Konten dari Pengguna

Prinsip Legalitas VS Qiyas (Analogi) dalam Hukum Pidana

Khairil Akbar
Dosen hukum pidana (juga hukum pidana Islam) pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala. Memiliki ketertarikan pada isu perempuan, hak asasi, dan demokrasi (khususnya Pemilu).
9 April 2025 9:16 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khairil Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Persoalan memidana orang, khususnya bagi negara yang mengklaim dirinya sebagai negara hukum tidak dapat dilakukan semaunya penguasa. Seorang hakim juga dibatasi oleh prinsip dan ketentuan dalam melakukannya. Hanya saja, batasan itu kerap dianggap menodai rasa keadilan di masyarakat jika hakim semata-mata menerapkan pasal-pasal yang ada dalam peraturan perundang-undangan saja. Tapi, jika bukan berdasarkan peraturan perundang-undangan, lalu berdasarkan apa seseorang boleh dipidana?
ADVERTISEMENT
Artikel ini mencoba mengurai polemik prinsip legalitas dalam hukum pidana yang diperhadapkan dengan qiyas (kias/analogi) sebagai sumber/dasar yang justru dikenal dalam hukum, terlebih hukum Islam. Hal ini tidak berarti hukum Islam menerima begitu saja kias atau analogi. Larangan analogi sejatinya juga dikenal dalam hukum pidana Islam (jinayah) meski di sisi lain merupakan dasar/sumber hukum.
Prinsip legalitas sendiri merupakan asas yang menyatakan bahwa pemidanaan harus didahului oleh peraturan pidana. Tidak boleh suatu perbuatan dipidana dengan aturan yang dibuat belakangan setelah adanya perbuatan. Dengan kata lain, peraturan terlebih dahulu ada, baru suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana dan karenanya dapat dijatuhi sanksi pidana.
Sumber: https://www.pexels.com/
Negara tidak dapat memidana seseorang sekenanya tanpa melakukan kriminalisasi ke dalam peraturan yang berlaku. Mengingat fundamentalnya prinsip legalitas ini, Buku Kesatu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menempatkannya pada BAB 1 Pasal 1 ayat (1), yang menyatakan “Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.”
ADVERTISEMENT
Artinya, ketika seseorang membaca hukum pidana, maka norma pertama yang dijumpainya adalah prinsip legalitas. Prinsip ini pula yang menjadi antitesa terhadap hukum lain yang terkadang malah tidak memerlukan aturan (tertulis). Meski begitu, jika mengacu pada pandangan Barda Nawawi, perbuatan lain itu bukan tidak memerlukan aturan, melainkan diatur oleh hukum lain yang disebutnya sebagai hukum tidak tertulis. Nantinya, pengakuan terhadap hukum tidak tertulis itu memperkenalkan prinsip legalitas materiel yang sebelumnya hanya ada legalitas formal.
Keberadaan prinsip legalitas materiel berbeda sama sekali dengan analogi. Prinsip ini tetap mempersyaratkan adanya aturan sebelum adanya perbuatan; sementara analogi bekerja justru menghadirkan aturan baru atas perbuatan yang lebih dulu ada. Hanya saja, legalitas materiel itu mengacu pada aturan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Hukum demikian seringnya disebut sebagai hukum adat meski peraturan tidak membatasinya pada hukum adat.
ADVERTISEMENT
Kembali ke prinsip legalitas, selain memiliki arti non-retroaktif, makna prinsip legalitas itu semakin diperketat dengan adanya larangan analogi pada pasal yang sama. Artinya, bicara soal prinsip legalitas, maka terkandung larangan analogi di dalamnya. Hal ini disebabkan karena dengan adanya analogi, maka akan ada perbuatan baru yang bisa dipidana jika memiliki kemiripan atau kesamaan alasan (‘illat) pada tindak pidana yang telah ada dalam peraturan sebelumnya.
Analogi atau kias dengan begitu harus dipahami sebagai “bertentangan dengan prinsip legalitas” yang justru melarang tindakan memidana seseorang sebelum ada aturannya. Jika dianggap perlu memidana perbuatan yang telah terjadi, yang mesti dilakukan adalah memasukkan perbuatan baru itu ke dalam aturan baru atau perubahan. Hakim tidak boleh berkilah “mengedepankan keadilan dibanding kepastian” hanya untuk memidana suatu perbuatan yang belum ada ketentuannya.
Ilustrasi kriminalisasi. Sumber: https://www.pexels.com/
Sebagai contoh, sekiranya arus listrik tidak termasuk sebagai bagian dari definisi barang, maka pencurian atas arus listrik seharusnya tidak dapat dipidana jika pencurian didefinisikan terbatas pada “mengambil barang secara melawan hukum”. Demikian pula pengeboman yang berupaya meneror warga berdasarkan motif agama atau ideologi tertentu, tidak bisa dianggap sebagai terorisme jika undang-undang terorismenya baru disahkan pasca pengeboman; lebih-lebih memidana mati pelaku teror berdasarkan aturan baru.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan hukum pidana Islam, meski hadis terkait pemidanaan dalam jarimah (delik) khamar disebut secara spesifik kepada peminum khamar, namun berdasarkan sifatnya yang memabukkan (muskir), narkoba atau jenis minuman dan obat-obatan lain yang memabukkan justru bisa dipidana meski tanpa nash (baca: peraturan). Artinya, perbuatan baru akan terancam sebagai kejahatan melalui metode kias. Meski baik dalam mencegah potensi kejahatan baru, pembenaran terhadap metode ini juga mengancam hak asasi setiap orang melalui kriminalisasi yang berlebihan.
Ilustrasi KUHP. Sumber: https://www.istockphoto.com/
Sekalipun kias merupakan dasar/sumber hukum dalam Islam, nyatanya hukum pidana Islam juga mengenal adanya larangan yang serupa dengan larangan analogi. Bedanya, larangan analogi khusus terhadap perakara yang dikategorikan sebagai hudud sebagaimana tercermin dalam kaidah, “la qiyasa fi al-hudud” (terjemahan: tidak ada kias dalam perkara hudud). Kiranya larangan analogi itu juga berhubungan dengan kaidah “la jarimata wa la ‘uqubata illa bi al-nash” (terjemahan: tiada tindak pidana, tidak ada pula sanksi pidana kecuali terdapat nash (Al-Quran dan Sunah) yang mengaturnya) yang semakna dengan prinsip legalitas pada Pasal 1 ayat (1) KUHP.
ADVERTISEMENT
Lantas, apakah dengan begitu kias menjadi tidak relevan dalam hukum pidana? Karena KUHP tidak mengenal klasifikasi hudud sebagaimana hukum pidana Islam, maka kias memang tidak relevan dalam hukum pidana. Itu artinya, KUHP sedikit banyaknya memiliki karakter yang sama dengan hudud, khususnya terkait prinsip legalitas ini. Meski begitu, kesimpulan banyak sarjana syariah di republik ini justru menempatkan KUHP sebagai takzir.
Jika diusulkan agar KUHP mengadopsi klasifikasi takzir dan hudud, pertanyaannya apakah itu berarti kias jadi diperkenankan? Sebagai suatu kaidah, prinsip legalitas sama absahnya dengan kias, bahkan kias bisa lebih unggul karena ia merupakan dasar/sumber dari prinsip legalitas itu sendiri. Lalu, mengapa kedua hal ini terlihat berhadap-hadapan; bahkan bertentangan? Dengan pertanyaan lain, apakah kias benar-benar diterima layaknya Al-Quran dan Sunah, atau sebaliknya prinsip legalitas itu yang sebenarnya tidak begitu tegas dalam hukum Islam?
ADVERTISEMENT
Jawabannya akan semakin pelik ketika ternyata contoh kias yang kerap digunakan justru adalah jarimah khamar. Contoh ini bahkan dianggap paling baik karena alasan hukumnya (‘illat) justru disebut langsung oleh nash. Dengan kata lain, mengatakan khamar haram karena Allah mengharamkannya, sama kuatnya dengan khamar haram karena memabukkan. Ini relatif berbeda dengan perintah atau larangan lain yang kerap dijawab karena perintah dan larangan itu sendiri tanpa tahu alasannya (maqasidnya).
Ilustrasi penggunaan narkoba. Sumber: https://www.pexels.com/
Dengan begitu, apakah pemidanaan narkoba berdasarkan kias dapat dibenarkan? Jika benar, maka kaidah 'la qiyasa fi al-hudud' harusnya ditolak. Hanya saja, terdapat penjelasan lain yang bisa menempatkan prinsip legalitas dan kias dapat diterima secara bersamaan. Ini kiranya bagian uni yang menunjukkan kekuatan dari metodologi ushul fiqih dalam merespons dinamika zaman.
ADVERTISEMENT
Pertama, larangan kias dalam kaidah itu berkenaan dengan hudud. Hudud sendiri merupakan jarimah dan ’uqubat (sanksi). Ketika jarimah khamar dijadikan contoh terhadap penyalahgunaan narkoba, yang dikiaskan hanyalah hukumnya (haram, makruh, mubah, sunah, atau wajib), bukan hukumannya (hudud). Menurut Jumhur, sanksi narkoba tetap jatuhnya sebagai takzir yang menurut Yusuf al-Qardhawi justru dapat dipidana mati.
Jika hukumannya tidak bisa dikiaskan, otomatis jarimah atau tindak pidana narkoba juga tidak dapat dianggap sebagai jarimah hudud karena jarimah hudud sanksinya haruslah hudud. Pengkiasan, dengan begitu terbatas pada status perbuatan, boleh atau dilarang. Jika dilarang, konsekuensinya belum tentu dipidana, meski bisa juga dipidana.
Jika mengacu kepada cara kerja kias dalam hukum pidana (KUHP), maka kias yang sama juga dilarang dalam hukum pidana Islam. Tapi sayangnya, negara tidak memiliki instrumen yang sama dengan kias dalam hukum Islam yang mampu mencegah masyarakat dari perbuatan yang belum ditetapkan sebagai tindak pidana. Kias dalam Islam setidaknya mencegah kaum beriman dari melakukan inovasi dan kreasi kejahatan jika ternyata terdapat ‘illat yang sama.
ADVERTISEMENT
Terakhir, alih-alih memperhadapkannya, ternyata prinsip legalitas dan kias memiliki keabsahan yang sama dalam hukum pidana jika mengacu pada penjelasan metodologis ushul fiqih. Sedangkan dalam KUHP, prinsip legalitas memang harus disandingkan dengan larangan analogi agar sub-ordinasi hukum terhadap politik di legislatif tidak diperparah oleh yudikatif. Demikianlah hukum Islam yang kerap dianggap hitam-putih, ternyata memiliki setidaknya lima gradasi warna (ahkam al-khamsah).