Bukankah aborsi dan membunuh bayi dipicu oleh (salah satunya) ketiadaan sosok laki-laki yang menguatkan ibu atau perempuan untuk mempertahankan hasil hubungan mereka? Bukankah semestinya, ditambah pasal berikutnya yang pada pokoknya memidana laki-laki yang merupakan ayah biologis janin atau bayi jika tidak melarang pasangannya melakukan perbuatan tersebut?
ADVERTISEMENT
Dua pasal dalam KUHP di atas dirumuskan secara tidak netral dan sekadar memenuhi unsur logis dari suatu aturan, belum menyentuh aspek keadilan. Hal ini dipertegas dengan mudah ketika kita tidak akan menemukan satu delik pun dalam KUHP itu yang pelakunya adalah laki-laki. Artinya, menurut KUHP, apa yang mungkin dilakukan laki-laki, mungkin pula dilakukan perempuan. Tapi, ada kejahatan yang memang miliknya perempuan sehingga laki-laki tidak semestinya ikut dalam pengaturannya, apalagi dipidananya karenanya. Aliran kritis dalam kajian kriminologi menganggap pengaturan semacam ini sebagai mitos di mana hukum kenyataannya dibuat oleh kelompok dominan (kaya, laki-laki, mayoritas) untuk mempertahankan status quo.