Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Jarak Tempuh dan Kisah Lama Orang-Orang yang Sambat Sama Pekerjaannya
19 Juli 2022 20:41 WIB
Tulisan dari Khairul anwar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa hari lalu, kawan saya, sebut saja namanya Joko, berkunjung ke rumah saya. Kemunculan kawan saya ini bukan bermaksud untuk menagih utang atau mentraktir makan bakso di sudut kampung. Kedatangan Joko, yang rumahnya sekitar 6 km arah timur dari rumah saya, untuk berkeluh kesah tentang pekerjaan yang ia jalani.
ADVERTISEMENT
Pada awalnya, kawan saya ini bahagia bukan main karena telah diterima bekerja di sebuah lembaga keuangan yang kantornya dekat dengan rumahnya. Akan tetapi, kebahagiaan itu kemudian sirna begitu saja, tatkala, setelah beberapa hari ia dipindah tugaskan ke kantor yang jarak tempuhnya empat kali lipat jauhnya dari kantor yang pertama itu.
Ceritanya si Joko belum ada sebulan bekerja di sebuah lembaga keuangan. Istilahnya, dia masih magang dan menempati posisi sebagai marketing produk. Kawan saya mengeluhkan bahwa ia seperti terbebani dengan target pekerjaan yang harus ia capai. Ia merasa target itu tak sebanding dengan gaji yang bakal ia terima, di samping itu ia harus menempuh perjalanan jauh dari rumah.
“Saya seperti tidak sanggup lagi untuk melanjutkan pekerjaan disana. Lelah di jalan doang. Pemasukan bulan ini sepertinya bisa habis buat perjalanan pulang pergi, tak bisa ditabung,” keluh kawan saya itu.
ADVERTISEMENT
Sebagai informasi, dilihat dari google maps, jarak rumah kawan saya dengan tempat ia bekerja kurang lebih sekitar 18 km. Bayangkan, kalau pergi-pulang berarti kawan saya itu harus menempuh perjalanan sepanjang 36 km. Saya agaknya bisa membayangkan keluhan yang disampaikan teman saya itu.
Terbayang di pikiran saya, dengan menempuh perjalanan yang lumayan jauh, kawan saya itu pasti memerlukan uang saku yang tak sedikit, guna keperluan beli bensin, makan dan lain sebagainya. Tapi, sejauh-jauhnya tempat bekerja kawan saya itu, masih lebih jauh lagi tempat bekerja seorang guru honorer di pelosok desa yang, dia harus melewati berbagai rintangan untuk menuju sekolah tempat ia mengajar. Sungai dan jalan yang terjal mungkin juga harus dilalui.
ADVERTISEMENT
Saya bisa sedikit memaklumi “kegelisahan” kawan saya itu. Karena memang demikianlah sifat manusia. Manusia dengan segala keterbatasannya, punya sifat yang selalu merasa tak puas dengan apa yang sudah dimilikinya. Misalnya dalam pekerjaan. Kawan saya ini termasuk orang yang sudah miliki pekerjaan. Ia bukan pengangguran. Tapi ia merasa tak puas dengan pekerjaan yang dijalaninya saat ini. Hal itu karena hal yang cukup sepele, “jarak tempuh” yang jauh.
Mungkin lebih tepatnya, ekspektasi kawan saya, yang bekerja di kantor keuangan itu, tak sesuai harapan. Keluhan atau curhatan dari kawan saya itu mungkin tak akan diungkapkan andai ia ditempatkan di kantor yang dekat rumahnya, meski posisinya sebagai marketing sekalipun. Atau di tempatkan di kantor yang jauh tapi posisinya bekerja di dalam ruangan (teller misalnya), bukan di lapangan.
ADVERTISEMENT
Tapi begitulah dunia kerja. Terkadang apa yang jadi ekspektasi kita memang tak selamanya berjalan mulus, layaknya semulus jalan tol Cipali. Realita kehidupan memang demikian. Selalu dinamis. Kadang kita merasakan hal yang “enak” saat bekerja, kadang pula di suatu waktu, hal yang enak tadi berubah menjadi sesuatu yang bikin tak nyaman.
Kawan saya itu merupakan seorang pemuda yang sedang ingin berkembang. Terlebih dirinya adalah lulusan sarjana. Tentu saja, ekspektasi dalam hal pekerjaan sangat tinggi. Tapi, jika ekspektasinya itu meleset, tentu, sebagai manusia, akan ada rasa ketidakpuasan dalam dirinya.
Kawan saya gelisah seperti itu karena pekerjaan sebelumnya berlokasi tak jauh dari rumahnya. Ia belum pernah mendapati situasi semacam ini. Bekerja ditarget harus sekian. Gaji bulanan hanya cukup untuk makan dan beli bensin. Ibarat kata, pengorbanan yang dikeluarkan tidak sebanding dengan apa yang didapatkan.
ADVERTISEMENT
Meski bukan seorang motivator, saya mencoba untuk “menasehati” kawan saya itu. Bermodal kalimat sakti “jalani saja dulu” saya coba yakinkan kawan saya itu untuk tetap bertahan di pekerjaan yang ia jalani saat ini.
“Jalani saja terlebih dulu. Lihat progres ke depannya bagaimana. Toh, kerjaanmu juga masih baru kan? Nikmati dulu, belum tentu kalau resign (berhenti) kamu akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari yang ini,” kira-kira begitu saran dari saya.
Wejangan, atau lebih tepatnya saran yang saya berikan tentu hanya berusaha untuk meyakinkan kawan saya itu, bahwa sebuah pekerjaan semestinya patut dijadikan sebagai sebuah pembelajaran dan pengalaman. Saya yakin, kawan saya akan menjadi pribadi yang lebih kuat lagi ke depan dengan berbekal pengalaman-pengalaman barunya itu.
ADVERTISEMENT
Saya kemudian jadi teringat dengan pepatah ‘berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian’ atau ‘bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian’. Pepatah itulah yang seharusnya bisa dijadikan mantra bagi kawan saya itu. Bahwa untuk mencapai sebuah kesuksesan, kita perlu untuk melewati rintangan-rintangan yang menghantam.
Mungkin di dunia ini ada banyak keluhan yang sama seperti yang diungkapkan oleh kawan saya itu. Tapi, sambatan seperti itu seharusnya tidak dijadikan sebagai sebuah persoalan utama dalam bekerja. Alangkah baiknya, menikmati pekerjaan yang sedang dijalani, sembari mencari ide-ide untuk terus berkembang.
Orang-orang yang mengeluh karena tempat kerjanya jauh, dan gajinya tidak sebanding dengan pengorbanannya, rasa-rasanya perlu untuk belajar dari para guru yang dengan suka rela mengorbankan tenaga dan waktunya untuk mengajar di tempat yang jauh.
ADVERTISEMENT
Beberapa kali saya mendengar cerita di media sosial atau di internet tentang perjuangan seorang guru mengajar di daerah pelosok. Sarmidi, misalnya. Guru asal Gunungkidul berusia 50 tahun ini rela menempuh perjalanan 160 km setiap harinya demi mengajar.
Lelaki tersebut telah menempuh jarak 160 km perhari selama 21 tahun terakhir atau sejak pertama diterima menjadi guru PNS di SD Negeri Gunung Gambar, Kulon Progo. Panas ataupun hujan telah menjadi santapannya setiap hari. Belum lagi dengan kondisi jalan yang terjal yang harus ia lewati.
Meskipun tempat kerjanya jauh, Sarmidi tak pernah sambat. Dalam ceritanya, ia mengaku sama sekali tak pernah mengajukan diri untuk pindah mengajar di tempat lain yang jaraknya lebih mudah dan lebih dekat dari rumahnya.
ADVERTISEMENT
Melihat cerita Sarmidi, dan mungkin guru-guru lain, atau bahkan pekerja lain, yang butuh perjuangan berat untuk bisa sampai di lokasi mencari nafkah, maka kita bisa menjadikan hal ini sebagai sebuah motivasi. Bahwa di luaran sana masih banyak orang yang mensyukuri pekerjaannya saat ini meski harus menempuh perjalanan yang jauh.