Smartphone dan Ancaman Krisis Empati di Masa Depan

Khairul anwar
Penikmat Teh Hangat di Pagi Hari. Pernah Belajar di UIN KH Abdurrahman Wahid Pekalongan
Konten dari Pengguna
5 Agustus 2022 15:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khairul anwar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
eddy-billard-M5UD_FyuDl8-unsplash
zoom-in-whitePerbesar
eddy-billard-M5UD_FyuDl8-unsplash
ADVERTISEMENT
“Main mobile legends yuk! mumpung ada waktu luang nih,”
Kalimat diatas merupakan sebuah ajakan yang kerapkali dilontarkan oleh seorang anak, katakanlah anak-anak berusia 10-15 tahun, kepada temannya agar bermain game yang sedang digandrungi generasi Z tersebut.
ADVERTISEMENT
Tak dapat dipungkiri, di era digital, aktivitas anak-anak tidak jauh-jauh dari yang namanya "smartphone” atau ponsel pintar. Smartphone yang mereka miliki rata-rata tidak dipakai untuk hal-hal yang dapat memberikan manfaat, melainkan digunakan untuk hal-hal diluar itu. Bermain game, misalnya. Ini fakta yang tidak terbantahkan.
Ambil contoh, di desa tempat tinggal saya, seringkali saya melihat perkumpulan anak-anak di Pos Ronda atau di tempat nongkrong yang lain (teras rumah salah satu anak), mereka sedang asyik dengan ponselnya masing-masing. Alat yang ada di tangan mereka itu difungsikan sebagai sarana bermain game online, misalnya saja Mobile Legends, PUBG, Free Fire atau yang lainnya.
Kecenderungan anak-anak zaman sekarang dalam bermain game, disebabkan perkembangan teknologi yang semakin maju, yang juga telah menyebabkan perubahan gaya hidup pada manusia. Terlebih lagi masa pandemi covid-19 semakin menguatkan keharmonisasian manusia dengan teknologi. Di masa covid-19, teknologi dan manusia tak terpisahkan. Mungkin hanya maut yang dapat memisahkan.
ADVERTISEMENT
Di era pandemi, orang-orang yang awalnya gaptek (gagap teknologi) telah dipaksa untuk bisa mengoperasikan teknologi. Menggunakan smartphone, misalnya.
Sementara, sebelum Corona menghantam, para orang tua yang tidak pernah memegang laptop barang sekali saja, kini sudah piawai menggerakkan mouse. Itu semua karena keadaan. Keadaan yang memaksa manusia supaya bisa mengoperasikan laptop. Lah gimana? Orang semua pertemuan, rapat-rapat pekerjaan, musyawarah organisasi dilakukan melalui zoom, google meet, dan sebangsanya.
Para orang tua itu juga dituntut agar bisa mengajari anaknya yang masih kelas tiga Sekolah Dasar, misalnya, untuk bermain smartphone. Dalam konteks ini, anak-anak SD sudah diajari mengaplikasikan smartphone supaya dapat belajar di kelas online. Sebab kita semua tahu bahwa di era virus yang menyebalkan ini, sekolah-sekolah mengadakan pembelajaran ke dunia online semua. Ruang-ruang kelas yang dihiasi foto para pahlawan itu berubah menjadi grup Whatsapp kelas dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya SD, tingkat pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) pun demikian. Mereka telah dipaksa oleh keadaan yang tidak mengenakan ini. Dengan adanya covid, anak TK sudah dikenalkan dengan barang yang namanya smartphone. Sebuah benda yang menurut saya belum ‘layak’ mereka mainkan. Sebab, dampak negatifnya tentu lebih banyak jika dibandingkan dengan akibat positifnya. Tapi, beginilah situasinya. Mereka (anak-anak) memang bertemu, tapi secara online. Mereka saling menyapa juga secara online.
Situasi seperti itu tidak berubah meski sekolah sudah menerapkan aturan pertemuan offline alias tatap muka pada tahun ini. Ruang-ruang kelas yang selama dua tahun terakhir tak berpenghuni, kini sudah mulai dihiasi anak-anak berseragam. Perjumpaannya memang offline, tapi anak-anak itu tetap bermain secara online.
ADVERTISEMENT
Anak-anak itu tetap bermain online meski pertemuan mereka di dunia nyata sudah tidak dibatasi. Sudah tidak ada yang melarang. Akan tetapi, alih-alih mereka bermain petak umpet atau gobak sodor, misalnya, mereka tetap memilih bermain mobile legends. Ini seperti yang saya ceritakan di awal tulisan ini. Fenomena anak-anak bermain game online ini memang sudah lazim di era kecanggihan teknologi.
Terkadang anak-anak akan berkumpul di tempat nongkrong. Bukan untuk mengerjakan tugas kelompok, melainkan main game lagi. Awalnya mereka saling sapa. Lalu tiba-tiba mereka membuka smartphone masing-masing dan bersepakat untuk main game online. Mereka tetap berkomunikasi, tetapi dalam rangka bermain game online tersebut. Tidak ada hal lain yang mereka bicarakan, selain daripada itu.
ADVERTISEMENT
Apa yang menjadi aktivitas anak-anak tersebut saya kira tidak jauh berbeda dengan orang-orang dewasa yang sudah janjian untuk bertemu, untuk berkumpul, reunian, kondangan, dan sebagainya, tetapi justru makna pertemuan-pertemuan itu hilang dengan sebab mereka sibuk sendiri-sendiri dengan smartphone-nya masing-masing.
Kejadian seperti itu kita kenal dengan celotehan yang sudah usang bahwa ponsel berhasil “mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat”. Memang, masih ada saling sapa di awal pertemuan, ada sedikit interaksi antar satu orang dengan lainnya. Namun, meski ngobrol-ngobrol itu masih tetap diimplementasikan, tapi intensitasnya telah berkurang. Pendek kata, memelototi layar smartphone lebih dominan, alih-alih bincang-bincang. Hadirnya smartphone di samping mereka menyebabkan dominasi rasionalitas individu menjadi lebih kuat.
Jika fenomena seperti ini tetap terpelihara di kalangan masyarakat, saya khawatir di masa depan bangsa ini akan krisis orang yang punya rasa empati terhadap sesamanya. Orang-orang akan lebih peduli dengan smartphone-nya masing-masing, mereka tidak peduli dengan lingkungan sekitar, yang misalnya, sedang ada orang yang membutuhkan pertolongan. Rasa empati orang-orang semakin berkurang karena ketidakpeduliannya dengan orang lain.
ADVERTISEMENT
Orang yang sudah kecanduan dengan smartphone, mau dimana pun, entah di jalan, di mall, bahkan di toilet pun akan menggunakan benda kesayangannya itu. Orang-orang dengan ‘penyakit’ seperti ini ketika sedang berkumpul-kumpul dengan temannya pun, cenderung lebih suka ‘berdiam diri’ dengan memencet-mencet layar sentuh smartphone-nya. Bahkan dalam tingkatan yang lebih parah, ketika teman di sebelahnya mengajak bicara, ia kurang merespon dengan baik. Tidak memperhatikan orang lain bicara, karena asyik men-scroll status facebook misalnya, adalah salah satu bentuk kurang memiliki rasa empati.
Saya khawatir di masa mendatang sikap empati tidak lagi dimiliki oleh orang-orang, sebab anak-anak zaman sekarang juga sudah mulai bergantung pada ponsel pintarnya itu. Smartphone itu khususnya mereka pakai untuk bermain game atau menonton Youtube chanel yang dalam tanda kutip kurang mendidik. Ini pernah saya lihat sendiri ketika berkunjung ke rumah teman saya. Saya melihat adik teman saya sibuk bermain game, terkadang juga membuka youtube. Barangkali kasus serupa juga terjadi di tempat tinggal anda.
ADVERTISEMENT
Meski bermain game dan menonton youtube itu hal yang wajar, tapi kekhawatiran saya adalah, dengan keseringan bermain smartphone sendiri, mereka jadi individualis dan sikap empatinya hilang. Walaupun secara akademik dia anak yang pintar, kalau tidak pintar secara sosial, dia tidak akan punya rasa kepedulian.
Anak yang kecanduan bermain ponsel cenderung menarik diri dari lingkungan dan lebih sibuk dengan smartphone-nya. Ini berbahaya. Jika keterusan, dikhawatirkan ketika dewasa ia tidak akan mengenal nama tetangganya, misalnya. Bisa saja dia lebih tahu akan nama-nama jenis game, dan lainnya, daripada nama tempat di lingkungannya.
Kecanduan bermain ponsel ini memang sangat mengkhawatirkan. Bahkan, Profesor Sains dan Teknologi di Massachusetts Institute of Technology, Sherry Turkle pernah mengatakan, bahwa ketergantungan pada ponsel bisa membunuh rasa empati pada diri manusia. Kecanduan smartphone juga merusak budaya, keluarga, dan kesehatan mental.
ADVERTISEMENT
Profesor yang telah memelajari hubungan antara manusia dan teknologi selama 30 tahun ini mengungkapkan bahwa dia menemukan orang zaman sekarang bahkan menghindari percakapan tatap muka dan lebih memilih berkomunikasi dalam jaringan (daring).
Kehadiran smartphone yang sesungguhnya dapat membantu tugas-tugas manusia, di sisi lain dapat memberikan ancaman pada kualitas manusia itu sendiri, yakni dengan menurunnya kualitas rasa empati, jika smartphone itu tidak digunakan secara bijak dan baik.
Oleh sebab itu, demi keberlangsungan orang-orang yang masih mempunyai sikap empati di masa depan, maka peran orang tua dalam hal ini sangat penting mengawasi anak bermain ponsel. Membatasi waktu penggunaan ponsel, selektif dalam memilihkan aplikasi ponsel pada anak, menemani anak dalam pengunaan ponsel, melatih tanggung jawab anak, dan berinteraksi sosial adalah cara-cara yang bisa diterapkan oleh para orang tua.
ADVERTISEMENT