Indonesia Siaga Darurat Pandemi Corona: Jangan Meneror, Skeptis Secukupnya

Khairul Fahmi
Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS)
Konten dari Pengguna
6 Maret 2020 3:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khairul Fahmi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Corona. Foto: Indra Fauzi/kumparan
Selama pemerintah belum serius menggarap urusan riset, terutama riset-riset dasar, keraguan dan kecurigaan dunia akan terus membayangi.
ADVERTISEMENT
---
Pemberitaan mengenai ancaman persebaran virus corona (COVID-19) baik di media nasional maupun internasional menyiratkan ketidaksabaran dan keraguan yang besar dalam bungkus pertanyaan: "negara-negara lain sudah ratusan bahkan ribuan warganya positif terinfeksi, masak sih di Indonesia hanya ada dua?"
Ketidaksabaran dan keraguan itu diperkuat dengan beragam tesis yang menggambarkan lemahnya persiapan menghadapi krisis. Pemerintah Indonesia menjadi tampak kurang tanggap, kurang responsif dan kurang sensitif. Walhasil, kecemasan publik menguat dan belakangan berkembang menjadi kepanikan. Sesuatu yang dapat dipahami, karena krisis berarti ketidakpastian. Dan ketidakpastian bukanlah hal yang menyenangkan, apalagi jika menyangkut hajat hidup.
Krisis kesehatan. Secara normatif berarti sebuah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengakibatkan timbulnya korban jiwa, korban luka/sakit, pengungsian, dan/atau adanya potensi bahaya yang berdampak pada kesehatan masyarakat yang membutuhkan respon cepat di luar kebiasaan normal dan kapasitas kesehatan tidak memadai.
ADVERTISEMENT
Lantas, kalau memang tidak ada pasien positif terinfeksi virus corona, mengapa harus dicari-cari, harus diada-adakan? Mengapa kita seolah tidak yakin terhadap kerja pemerintah? Mau sampai kapan?
Ketidakpercayaan publik (public distrust) adalah problem serius belakangan ini. Berbagai komentar di media bermuara pada anggapan bahwa pemerintah tidak firm dan proper sejak awal isu virus corona ini merebak dan mendunia. Pemerintah dinilai lamban antisipasi dan minim rencana aksi, padahal awam butuh alasan untuk tidak cemas dan panik.
Untuk melindungi masyarakat dari ancaman, risiko, dan dampak permasalahan kesehatan seperti itu, sebenarnya sudah ada Permenkes 75 tahun 2019 tentang Penanggulangan Krisis Kesehatan. Peraturan itu memberi panduan pada para pelaku Penanggulangan Krisis Kesehatan di tingkat daerah dan pusat.
ADVERTISEMENT
Tujuannya adalah agar terbangun sistem penanggulangan krisis kesehatan yang terkoordinasi, terencana, terpadu, dan menyeluruh. Panduan tersedia untuk tiga tahapan penyelenggaraan: pra krisis, tanggap darurat dan pascakrisis kesehatan dapat terselenggara.
Selain menyinggung soal sistem penanggulangan krisis dan promosi kesehatan, Permenkes itu membahas tentang komunikasi krisis Kesehatan yang efektif. Mulai dari bagaimana memahami kondisi sosial budaya, menyebarluaskan informasi ke masyarakat seluas- luasnya untuk menghindari isu yang tidak produktif, jujur dan tidak banyak memberikan janji. Lalu yang terpenting, bagaimana memberikan informasi tentang apa yang harus dan tidak boleh dilakukan dalam rangka penanggulangan krisis.
Nah, kita ternyata sudah punya pedoman soal penanggulangan krisis kesehatan. Lalu apa masalahnya? Itu dia, ternyata di era open source alias sumber terbuka, semua itu tak ada artinya tanpa show off, tanpa pameran. No pic hoax, kalau kata generasi milenial. Di sini satu masalah menampakkan diri. Pemerintah, baik istana maupun Kementerian Kesehatan tampaknya kurang tanggap atas kebutuhan itu.
ADVERTISEMENT
Sesuatu yang dapat dimaklumi sebenarnya. Sesuai tajuknya, krisis kesehatan, lini terdepan penanggulangannya tentu saja kebanyakan adalah kalangan medis. Tenaga kesehatan, bukan praktisi komunikasi apalagi politisi. Prioritas mereka adalah fokus dan disiplin pada kasus dan SOP-nya. Bukan pamer kalau sedang bekerja.
Di sisi lain, kegalauan juga dialami oleh para ahli dan periset, terutama yang bukan menjadi bagian dari organisasi birokrasi. Desakan agar pemerintah menggalang kolaborasi dan tawaran mereka untuk berpartisipasi dalam rencana aksi pemerintah tak banyak bersambut. Mereka jadi 'gregetan'. Komentar-komentar yang dikutip media akhirnya seringkali tak enak dibaca, tak enak didengar. Itu memang bisa jadi problem klasik birokrasi. Namun problem itu juga telah mempersulit upaya pemerintah meredam kecemasan.
Bagi saya, walaupun Kantor Staf Presiden menyebut bahwa pihaknya sejak awal telah berperan sebagai Pusat Informasi Terpadu (PINTER) dan Kepala Staf Presiden Moeldoko mengklaim bahwa peran itu membuktikan penanganan dan antisipasi terhadap COVID-19 sudah dilakukan, dua masalah itu sebenarnya adalah dampak lemahnya strategi politik dan komunikasi informasi pemerintah.
ADVERTISEMENT
Tapi teman ngobrol daring saya malam ini, Christida Wastika, seorang adik kelas di SMA 3 Yogyakarta yang sedang belajar seluk-beluk virus level doktoral di Hokkaido Jepang, menunjukkan problem lain yang lebih strategis.
"Ya piye meneh (bagaimana lagi), Pemerintah gak banyak memberi perhatian pada riset. Gak ada yang bisa jadi beking," begitu kata dokter hewan lulusan UGM itu.
Beking? Iya. Coba lihat Amerika Serikat, kata Christida. Kementerian kesehatannya punya lembaga bernama CDC, The Centers for Disease Control and Prevention. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit adalah lembaga kesehatan publik nasional terkemuka di Amerika Serikat. CDC adalah agen federal di bawah Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan. Kantor pusatnya di Atlanta, Georgia.
Jepang juga punya. Namanya NIID, National Institute of Infectious Diseases. Sebuah institut nasional di bawah Kementerian Kesehatan yang menangani penyakit infeksi. Nah Indonesia? Mestinya juga punya. Namanya Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes). Tapi apakah lembaga itu punya nama di masyarakat?
ADVERTISEMENT
Ini soal kredibilitas. Mengapa para ahli Eijkman misalnya, dengan mudah berkomentar A-Z ke pemerintah? Ya tidak lain karena mereka punya kredibilitas riset yang lebih tinggi dibanding Balitbangkes. Menurutnya, selama pemerintah belum serius menggarap urusan riset, terutama riset-riset dasar, kecurigaan dunia akan terus membayangi.
"Tapi mbok ya wis, mingkem sik (sudahlah, diam dulu)," tandas Christida.
Ah, saya sepakat. Sangat sepakat. Kita memang harus menyadari ketidakpedulian kita pada urusan riset. Benar-benar harus sadar, bukan sekadar di mulut. Bukan hanya dalam soal kesehatan tapi di semua sektor yang menyangkut hajat hidup masyarakat. Bahkan di bidang politik.
Tapi ya itu tadi, tahan diri dulu. Sekarang kita beri kesempatan, dukungan dan masukan agar pemerintah dapat bekerja untuk memastikan bahwa dalam menghadapi situasi siaga darurat pandemi corona, negeri ini akan kembali baik-baik saja. Ibarat menengok sobat atau kerabat yang sakit gawat, apakah kita akan memilih komentar yang membesarkan hatinya atau justru yang membikin semangat hidupnya makin ciut?
ADVERTISEMENT
Mbok ya wis, jangan menebar teror, kita rawat optimisme dan bangun skeptisisme secukupnya dalam menghadapi siaga darurat pandemi corona ini. Ada baiknya juga kekritisan kita curahkan ke persoalan-persoalan lain yang tak kalah serius. Soal omnibus law cipta lapangan kerja dan kasus Jiwasraya atau soal pembocoran informasi pasien positif corona dan penanganan kasus penimbunan masker misalnya...