Restorative Justice dan Hukum Pidana Islam

Khairil Akbar
Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Aceh. Tertarik pada isu-isu hukum pidana, hukum pidana Islam, hak asasi manusia, perempuan dan anak, demokrasi, dan hukum Pemilu.
Konten dari Pengguna
21 Juni 2023 18:04 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khairil Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Palu Sidang. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Palu Sidang. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Keadilan restoratif (restorative justice) merupakan kritik terhadap praktik peradilan pidana yang lebih bercorak penghukuman dibanding perbaikan. Keadilan semacam ini justru dipandang tidak adil karena kurang berdampak pada korban. Bagaimana bisa berdampak jika sejak awal korban sekadar ditempatkan sebagai saksi yang mengalami langsung perbuatan pelaku, bukan sebagai orang yang telah dirugikan atas perbuatan pelaku.
ADVERTISEMENT
Keterlibatan korban dalam proses peradilan sama sekali bukan untuk memulihkan keadaannya, melainkan untuk memberi keterangan atas apa yang ia alami. Keterangan semacam itu hanya mungkin digunakan untuk menyatakan bahwa terdakwa bersalah dan karenanya harus dipidana. Keadaan semacam inilah yang kemudian dirasa belum mencerminkan sebenar-benarnya keadilan.
Lalu pertanyaannya, apa yang mesti dilakukan dan keadilan seperti apa yang diharapkan? Pertanyaan itu kemudian sedikit banyaknya dijawab dengan pelibatan korban sebagai orang yang telah dirugikan dan adanya perbaikan atau pemulihan atas kerusakan atau dampak yang dialami korban. Hanya saja, jawaban ini kerap dipahami secara keliru. Misalnya, melibatkan korban artinya dilakukan di luar pengadilan. Atau, karena dilakukan di luar pengadilan berarti telah tercapai suatu keadilan.
ADVERTISEMENT
Padahal, intinya bukan pada di luar atau di dalam pengadilan, melainkan terjadinya dialog yang menghubungkan kemauan korban dan pelaku, dan kembalinya suatu keadaan seperti sebelum terjadinya pelanggaran/kejahatan. Di mana pun proses itu dilakukan, maka proses itu harus semaksimal mungkin diterima oleh semua—khususnya korban dan pelaku, dan terpulihkannya suatu keadaan seperti semula.

Restorative Justice dalam Hukum Positif

Dilihat dari gagasannya, keadilan restoratif sebenarnya telah lama dikenal, hanya saja dengan kemasan yang berbeda. Kemudian gagasan itu menjadi lebih dikenal dalam perkara anak. Upaya melindungi anak menurut hukum Indonesia mesti dijauhkan dari pemidanaan, khususnya penjara yang kemudian memperkenalkan istilah diversi. Diversi artinya penyelesaian di luar pengadilan. Melalui diversi inilah keadilan restoratif dianggap akan mudah dicapai. Tentu, akan beda halnya jika perkara masuk ke pengadilan yang identik dengan pemidanaan.
ADVERTISEMENT
Hanya saja, paradigma semacam ini malah menyempitkan makna restorative justice menjadi diversi. Padahal, diversi itu hanyalah cara, sedangkan restorative justice merupakan tujuannya. Dengan kata lain, sekiranya pun suatu perkara harus dibawa ke pengadilan, maka keadilan restoratif mesti pula diwujudkan. Jika pemidanaan harus dilakukan, tidak berarti pemulihan korban bisa diabaikan.
Mengutip ceramah Muladi, Naskah Akademik KUHP baru menjelaskan bahwa keadilan restoratif itu adalah “tentang penyembuhan dibanding menyakiti, moral pembelajaran, partisipasi dan kepedulian masyarakat, saling menghargai dialog, pengampunan, tanggung jawab, permintaan maaf, dan membuat perubahan. Sebagian besar bekerja dengan baik dalam memberikan keadilan, penutupan, pemulihan martabat, transendensi rasa malu, dan penyembuhan bagi korban.”
Keadilan itu sendiri, merupakan tujuan hukum di samping kepastian dan kemanfaatan. Dulu, ketiga tujuan ini kerap dipertentangkan dan memang mustahil mempertemukan ketiganya dalam satu putusan. Hakim akan dihadapkan dengan dilema mengedepankan salah satunya. Namun, berdasarkan KUHP baru, keadilan dipandang lebih utama dari kepastian. Pasal 53 Ayat (2) KUHP mengakatan, “Jika dalam menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan.”
ADVERTISEMENT
Singkat kata, hukum pidana Indonesia hendak menuju ke model keadilan yang memulihkan. Bahkan, dalam pemidanaan sekalipun, aspek yang paling esensial dari keadilan restoratif ini wajib dipertimbangkan. Misalnya, bagaimana pengaruh tindak pidana terhadap korban dan keluarganya serta apakah korban memaafkan atau tidak perbuatan pelaku. Artinya, pemidanaan tidak lagi soal retribusi atau membalas perbuatan pelaku, juga ada pertimbangan korban di sana; bukan hanya nasib korban, juga masa depan pelaku. Yup, restorative justice tidak melulu untuk korban, tapi juga kepentingan pelaku.

Praktik Restorative Justice

Sejumlah perkara telah menjadikan restorative justice sebagai tujuannya, meski terkadang tetap dibahasakan sebagai sarana. Di antara perkara yang sempat viral adalah kasus pencurian yang difasilitasi oleh kejaksaan. Baru-baru ini, seorang berkewarganegaraan Australia dideportasi setelah dihentikan kasusnya oleh Kejaksaan Negeri Kabupaten Simeulue berdasarkan keadilan restoratif. Mungkin ini kali pertama dilakukan terhadap warga negara asing.
ADVERTISEMENT
Restorative justice sendiri kerap didasarkan pada Pasal 5 Ayat (1) huruf b Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Pasal tersebut mengatakan bahwa “Perkara tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif dalam hal terpenuhi beberapa syarat. Di antara syarat itu adalah tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun.
Karenanya, kasus-kasus seperti pembunuhan, perkosaan, dan tindak pidana berat lainnya tidak bisa dihentikan perkaranya. Sedangkan pencurian (Pasal 362 KUHP atau Pasal 476 KUHP baru) yang diancam maksimal 5 (lima) tahun penjara, penganiayaan (Pasal 351 KUHP atau 466 KUHP baru) yang diancam dengan 2 tahun 8 bulan atau 2 tahun 6 bulan penjara, atau bahkan jika mengakibatkan luka berat yang diancam dengan pidana paling lama 5 tahun penjara, sangat mungkin dihentikan perkaranya berdasarkan keadilan restoratif.
ADVERTISEMENT

Pandangan Hukum Pidana Islam

Lalu, apakah hukum pidana Islam mengenal dan mendukung pendekatan restorative justice semacam ini? Ternyata, restorative justice sangat identik dengan hukum pidana Islam yang sebenarnya tidak terlalu tegas memisahkan antara jinayat (hukum pidana) dengan cabang hukum lainnya. Hukum pidana Islam bahkan mengenal adanya hak hamba dalam klasifikasi jarimah (delik/tindak pidana).
Penjelasan ini tertuang dalam hukum kisas yang dalam pembahasannya selalu bersanding dengan diyat. Selalu ditulis qishash/diyat atau qishash-diyat karena hukumnya selalu beriringan. Sayangnya, prinsip-prinsip semacam ini tidak terlalu dikembangkan sehingga terkesan bahwa restorative justice merupakan konsep yang diperkenalkan oleh hukum modern.
Hukum pidana Islam mirisnya terkena tuduhan kejam karena kisas yang salah dipahami. Alih-alih memahami pentingnya pemaafan korban, bacaan orang sering kali berhenti pada kalimat “diwajibkan kepadamu qishash dalam perkara pembunuhan.” Hukum pidana Islam bahkan dipahami sebagai hukum yang mengedepankan pembalasan melalui kalimat “siapa yang membunuh maka ia akan dibunuh.”
ADVERTISEMENT
Padahal, sejengkal lagi pedang algojo hendak membunuh terdakwa, jika keluarga korban memaafkan, maka hukuman itu mesti dibatalkan. Logikanya, jika keluarga korban saja diberi tempat, bagaimana dengan korban itu sendiri? Jika pembunuhan saja bisa dimaafkan, bagaimana dengan tindak pidana yang lebih ringan darinya? Memang, tidak semua kejahatan mesti dimaafkan, tapi, pemulihan korban mesti selalu diupayakan.