Reformulasi Zina sebagai Delik Pengakuan

Khairil Akbar
Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Aceh. Tertarik pada isu-isu hukum pidana, hukum pidana Islam, hak asasi manusia, perempuan dan anak, demokrasi, dan hukum Pemilu.
Konten dari Pengguna
9 Juni 2023 14:45 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khairil Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Palu Sidang. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Palu Sidang. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tujuan dari tulisan ini hendak menawarkan reformulasi terhadap tindak pidana (jarimah) zina dalam Qanun Jinayat yang mungkin bermanfaat pula bagi pembaruan hukum pidana Indonesia. Tawarannya sederhana, menjadikan jarimah ini sebagai delik pengakuan.
ADVERTISEMENT
Sebelum melangkah pada bagian penjelasan terhadap proposal ini, ada baiknya diurai bagaimana jarimah zina itu diatur di dalam hukum pidana Indonesia hingga Aceh merasa perlu mengatur sendiri jarimah tersebut karena dianggap tidak sejalan dengan syariat Islam.
Sebenarnya, pengaturan zina di dalam Qanun Jinayat sendiri masih dapat diperdebatkan, setidaknya memiliki celah untuk dikritisi dan dilakukannya perbaikan. Sebagai produk legislasi, memang sepatutnya qanun ditempatkan di luar lingkaran wahyu hingga kritik terhadapnya tidak serta merta dianggap sebagai mengkritisi al-Quran (wahyu). Tulisan ini sendiri sejatinya merupakan upaya untuk menemukan formulasi yang lebih ideal bagi jarimah zina yang diatur di alam Qanun Jinayat itu sendiri.
Sebelum disahkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP baru), zina dimaknai sebagai perselingkuhan yang hanya berlaku bila salah satu dari pelaku terikat dalam perkawinan (Pasal 284 KUHP). Asal katanya adalah overspel, yaitu hubungan seksual oleh orang yang sudah menikah dengan orang lain selain pasangannya. Definisi demikian sebenarnya tidak salah, sebab yang diterjemahkan demikian adalah overspel.
ADVERTISEMENT
Hanya saja kemudian di Indonesia malah kerap disebut zina. Mesti dalam artian umum perselingkuhan tergolong zina, namun zina tidak melulu soal perselingkuhan. Delik tersebut kemudian diperbaiki oleh KUHP baru yang telah disahkan namun akan berlaku tiga tahun lagi (Pasal 624). Dengan kata lain, tidak hanya bagi umat Islam, bagi semua agama di Indonesia kiranya telah menerima pendefinisian zina sebagai “persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya (Pasal 411 KUHP baru).”
Masalahnya kemudian adalah, bagaimana zina itu diformulasikan, apakah sebagai delik biasa, atau delik aduan, atau semestinya sebagai delik pengakuan seperti tawaran yang akan dijelaskan nanti? Pertanyaan ini berakar pada perbedaan pandangan masyarakat Indonesia terhadap apakah zina harus dipidana, atau cukup sebagai norma agama yang tidak perlu diurusi oleh negara. Indonesia mencari titik temu dari dua titik ekstrim antara mengharuskan dipidana dan menghapuskan zina sebagai tindak pidana.
ADVERTISEMENT
Menurut KUHP baru, titik temunya adalah dengan menjadikan zina sebagai delik aduan khusus. Maksudnya, tindak pidana ini hanya bisa dituntut atas pengaduan a. suami atau istri (bagi yang sudah menikah); b. orang tua atau anaknya bagi (bagi yang tidak terikat perkawinan). Penulis menyebutnya dengan delik aduan khusus karena ianya menafikan Pasal 25, 26, dan Pasal 30 terkait tindak pidana pengaduan itu sendiri.
Dilihat dari cara pembuktiannya, Qanun Jinayat sendiri memformulasikan jarimah zina dalam dua klasifikasi, yaitu delik khusus dan delik pengakuan. Namun, jika dilihat dari sumbernya, maka jarimah ini tergolong ke dalam delik biasa dan delik pengakuan. Setidaknya, eksistensi zina sebagai delik pengakuan terlihat dari dua perspektif, yakni perspektif pembuktian dan perspektif sumber tindak pidana.
ADVERTISEMENT
Pertama, zina sebagai delik khusus mengacu pada Qanun Acara Jinayat yang menetapkan zina harus berdasar pada 4 (empat) orang saksi (Pasal 182 Ayat (5)) yang mengesampingkan Pasal 180. Sedangkan ketentuan 4 (empat) orang saksi dalam Qanun Jinayat sejatinya hanya dalam jarimah qadzaf. Memang ditemukan ketentuan tersebut dalam bagian kelima tentang zina, namun hal itu semakna dengan qadzaf, yakni dalam hal pemohon menyebut siapa pasangan berzinanya (Pasal 43).
Sementara sebagai delik biasa, jarimah zina dapat saja bersumber dari laporan, kerja-kerja kepolisian layaknya tindak pidana lainnya, atau bahkan dari hasil razia yang dilakukan oleh wilayatul hisbah. Pengaturan zina sebagai delik biasa ini rentan terhadap pelanggaran privasi. Pasalnya, jika dilakukan penggerebekan di hotel-hotel, atau bahkan di rumah-rumah karena tersebar isu bahwa di dalam rumah itu ada orang yang berzina, akan sangat mengganggu privasi orang lain.
ADVERTISEMENT
Pasangan suami istri yang sah jika terjerat dalam operasi semacam ini tentu akan sangat terganggu dan dirugikan. Terlebih proses tersebut diliput dan tersebar di berbagai media. Selain itu, pasangan non-muhrim dari negara asing tidak pernah tersentuh oleh aparat penegak hukum padahal qanun tidak membedakannya dalam masalah ini (Pasal 5 jo Pasal 72).
Dua kategori di atas memiliki titik lemah dan kurang sejalan dengan filosofi hudud yang disyariatkan sebagai jalan alternatif dalam penebusan dosa (al-jawabir). Yup, karena zina adalah hudud, maka pemidanaan bagi pelaku zina akan menghapus dosa (menjadi kafarat) zinanya (HR. Muslim). Nabi bahkan pernah dikomentari oleh sahabat terkait dengan orang yang disalati Nabi padahal orang tersebut adalah pelaku zina.
ADVERTISEMENT
Menurut Nabi, pengakuan yang dilakukan oleh orang tersebut adalah tobat yang nilainya dapat mengampuni 70 (tujuh puluh) penduduk Madinah (HR. Muslim). Kiranya, jika pun ada yang dihukum bukan karena pengakuan, tidak lain karena orang tersebut menampakkan kesalahannya di muka umum sebagaimana tersirat dalam HR. Hakim.
Bukan hanya karena pengakuan adalah satu-satunya cara yang paling relevan terhadap jarimah ini, peristiwa yang tergambar dalam hadis-hadis Nabi juga menegaskan tentang ditegakkannya had zina karena pengakuan. Selain yang telah dijelaskan, Nabi juga pernah meminta Anas (Unais) yang diadukan kepada Nabi telah berzina. Nabi berpesan, “jika istri orang ini mengaku, maka rajamlah!” (HR. Bukhari dan Muslim).
Bahkan, terhadap orang yang mengaku ini, Nabi tidak langsung merespon. Hadis lain menjelaskan bahwa Nabi memalingkan wajahnya sampai orang tersebut mengulangi ucapannya 4 (empat) kali. Kemudian Nabi bertanya, “apakah kamu gila?” Setelah memastikan kesungguhan orang tersebut, barulah Nabi menegakkan had kepadanya. Artinya, jika mengacu kepada zina yang disaksikan oleh 4 (empat) orang, selain bahwa perkara ini menurut al-Quran adalah untuk membebaskan pelaku qadzaf dari dakwaan, faktanya juga belum ada pelaku zina yang dipidana karena kesaksian semacam ini.
ADVERTISEMENT
Terakhir, pemidanaan zina justru kehilangan fungsi atau tujuannya sekiranya hukuman itu dijatuhkan atas paksaan negara kepada pelaku. Sebab, penebusan dosa (pertobatan) hanya terjadi jika seseorang menghendaki dan ikhlas (tulus) dalam melakukannya.
Pengakuan berarti memohon untuk dihukum. Semestinya permohonan ini dapat batal jika ia menarik pengakuannya. Dan prosesnya tidak perlu melalui penyidikan dan penuntutan. Hakim hanya menetapkan permohonan tersebut dan menjadwalkan eksekusinya.
Jika pengakuan ini diterima sebagai satu-satunya kategori dalam perkara zina, maka perilaku membuntuti orang lain yang diduga hendak berzina, akan berganti dengan mencegah orang tersebut dari dosa. Begitu pun aparat penegak hukum, akan lebih terjaga dari kesewenang-wenangan memasuki ruang privasi orang lain, mencari-cari kesalahan orang di luar yang disangkakan, dan bisa fokus kepada kejahatan-kejahatan yang menimbulkan banyak korban dan kerugian. Justru kadang yang patut disesalkan adalah ketika pelaku zina dengan mudah dipidana sedangkan pemerkosa dibebaskan karena impunitas sumpah yang diberikan kepadanya. Allahu a’lam bi al-shawaf.
ADVERTISEMENT